Pengaturan aborsi bisa jadi celah kriminalisasi

id dokter, peraturan pemerintah, aborsi, tenaga kesehatan, Hukum Pidana, pasal aborsi, kuhp, pengguguran kandungan

Pengaturan aborsi bisa jadi celah kriminalisasi

ibu hamil (pixabay)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pengaturan pengguguran kandungan atau aborsi yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berpotensi mengkriminalisasi ibu hamil, perempuan korban perkosaan, dan tenaga kesehatan/tenaga pendamping.

Oleh karena itu, ICJR bersama Jaringan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak keras rumusan pasal aborsi dalam RKUHP.

"Rumusan pasal pengguguran kandungan dalam RKUHP saat ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, tindakan aborsi pada beberapa situasi medis khusus merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan.

"Ketentuan yang mengatur tindakan aborsi dalam kondisi medis tersebut telah diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 76 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sementara, pengaturan terkait aborsi pada RKUHP sangat berbeda dan bertentangan dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut," kata Supriyadi.

Tindakan pengguguran kandungan akibat adanya indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat perkosaan merupakan "abortus provocatus therapetics" atau upaya menyelamatkan nyawa dan masa depan ibu.

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan aborsi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

PMK tersebut menjelaskan bahwa mengenai prosedur pemberian layanan aborsi yang bertujuan menyelamatkan ibu berdasarkan indikasi medis dan atau kehamilan akibat perkosaan dilakukan dengan menggunakan metode minim risiko, dan dilaksanakan oleh orang yang terlatih atau terampil, dengan persetujuan ibu, dan memenuhi syarat dan cara yang dibenarkan oleh peraturan perundangan.

Mengenai implikasi pidana bagi korban perkosaan, ICJR menilai korban perkosaan seharusnya menjadi pihak yang dilindungi. Mengkriminalkan korban perkosaan hanyalah menjadikan mereka sebagai korban berulang kali yang bisa berdampak bagi keadaan fisik, mental, dan sosial.

"Kriminalisasi terhadap korban perkosaan memaksa perempuan untuk melanjutkan kehamilannya tanpa kesiapan yang dapat berpotensi menyebabkan gangguan psikologis bahkan depresi terhadap perempuan dan berpotensi memberikan situasi yang tidak mendukung bagi tumbuh kembang calon anak," kata dia.

Adapun bagi perempuan hamil yang mengancam keselamatan jiwanya dan janin yang dikandungnya, implikasi pidana bisa membawa kerugian berat kepada ibu atau perempuan yang mengalami komplikasi medis dan tidak dapat mengakses aborsi aman yang dapat berujung pada komplikasi berat dan kematian Ibu hamil.

Di sisi lain, implikasi pidana bagi tenaga kesehatan akan mengganggu upaya pertolongan pada perempuan yang hamil akibat perkosaan dan/atau dalam keadaan darurat medis yang diperbolehkan oleh UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Rumusan dalam RKUHP telah membatasi dan mengancam ruang gerak tenaga kesehatan. Khawatirnya, dengan alasan keamanan agar tidak terjerat pidana bagi dirinya sendiri, tenaga medis maupun tenaga kesehatan cenderung memilih untuk tidak memberikan informasi dan layanan aborsi," ucap dia.

Supriyadi pun menilai bila RKUHP hanya melakukan pengecualian terbatas pada dokter sebagai pemberi layanan maka akan membuat tenaga kesehatan,  konselor, dan penasihat kesehatan pra dan pascatindakan yang berdasarkan kebijakan saat ini diperbolehkan memberikan informasi dan layanan aborsi akan makin enggan ataupun menolak untuk memberikan pertolongan.

"Ini mengakibatkan perempuan berpotensi melakukan aborsi tidak aman yang membahayakan nyawanya," kata dia.

Oleh karena itu, ICJR berpesan agar ketentuan rumusan pasal pengguguran kandungan dalam RKUHP harus mengacu pada UU Kesehatan dan peraturan turunannya untuk menghindari kriminalisasi.

"Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi Panja RKUHP DPR perlu makin cermat merumuskan dan menyinkronkan dengan peraturan terkait untuk menghindari kriminalisasi terhadap korban perkosaan, ibu hamil yang mengalami kedaruratan medis, tenaga kesehatan, dan para pihak yang melakukan pendampingan," kata dia.