Sedikit asa di tanah leluhur Raja Kaloy

id Raja Kaloy,tambang emas,Desa Kaloy,petambang,pecari emas,perut bumi

Sedikit asa di tanah leluhur Raja Kaloy

Dokumentasi- Warga menambang emas. (ANTARA/Zainuddin)

....mendulang "harta karun" milik Allah SWT....
Sore itu langit di atas tanah Raja Kaloy (Desa Kaloy), Kecamatan Tamiang Hulu, Kabupaten Aceh Tamiang, terlihat jingga, gemericik aliran air Sungai Blutan yang melewati celah bebatuan cadas sangat bening, tenang, tetapi terkadang beraroma amarah dan murka.

Lelaki paruh baya, bertubuh hitam legam dan tegap itu tak lain Aswad (55), terlihat sumringah mana kala suasana alam sangat bersahabat dengannya senja itu. Sesekali kumisnya yang tebal itu menyentuh ubi kayu bakar yang dilahapnya.

Di bivak(tempat istirahat  sementara)  berukuran duaXtiga meter, berdinding ranting-rantingan dahan dan beratap daun sungsang (pandan hutan), itulah peraduan Aswad dan teman-temannya selama berminggu-minggu berada di belantara hutan, sebagai "base camp" utama menuju Gunung Bukit Tiga Kilo, arah selatan Kota Kualasimpang, Ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang.

Dari Desa Kaloy, tempat Aswad bersenda-gurau dengan keluarganya, butuh waktu satu hari satu malam perjalanan menyusuri alur-alur bebatuan cadas dan besar dengan berjalan kaki, baru dapat menyentuh bibir Gunung Bukit Tiga Kilo.

Sebenarnya ada apa di Gunung Bukit Tiga Kilo?. Tak banyak yang tahu potensi terkandung di perut gunung itu, hanya terlihat sunggingan keindahan heroik biru kehitaman mata memandang terpancar di deretan belantara bukit barisan.

Luput dari tatapan mata teknologi, padahal sebongkah harapan besar ada diperutnya, yang tidak terduga sama sekali. Ada komoditas pertambangan terselip "dimolek tubuhnya" yang indah. Biji besi,  bahan baku semen, emas dan dolomit.

Aswad tak membiarkan potensi di tanah tak bertuan itu, serta merta dia membawa teman-temanya yang berasal dari Jawa untuk melakukan survei dasar, atas kebenarannya.

Teman-teman Aswad memang sudah terbiasa hidup di belantara hutan dan sungai yang berprofesi sebagai pendulang emas.

Malam sudah semakin larut, udara dingin kian menyeruak menyusupi tubuh kekar mereka yang ada di dalam bipak itu. Sesekali lolongan panjang harimau akar (macan tutul) menemani tidur mereka.

Sekitar pukul lima subuh krue Aswad sudah terbangun, udara subuh itu sangat lembab merekap tulang rasanya, jika tak biasa pasti menggigil.

"Kami harus melakukan perjalanan sekitar 12 jam menyusuri belukar berduri, serta alur-alur bebatuan, Insya Allah sore kami sudah sampai di lereng Gunung Bukit Tiga Kilo, untuk itu ya harus bangun cepat," katanya mengisahkan.

Belukar demi belukar, lereng terjal hingga berjalan di dalam air selama kurang dua jam mereka lalui.

Kata Aswad, iklim memang tak bersahabat, hujan deras disertai angin kencang memaksa krue berteduh dibawah akar pohon kayu besar berdiameter kurang lebih 3,5 meter.

"Hutan ini masih perawan belum terjamah sama sekali. Ada sekitar satu jam kami bertahan, lalu bergegas kembali menyusuri rimba belantara bukit barisan," kisahnya.

Wajah-wajah lelah mulai terlihat.

"Satu jam lagi kita sudah sampai di titik sounding pertama, mengawali observasi kita, kami hanya memburu titik emas, tidak yang lain. Kita buat tambang rakyat," ujar Aswad.

Sekitar pukul 05.45 WIB, mereka tiba di dinding Gunung Bukit Tiga Kilo, tepatnya disounding pertama, secepatnya mereka mendirikan bivak untuk segera melepaskan lelah sambil istirahat. Baru keesokan harinya mereka melakukan aktifitasnya.

Malam di lokasi sounding pertama sudah mereka lalui, pagi sudah menyapa mereka dengan sembulan matahari dari bebalik pepohon yang lebat, sinarnya mulai membakar tubuh mereka. Tapi mereka terasa sejuk, sebab sugesty asa besar ada didepan mata.

"Arman, keluarkan terus mesin dan perkakas kerja, riq harus kita dirikan. Ini pengeboran pertama yang kita lakukan. Untuk mengetahui potensi dan kadar emasnya," jelas Aswad.

Bergegas krue melakukan kegiatannya menurut fungsinya masing masing. Menit, jam sudah mereka lalui, hingga lima jam pertama pengeboran dengan kedalaman 30 meter sudah ditembus oleh matabor bergagang pipa galvanis berdiameter 10 centimeter, berbagai bebatuan, pasir dan lumpur dimuntahkan oleh perut bumi.
   
                       Temukan emas
Belum juga menampak tanda-tanda adanya dulangan emas, mereka terhenti di kedalaman 45 meter. Baru keesokan harinya mereka lanjutkan lagi pengeborannya. Kedalaman sudah mencapai 60 meter. Tiba-tiba Aswad memrintahkan berhenti mengebor.

Seketika Aswad berteriak kegirangan.

"Kita berhasil, kita berhasil," katanya. Asa mereka tak sekedar isapan jempol belaka. Mereka menemukan apa yang mereka harapkan selama ini, muntahan perut bumi tanah leluhur Raja Kaloy mengeluarkan serpihan dan butiran emas 22 karat.

Berbulan-bulan krue Aswad berada di belantara rentetan bukit barisan, bergumul dengan emas, meski hasilnya tak seberapa, tapi ada kepuasan bathin di diri mereka.

"Cukuplah buat makan anak istri kita di rumah, harapan saya ini bisa menjadi tambang rakyat yang berteknologi dan berwawasan lingkungan," ujarnya.

Hingga kini potensi dulangan emas di gunung Bukit Tiga Kilo, masih penuh dengan misteri, belum ada satu investor pun yang berani menanamkan modalnya disana, disamping jauh, lokasi itu diyakini oleh masyarakat sekitar masih diselimuti oleh mistis (sakral).

Gunung Bukit Tiga Kilo memang eksotik, dipadati oleh cabang-cabang anak sungai dari DAS Tamiang yang indah. Kemolekannya menutupi berbagai potensi tambang mineral yang ada di wilayah itu.

Akankah, krue Aswad bisa bertahan di atas sana, berhasilkah mereka mendulang "harta karun" milik Allah SWT itu?, sudah setahun lamanya mereka menggerus kulit bumi, mencari bongkahan emas, tapi terpaan sapa Aswad tak terdengar lagi.
(T.KR-MKH/A.F. Firman)