Siapa lagi akan "Jatuh dalam pelukan" KPK ?

id kpk,Komisi Pemberantasan Korupsi,berita palembang,berita sumsel,pejabat negara,peserta pemilihan kepala,berita antara,Febri Diansyah,korupsi,pejabat k

Siapa lagi akan "Jatuh dalam pelukan" KPK ?

KPK (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

.... jika seorang peserta pilkada tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka atas kasus hukum oleh KPK maka tindakan apa yang harus dilakukan terhadap yang bersangkutan?....
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK rupanya tidak pernah bosan mengincar para pejabat negara termasuk gubernur, bupati ataupun wali kota yang diduga terlibat dalam kasus penerimaan uang atau gratifikasi.

Begitu juga dengan peserta pemilihan kepala daerah serentak 27 Juni 2018.

Kali ini yang "jatuh ke dalam pelukan" KPK adalah Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marianus Sae yang telah dibawa ke kantor KPK di Jakarta pada Minggu sore, 11 Februari 2018.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah  masih belum menjelaskan kenapa dan dimana operasi tangkap tangan atau OTT terhadap bupati yang sudah dua periode menduduki jabatan ini dan kini berniat menjadi gubernur NTT masa bakti 2018-2023.

Pada awal tahun 2018 ini saja KPK sudah berhasil melakukan OTT terhadap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli yang disangkakan menerima "setoran" dari pelaksana tugas atau pejabat sementara Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Soelistyowati.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah (ANTARA)

Penyidik KPK ternyata menemukan "uang setoran" yang tidak hanya berupa mata uang rupiah tapi juga dolar Amerika Serikat.

Sedangkan Bupati Ngada ini pada 21 Desember 2013 disebut-sebut pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat hukum karena telah memerintahkan  anak buahnya di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpool PP) untuk memblokade bandara setempat karena gagal memperoleh tiket PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Kupang-Bajana.

Penetapan tersangka bupati ini menambah panjang daftar nama gubernur, bupati serta wali kota yang berhasil dibekuk atau sebagai kasus dugaan korupsi ataupun penerimaan uang dari seseorang atau satu pihak. Sebut saja Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Batu Edy Roempoko dan Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari.
   
        Penetapan Calon
Penetapan status tersangka terhadap Bupati Ngada ini menjadi perhatian masyarakat karena Komisi Pemilihan Umum(KPU) pada Senin dan Selasa, 12 dan 13 Februari, dijadwalkan menetapkan nama para bakal calon gubernur, bupati dan wali kota dalam pilkada serentak menjadi calon gubernur, wali kota dan  bupati untuk masa bakti lima tahun mendatang.

KPU Pusat beserta jajaran KPU tingkat provinsi, kabupaten dan kota akan mempunyai pekerjaan "raksasa" karena pada 27 Juni 2018 menyelenggarakan 171 pemilihan kepala daerah serentak di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang pasti harus memuaskan semua pihak, mulai dari rakyat biasa, partai politik, tokoh masyarakat hingga jajaran pemerintahan itu sendiri.

Jadi pilkada serentak ini bisa dibayangkan bakal menjadi lagi tugas raksasa atau besar bagi semua pihak untuk menyukseskannya sehingga semua pihak tentu akan berusaha keras agar pesta demokrasi ini sukses 100 persen.

Namun yang akan muncul dalam hati rakyat adalah jika seorang peserta pilkada tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka atas kasus hukum oleh KPK maka tindakan apa yang harus dilakukan terhadap yang bersangkutan?.

Apakah "oknum" tersebut secara otomatis harus disingkirkan dari dalam daftar peserta pemilihan kepala daerah itu. Ataukah dia tetap boleh mengikuti pesta demokrasi itu sampai adanya keputusan yang sering disebut keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau bagaimana?

Rakyat terutama para calon pemilih tentu ingin mendapat informasi yang jelas dan tuntas terutama dari KPU, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM ataupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai persoalan ini dari segi hukumnya.
   
        Bagaimana Kemdagri?
Kementerian Dalam Negeri adalah kementerian yang membawahi provinsi, kota dan kabupaten di seluruh Tanah Air sehingga pihak ini tentu  sangat berkepentingan terhadap suksesnya pencoblosan kertas suara pada 27 Juni 2018.

Namun sampai detik ini, rasanya rakyat belum mendengar sikap Kemendagri khususnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang semua tahu bahwa dia adalah seorang politisi senior di sebuah partai politik besar di Tanah Air.

Tjahjo tentu sangat diharapkan menyampaikan sikap pemerintah terhadap kasus yang dihadapi Bupati Ngada, NTT ini ataupun siapa saja peserta pilkada serentak yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terduga kasus kriminal khususnya korupsi, gratifikasi atau apapun istilahnya.

Baca juga: Polda Sumsel kembali periksa kasus korupsi lahan TPU

Kalau, misalnya, ada calon gubernur, bupati atau wali kota  telah menjadi tersangka dan kemudian tetap boleh mengikuti pemilihan 27 Juni itu maka wajar atau tidakkah keputusan itu?.
Koruptor (ANTARA/Rosa Panggabean)

Kalau sebaliknya nama itu dicoret atau sebut saja "dibekukan" dari daftar peserta pilkada maka pertanyaannya adalah apakah itu bisa dilakukan dan tidak dianggap melanggar hak azasi manusia calon kepala daerah itu?

Presiden Joko Widodo ketika mengomentari kasus Bupati Jombang secara terbuka telah mengingatkan semua pejabat pemerintah tanpa kecuali untuk tidak melakukan korupsi atau tindakan sejenisnya.

Masyarakat memang harus memegang teguh prinsip azas praduga tak bersalah, yakni seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai adanya keputusan yang berkekuatan tetap, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung hingga grasi  dari presiden.

Namun masalahnya adalah KPU sebagai pelaksana atau penanggung jawab pesta demokrasi ini harus eecepatnya mengumumkan sikap resminya mengenai kasus semacam ini. Rakyat dan juga calon tentu ingin mengetahui bagaimana kasus-kasus seperti ini harus diselesaikan dengan cara yang sebaik mungkin.

Yang juga pantas dipersoalkan oleh sekitar 160-170 juta calon pemilih di Tanah Air adalah selain Bupati Ngada maka mungkinkah bakal ada lagi calon-calon tersangka kasus dugaan korupsi atau gratifikasi lainnya?

Selama beberapa tahun terakhir ini sudah sering sekali masyarakat Indonesia mendengar atau mengetahui kasus hukum yang melibatkan para penyelenggara negara mulai dari mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi pembuatan kartu tanda penduduk elektronik yang anggarannya Rp5,9 triliun.

Kemudian mantan gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho, mantan anggota DPR Anas Urbaningrum dan banyak lagi pejabat negara lainnya.

Rakyat yang hidup sehari-harinya masih harus pontang-panting mencari uang sekedarnya Rp10.000 hingga Rp50.000 harus mendengar puluhan pejabat diseret ke meja hijau karena melakukan korupsi uang negara jutaan, ratusan juta hingga miliaran rupiah. Padahal mereka sudah menikmati  berbagai fasilitas yang sangat menggiurkan yang mustahil dinikmati jutaan orang awam.

Mungkinkah tindak pidana korupsi dihapuskan atau minimal ditekan hingga semaksimal mungkin agar rakyat bisa sedikit bernapas lega dalam kehidupan sehari-harinya?

Lihat saja setiap hari masih begitu banyak orang miskin yang harus mengorek-ngorek tempat sampah, meminta-minta kepada siapapun juga yang diharapkan memberikan uang sekedarnya, hingga mengamen ala kadarnya agar bisa makan sehari-hari.

Karena pesta demokrasi ini sudah di depan mata maka tentu rakyat sangat mendambakan agar tidak ada lagi pejabat negara yang terpaksa harus diseret ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena disangkakan melakukan korupsi.

Berlebihankah harapan atau dambaan jutaan rakyat itu?    
(T.A011/S. Muryono)