Dominasi korporasi pangan turunkan kualitas hidup

id pertanian,korporasi pangan,rakyat miskin,kehidupan petani,berita palembang,Nur Hidayati,walhi

Dominasi korporasi pangan turunkan kualitas hidup

Dokumentasi- Petani menanam bibit padi pada musim tanam padi . (ANTARA FOTO/ Feny Selly)

Jakarta (Antaranews Sumsel) - Korporasi yang terlalu dominan dibandingkan pemerintah dalam pengelolaan sektor pangan, baik dalam bidang pertanian, perkebunan maupun kehutanan, dinilai berpotensi menurunkan kualitas hidup warga.

"Meskipun regulasinya telah dibuat, kejahatan korporasi semakin menancapkan kuku-kuku dominasinya, pembangkangan dilakukan secara sistematis oleh kuasa korporasi, demokrasi dikooptasi," kata Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati dalam rilis, Kamis.

Berdasarkan kajian Walhi, sepanjang tahun 2017 sedikitnya ada 302 kasus lingkungan hidup yang terjadi di 13 provinsi di Indonesia.

Menurut dia, dari jumlah tersebut ada 163 orang dikriminalisasi dan mengalami tindak kekerasan karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan ruang hidupnya.

"Dari berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi sepanjang tahun 2017, WALHI berkesimpulan bahwa perubahan struktur agraria masih jauh dari harapan, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria masih begitu nyata, pembenahan tata kelola sumber daya alam belum terjadi," katanya.

Ia mengemukakan bahwa hal tersebut bisa membuat bangsa Indonesia menghadapi situasi darurat ekologis dengan rentetan bencana yang menurunkan kualitas hidup manusia.

Untuk itu, Walhi menginginkan pada 2018 ada kekuatan warga negara yang memutus rantai relasi kuasa modal dan politik tersebut, dan menyuarakan agenda lingkungan hidup dan persoalan yang dialami oleh rakyat, sembari mengisi demokrasi prosedural menjadi demokrasi yang lebih substansial.

Sebelumnya, Komisi IV DPR RI mengapresiasi Program TORA (Tanah Obyek Reformasi Agraria)  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo di Jakarta, Rabu (17/1) menyatakan program TORA merupakan terobosan baru karena memang banyak masyarakat yang membutuhkan lahan untuk pertanian dan sebagainya.

"Namun kami mempertanyakan status hukumnya. Kalau statusnya diberikan dengan hak kepemilikan, ini akan menimbulkan kekhawatiran, jika tanah itu akan dijual kembali," tuturnya.

Politisi Partai Golkar itu merekomendasikan agar pemberian lahan kepada masyarakat dilaksanakan dengan menggunakan sistem hak pakai sehingga bila pemilik hak pakai itu wafat, maka ahli waris bisa melanjutkan untuk kepentingan ekonomi, bukan diperjualbelikan.

Dengan demikian, lanjutnya, jadi yang dibagi adalah hasil pengelolaan lahan sendiri atau aspek ekonominya, bukan lahannya yang dipecah-pecah untuk beberapa masyarakat.

Sementara terkait sektor pertanian, Kementerian Pertanian juga mendorong berbagai perusahaan yang bergerak di sektor pertanian dapat mengadopsi model bisnis inklusif, di mana keuntungan yang dihasilkan dari segi bisnis suatu perusahaan juga mengalir dan meningkatkan kesejahteraan para petani di sekitarnya.

Menurut Dirjen Hortikultura Kementan Spudnik Sujono, model bisnis inklusif merupakan hal yang berbeda dengan penerapan konsep seperti CSR (tanggung jawab sosial perusahaan), atau "social enterprise" karena dinilai dapat benar-benar mengangkat harkat kesejahteraan para petani yang bekerja sama di dalamnya.

Untuk itu, ujar dia, ke depannya juga diharapkan dapat dikembangkan terus-menerus model bisnis seperti ini sehingga penerimaan hasil ekspor yang dilakukan perusahaan juga bisa mengucur hingga lapisan petani yang bekerja keras dalam menggarap lahan.
(T.M040/E. Sujatmiko)