Telaah- Kenaikan pangkat kok ditolak ?

id pangima tni, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, naik pangkat, Kopassus, Kostrad, prajurit TNI, pembebasan sandra, papua,

Telaah- Kenaikan pangkat kok ditolak ?

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. ( (ANTARA FOTO/Setpres/Agus Suparto)

....jika prajurit yang kalah maka perwira lah yang harus bertanggung jawab....
Ditengah-tengah luar biasanya suasana seru penangkapan dan penahanan serta komentar masyarakat tentang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang diduga korupsi raksasa senilai Rp2,3 triliun sebenarnya muncul cerita lain yang heroik.

Berita penahanan Setya Novanto yang juga sekaligus merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat mulai dari Presiden Joko Widodo, Ketua MPR Zulkifli Hasan, para politisi, pakar hukum hingga politisi.

Presiden Jokowi, misalnya, sambil secara jelas menyebut nama Setnov  panggilan akrab bagi Setya Novanto minta agar politisi senior ini yang dahulunya seorang "pengusaha" supaya mengikuti aturan hukum. Sementara itu, secara berkelakar Ketua MPR Zulkifli mengumumkan bahwa Setnov telah pindah "kamar atau kantor" dari kantor DPR di Senayan ke' sel" KPK.

Peristiwa gagah berani yang bisa disebut "agak luput" dari omongan atau komentar banyak warga di Tanah Air adalah pembebasan ratusan orang di Distrik Tembagapura, Kabupaten  Mimika, Provinsi Papua dari kelompok separatis yang kini lebih sering diberi nama kelompok kriminal bersenjata atau KKB.

Tidak kurang dari 344 orang baik yang merupakan orang asli Papua maupun pendatang dari berbagai daerah di Tanah Air berhasil dibebaskan oleh puluhan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan dukungan personel Kepolisian Republik Indonesia.

Para teroris itu tidak hanya menyekap ratusan warga negara Indonesia itu tapi juga mencuri uang sekitar Rp100 juta, mengambil paksa sejumlah telepon genggam atau HP hingga.

Karena itulah, kemudian Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo baru-baru ini langsung mendatangi Desa Utikini, Distrik Tembagapura yang berdekatan dengan lokasi penyanderaan pada hari Minggu (19/11).

Di situ Gatot menganugerahkan kenaikan pangkat luar biasa kepada 63 prajurit dari berbagai kesatuan TNI Angkatan Darat mulai dari Komando Pasukan Khusus TNI-AD (Kopassus), Komando Cadangan Strtegis TNI-AD atau Kostrad serta beberapa satuan lainnya seperti satuan intai tempur.

Masyarakat tentu akan sangat menghargai pemberian anugerah itu kepada puluhan prajurit yang pantas disebut heroik karena mereka harus mengejar dan mengusir kelompok liar itu yang tentu lebih menguasai "medan perang".

Kebanyakan prajurit TNI apalagi yang muda-muda tentu bisa disebut kurang  berpengalaman dalam menghadapi situasi pertempuran yang sebenar-benarnya termasuk di kawasan Papua.  

"Paling-paling" mereka latihan saja di lokasi-lokasi pertempuran.  Kalaupun ada ratusan atau ribuan prajurit TNI yang pernah bergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB di berbagai negara maka mungkin mereka lebih banyak menenteng senjata sambil bersikap siaga penuh.

Akan tetapi 63 prajurit yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa ini sudah memasuki arena pertempuran yang sebenar-benarnya, menenteng senjata sambil berusaha mencari jejak kelompok kriminal itu. Sekalipun kelompok separatis ini lebih mengenal medan, mereka tetap saja akhirnya kabur karena takut terhadap prajurit TNI yang sudah benar- benar terlatih tapi juga memiliki senjata yang lengkap, mengatur strategi perang yang matang serta mendapat perintah atau komando dari para perwira

Namun dari balik peristiwa gagah berani ini, ternyata ada kisah dibalik berita yang tak kalah serunya dan mengherankan atau mengagumkan.

Panglima TNI mengungkapkan bahwa ada lima perwira yang menolak pemberian kenaikan pangkat istimewa itu. Para perwira itu rupanya mempunyai sikap kukuh atau keras bahwa apabila dalam pembebasan sandera itu yang menang adalah Republik Indonesia maka prajurit- prajuritlah yang berhak menerima kenaikan pangkat.

Namun sebaliknya, jika  para prajurit yang kalah maka perwira lah yang harus bertanggung jawab.

Maka karena TNI berhasil mengusir para pemberontak itu. konsekuensilah adanya 63 anak buah mereka menjadi pihak yang paling berhak mendapat anugerah Negara Republik Indonesia berupa kenaikan pangkat luar biasa.

    
              Apa maknanya?
Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memang tidak memrinci nama, pangkat, nomor registrasi pokok alias NRP, serta kesatuan kelima perwira itu dan tentu saja itu bisa dimaklumi.

Akan tetapi dari kasus ini, masyarakat terutama generasi muda bisa menarik pelajaran yang amat berharga terutama bahwa jika seorang prajurit TNI dan Polri, pegawai negeri sipil alias PNS dianggap berhasil melaksanakan tugas yang lebih dari seharusnya maka tidak perlu bertepuk dada bahkan jumawa atau sombong.

Kalau seseorang ditawari kenaikan pangkat luar biasa maka sikap yang seharusnya diambil adalah justru semakin rendah hati atau tahu diri karena mereka telah beruntung menjadi prajurit atau abdi bangsa.

Tanpa menerima kenaikan pangkat itu, seorang prajurit pasti akan tetap atau bahkan pasti dihormati atau bahkan semakin dihargai oleh sesama prajurit, atasan langsungnya, komandan, panglima, kepala staf angkatan hingga panglima TNI.

Karena  itu, keputusan para perwira ini patut atau bahkan harus dijadikan contoh ataupun teladan oleh generasi muda di Tanah Air bahwa kalau sudah berbuat baik terhadap lingkungan sekitar, masyarakat serta bangsa dan Tanah Air maka janganlah minta atau berharap balasan.

Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa pastilah mengetahui keistimewaan atau kegagahan serta keberanian para prajurit, PNS yang berjuang tanpa pamrih  terhadap bangsa dan rakyatnya.

Karena itu, peristiwa ini  harus diambil hikmahnya oleh siapa pun juga di Tanah Air terutama oleh para muda dan mudi yang memiliki profesi apa pun juga.

Kalau prajurit berjuang dengan membawa bedil, pistol, mortir, meriam, panser dan tank  bahkan rudal atau peluru kendali maka seorang dokter bisa berjuang dengan alat suntiknya serta obat yang ampuh guna menyembuhkan pasien- pasiennya.

Kemudian seorang guru melalui papan tulis, kapur tulis bahkan dengan komputer bisa mengajar atau mendidik puluhan hingga ratusan muridnya supaya menjadi siswa yang pintar dan juga berakhak tinggi.

Karena bangsa Indonesia sekarang saja sudah diperkirakan berjumlah sekitar 252 juta jiwa dan jumlahnya pasti terus-menerus bertambah maka yang paling diperlukan ditengah-tengah situasi persaingan amat ketat dengan bangsa- bangsa lain di seluruh dunia adalahn jiwa membela Tanah Air seperti yang telah dicontohkan oleh ke-63 prajurit serta lima perwira yang bisa diduga sebagai prajurit yang masih muda-muda tapi berintegritas tinggi.

Tentu memberikan ucapan selamat dan rasa hormat kepada puluhan prajurit yang membebaskan ratusan  warga Tembagapura, Papua  itu merupakan sebuah keharusan atau kewajiban.

Akan tetapi, yang pasti lebih penting adalah bagaimana seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda menarik manfaat atau meniru sikap kesatria prajurit- prajurit itu untuk kemudian diterapkan atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari apa pun posisi setiap  warga.