Eksistensi YPK mencerdaskan anak asli Papua

id ypk,yayasan pendidikan kristen,pendidikan,pendidikan anak asli papu,anak papua,gki,gereja kristen injil,sekolah,siswa,belajar,pelajar papua

Eksistensi YPK mencerdaskan anak asli Papua

Pelajar se-Kota Jayapura mengikuti lomba mewarnai gambar burung Garuda di stadium Mandala Jayapura, Papua, Jumat (1/12). Sebanyak 2.900 peserta terdata dalam kegiatan lomba (ANTARA FOTO/Indrayadi TH/17)

....Saya harapkan keberadaan PSW YPK Papua harus menjadi lembaga pendidikan kredibel dan terpercaya dalam pendidikan di Tanah Papua....
Biak, Papua (ANTARA News Sumsel) - Eksistensi pengabdian Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) di tanah Papua sangat nyata dalam mencerdaskan anak asli orang Papua melalui program pendidikan dasar di 29 kabupaten/kota.

Lembaga pendidikan YPK yang dilahirkan 8 Maret 1962 punya misi khusus untuk mencerdaskan anak asli Papua supaya menjadi pintar serta berkarakter religius kristiani.

Sejarah Pekabaran Injil di tanah Papua telah mencatat kehadiran Yayasan Pendidikan Kristen yang merupakan anak kandung dari Badan Pekerja Am Gereja Kristen Injili (GKI) Sinode di tanah Papua telah banyak membangun sejarah peradaban pendidikan orang asli Papua di wilayah paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kehadiran YPK dengan membuka tabir pendidikan pada masa puluhan tahun silam hingga kini telah dapat dirasakan hasilnya di tengah kehidupan masyarakat Papua. Hingga saat ini, ada ribuan anak lulusan dihasilkan lembaga pendidikan YPK yang kini telah banyak menjadi pemimpin di tanah Papua.

Sepak terjang YPK sejak 56 tahun silam hingga sekarang telah banyak mengajarkan anak-anak Papua pintar hingga pandai membaca Alkitab dalam peradaban kehidupan masyarakat asli Papua, ungkap Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI di tanah Papua Pdt. Andrikus Mofu di Biak.

Dalam catatan sejarah pekabaran Inji, menurut Pdt. Mofu, periode 1885 s.d. 1956 disebut masa Zending. Dalam kurun waktu ini, pekabaran Injil dan dunia pendidikan dilakukan sejalan bersamaan oleh para Zending.

Pada masa penginjilan para misionaris hadir di tanah Papua tidak hanya mengajarkan keyakinan agama Kristen, tetapi juga datang untuk mengajar mendidik dan membimbing orang asli Papua. Proses ini berlangsung terus-menerus.

Pada awalnya pendidikan yang dilakukan adalah mengenai hal-hal dasar, seperti bagaimana orang Papua bisa berkebun, membangun rumah, mencari ikan dengan baik sampai mengajar menulis, membaca, dan berhitung.

Peran pendidikan sudah dimulai sejak awal. Karena itu pulalah masuknya kekristenan di Papua adalah tonggak sejarah dimulainya sebuah peradaban baru orang Papua.

Pada tahun 1956, gereja sudah diserahkan kepada para pendeta asli orang Papua. Hingga 1961, terjadi transisi karena guru-guru asal Belanda sebagian besar sudah kembali ke negerinya menyisakan guru-guru asal Ambon, Manado, Timor, dan daerah lainnya.

Pada era transisi yang terasa sulit. Akibatnya, pendidikan di tanah Papua timbul tenggelam. Hingga saat itu, muncul pemikiran bahwa pendidikan ini adalah tanggung jawab yang besar kalau terus dibebankan kepada para pendeta sehinga harus ada yayasan mengelola pendidikan.

Dari berbagai pemikiran itulah sehingga pada tanggal 8 Maret 1962 diputuskan Domenech Tetcher seorang pendeta asal Belanda untuk menjadi ketua pertama Yayasan Pendidikan Kristen. GKI, GBM, Baptis, dan sekte-sekte protestan lainnya ikut dalam pendirian yayasan ini.

Perubahan dan perjuangan dilakukan penginjil maka baru pada tahun 1980-an kepemimpinan yayasan telah dipercayakan kepada orang asli Papua. Bahkan, ketika Papua resmi bergabung dengan Indonesia, pendidikan disesuaikan pula dengan kurikulum nasional sehingga berdatanganlah guru-guru dari luar Papua untuk mengajar di lembaga pendidikan YPK.

Sebagian besar sekolah YPK pada masa lalu telah diubah namanya menjadi sekolah negeri atau sekolah Inpres. Meskipun demikian, ada beberapa daerah yang mempertahankan status sekolahnya sebagai sekolah YPK.

Harapan gereja dalam pengabdiannya 56 tahun YPK terus mengelorakan pengabdian untuk mengajar mendidik dan melatih putra putri asli orang Papua untuk lebih cerdas dan memiliki identitas iman kristiani, kata Ketua BP Sinode GKI di tanah Papua Pdt. Mofu.
       
        Tantangn YPK
Pelayanan pengabdian YPK sejak 1962 hingga era pemberlakuan Otonomi Khusus Papua (Otsus) mulai 2001 diharapkan lembaga YPK makin bangkit untuk menuju kemajuan dan tantangan yang harus dihadapi lembagaan pendidikan Kristen yang punya misi untuk mencetak anak-anak asli Papua.

Kenyataannya di lingkungan warga jemaat GKI keberadaan YPK menjadi sangat populer karena menjadi anak dari organisasi gereja GKI Sinode di tanah Papua. Bahkan, adanya pergeseran nilai dan tuntutan saat ini bagi para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di lembaga YPK menjadi tidak populer karena sebagian orang tua mengharapkan pendidikan yang berkualitas sehingga harus menyekolahkan anaknya di luar lembaga YPK.

Ketua PSW Biak Max Msen mengajak orang tua warga jemaat gereja untuk menyekolahkan anak orang asli Papua di lembaga pendidikan YPK.

Menyekolahkan anak di YPK, menurut Max Msen, untuk membentuk serta menanamkan karakter anak Papua yang bernuansa gerejawi, cerdas, dan menjiwai semangat pengabdian YPK.

Ia mengharapkan dukugan warga gereja untuk mempercayakan lembaga YPK dalam mendidik anak-anak orang asli Papua, seperti pada era kejayaan tahun 1970-an. Pada waktu itu lembaga ini sangat kredibel dalam mencetak calon pemimpin Papua dari kalangan sipil dan militer.

Keberhasilan YPK dalam mencetak pemimpin orang asli Papua, kata Max Msen, di antaranya mantan Gubernur Papua Barat Brigjen Marinir Bram Atururi, Laksamana Pertama TNI Dick Henk Wabiser, mantan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, serta pejabat sipil daerah dari bupati, wali kota, kepala SKPD, dan politikus banyak yang dilahirkan dari organisasi pendidikan YPK.

"Saya harapkan keberadaan PSW YPK Papua harus menjadi lembaga pendidikan kredibel dan terpercaya dalam pendidikan di Tanah Papua," ucapnya.

Max Msen menyebut ada dua hal yang menjadi masalah dalam meningkatkan pelayanan pendidikan dilakukan YPK, yakni ketersediaan tenaga guru serta minimnya sarana dan prasarana penunjang.

Kualitas tenaga pengajar di lingkungan sekolah YPK, menurut dia, harus menjadi fokus perhatian untuk dibenahi sehingga berdampak pada peningkatan mutu pendidikan sekolah YPK.

Eksistensi YPK sejak dipimpin Mama Kambu, mulai ada peningkatan signifikan jumlah sekolah YPK. Di awal masa jabatannya, total sekolah berjumlah 452 unit dan sekarang sudah mencapai 800 sekolah dari berbagai jenjang pendidikan SD hingga SMA/SMK.

Selama ini, sekolah-sekolah YPK dianggap kurang diminati anak. Akan tetapi, setiap tahun animo anak untuk melanjutkan pendidikan di sekolah YPK terus meningkat.

Masalah anggaran untuk pengembangan lembaga YPK, menurut Max Msen, sebenarnya tidak sulit karena ada pembagian dana Otsus Papua khusus bidang pendidikan setiap tahun.

Selain itu, ada tiga komponen penting yang dalam menentukan pasang surut prestasi dan kualitas lembaga pendidikan YPK di tanah Papua, di antaranya peran orang tua, guru, dan lingkungan gereja jemaat.

"Tiga pilar ini dinilai sangat vital karena untuk menunjang keberhasilan dan kemajuan lembaga pendidikan YPK di tanah Papua," ujarnya.    

Kemitraan gereja dengan pemerintah daerah yang selama ini sangat harmonis diharapkan ditingkatkan karena kedua saling membutuhkan dalam rangka menunjang tugas pelayanan tripanggilan gereja di tengah pergumulan kehidupa masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Max Msen mengatakan bahwa gereja tidak pernah hadir untuk pemerintah, tetapi pemerintah hadir untuk gereja sehingga tidak usah takut untuk membuat hal-hal yang benar demi kemajuan anak-anak asli Papua.

Pengabdian lembaga YPK di tanah Papua yang sudah memasuki 56 tahun menjadi mitra pemerintah daerah mencapai tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indoensia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya anak-anak warga asli orang Papua.
(T.M039/D. Kliwantoro)