Akademisi: Stop borongan dukungan partai pada Pilkada

id pilkada,berita palembang,berita sumsel,partai politik,dukungan partai,pemilihan kepala daerah,berita antara,ketua partai,membeli suara

Akademisi: Stop borongan dukungan partai pada Pilkada

Ilustrasi- Pilkada (ANTARA News Sumsel/Grafis/Ist/Ang)

Semarang (ANTARA News Sumsel) - Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono memandang perlu menyetop borong dukungan terhadap pasangan calon pada pemilihan kepala daerah agar peserta pilkada sedikitnya dua kontestan.

"Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menjadi landasan hukum pelaksanaan pilkada serentak pada tahun ini memang masih memberi peluang calon tunggal," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Sabtu pagi.

Teguh mengemukakan hal itu ketika merespons adanya calon tunggal pada pelaksanaan pilkada serentak pada 2018 di 171 daerah (13 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota).

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (videinfopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/paslon) terdapat 10 daerah yang menyelenggarakan pilkada yang pesertanya hanya satu pasangan calon. Bahkan, di Pulau Jawa terdapat tiga daerah, yakni Kabupaten dan Kota Tangerang (Banten) serta Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur).

Di Pulau Sulawesi juga terdapat tiga daerah yang peserta pilkada-nya hanya satu pasangan calon, yaitu Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), Kabupaten Minahasa Tenggara (Sulawesi Utara), dan Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan).

Di Pulau Sumatra terdapat dua daerah yang masyarakatnya bakal menerima surat suara dengan menampilkan satu foto pasangan calon dan kotak kosong, yakni Kota Prabumulih (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumatera Utara).

Begitu pula, masyarakat Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan) dan Kabupaten Jayawijaya (Papua) pada hari "H" pencoblosan pilkada serentak, 27 Juni 2018, bakal menentukan menang atau kalah pasangan calon tunggal di daerahnya.

Tampilnya pasangan calon tunggal di 10 daerah, menurut Teguh Yuwono, menunjukkan partai politik bukanlah petarung. Mereka takut kalah sebelum bertanding.

Agar tidak terulang lagi pada pilkada berikutnya, dia memandang perlu merevisi kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Pasalnya, lanjut Teguh, UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tidak ada batas maksimum dukungan terhadap pasangan calon. Dalam Pasal 40 Ayat (1), parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

"Revisi UU pilkada ini lebih efektif ketimbang menunggu peran parpol yang hampir tidak mungkin, bahkan tidak akan efektif. Jadi, yang paling efektif adalah lewat regulasi dengan memuat batas maksimum dukungan terhadap pasangan calon," kata Teguh.
(T.D007/M.H. Atmoko)