Mencari pahlawan baru bulu tangkis Indonesia

id badminton, bulutangkis, Super Series, atlet, Mia Audina, Susi Susanti, piala Sudirman, medali emas, Olimpiade, Taufik Hidayat

Mencari pahlawan baru bulu tangkis Indonesia

Dokumentasi- Pertandingan singkat pada audisi beasiswa Badminton. (ANTARA Sumsel/Feny Selly)

....pemain promosi banyak yang tidak menunjukkan performa terbaik mereka kala menginjak senior atau bahkan tidak bisa berkembang sebagai pemain andalan baru....
Jakarta (ANTARA Sumsel) - November bukan hanya penanda bahwa tinggal satu bulan lagi untuk memasuki tahun yang baru, namun juga bisa disebut sebagai adalah bulannya pahlawan.

Tidak salah jika orang berkata demikian pasalnya di bulan inilah, setidaknya di Indonesia, diperingati hari-hari yang didedikasikan pada mereka yang memiliki jasa besar seperti Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November.

Secara harfiah, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam perjuangan membela kebenaran ataupun pejuang yang gagah berani membela negaranya yang biasanya identik dengan perjuangan fisik.

Akan tetapi, perjuangan bagi negara tidak harus melulu berjuang lewat jalan "pedang", banyak bidang yang bisa dilakukan untuk ikut memberikan sumbangsih bagi negeri tercinta, salah satunya adalah lewat olahraga.

Jika berbicara mengenai olahraga khususnya di Indonesia, atlet-atlet cabang olahraga bulu tangkis tidak bisa dilepaskan dalam jajaran yang disebut para pahlawan tersebut, bahkan beberapa di antaranya sudah menorehkan catatan apik dalam perjuangan itu sejak baru dipromosikan dari level junior.

Di antara mereka, ada nama-nama seperti Susi Susanti, Taufik Hidayat dan Mia Audina Tjiptawan mungkin sangat pantas disebut sebagai contohnya.

Bagaimana tidak, Susi Susanti, pada umur 18 tahun sudah juara piala dunia tunggal putri serta menjadi bagian dari peraih gelar piala Sudirman pertama indonesia di tahun 1989. Puncaknya pada usia 21 tahun dia merebut medali emas Olimpiade 1992 Barcelona.

Adapun Taufik Hidayat, ketika usia 17 tahun menjadi bagian dari tim peraih emas Asian Games di Bangkok 1998 dan saat menginjak umur 23 tahun mampu meraih emas tunggal putra di Olimpiade Athena pada tahun 2004.

Sedangkan Mia Audina, ketika membela Indonesia, sempat menjadi "anak ajaib" saat usia 14 tahun menjadi bagian dan penentu kemenangan tim Piala Uber 1994 yang berlanjut di tahun 1996. Pada tahun 1996 itu, ia juga sanggup meraih medali perak tunggal putri Olimpiade Atlanta 1996 yang mengungguli raihan Susi Susanti dengan medali perunggu kala itu.
,
Akan tetapi, setelah Mia Audina pindah kewarganegaraan menjadi Belanda dan Taufik Hidayat memutuskan "pensiun" dini dari bulu tangkis, hampir tidak ada lagi di antara para pejuang yang tersisa, bisa menggantikan posisi mereka untuk menjadi andalan Indonesia di nomor-nomor yang mereka tinggalkan termasuk di ganda putri.
    
           Mulai Bangkit
Di saat itu, praktis Indonesia hanya mengandalkan pemain-pemain dari nomor ganda putra dan campuran yang masih bisa memunculkan pasangan-pasangan baru andalan Indonesia lewat promosi pemain junior kendati konsistensi masih menjadi masalah utama bagi mereka.

Promosi pemain junior demi menambah kekuatan, memang menjadi pilihan umum di banyak negara untuk mengarungi musim baru, termasuk Indonesia, dengan harapan skema tersebut "sesuai rencana" untuk mencetak berbagai prestasi.

Tidak bisa dipungkiri pemain-pemain promosi tersebut banyak yang tidak menunjukkan performa terbaik mereka kala menginjak senior atau bahkan tidak bisa berkembang sebagai pemain andalan baru.

Pun demikian, tidak sedikit juga pemain-pemain yang menunjukkan grafik kian meningkat dan menjadi andalan baru bagi negaranya.

Memasuki tahun 2017 promosi pemain junior masih berjalan seperti biasa, namun di tahun-tahun ini keadaan sepertinya mulai membaik dengan munculnya pemain ganda putri baru Apriani Rahayu.

Apriani yang mulai bermain penuh sebagai senior pada awal tahun 2017 dengan disandingkan bersama Della Destiara Haris dan Anggia Shitta Awanda, Apriani sempat terseok-seok di peringkat sekitar 200 hingga 100-an dunia.

Baru ketika mulai dipasangkan dengan pemain senior Greysia Polii yang sebelumnya berpasangan dengan Nitya Krishinda Maheswari, saat turnamen bulu tangkis beregu Piala Sudirman pada Mei 2017 lalu, Apriani menunjukan peningkatan performanya.

Bahkan setelah dipasangkan dengan Greysia, dia berhasil meraih satu gelar Super Series (Prancis Terbuka 2017) serta satu Grand Prix Gold (Thailand Terbuka 2017), yang akhirnya berpengaruh positif pada peringkat dunianya hingga sekarang mampu menempati urutan ke-22 dunia dan banyak yang menilai sebagai ganda putri terkuat Indonesia saat ini.

Dengan raihan mereka memperoleh gelar Super Series perdananya setelah dipasangkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, sontak mendapatkan pujian termasuk dari Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI).

"Dengan melihat kualitas mereka, memang saya melihat sudah bisa bersaing di kelas atas. Namun cukup terkejut juga mereka menangnya di Prancis dalam waktu secepat ini," ujar Eng Hian.

Disebutkan Eng Hian, setelah meraih gelar ini, tugas Greysia/Apriyani tentu belum selesai. Keduanya bahkan harus mampu mengontrol ekspektasi berbagai pihak yang dibebankan kepada mereka ke depannya.

"Harus bisa menjaga ekspektasi diri sendiri, pengurus PBSI dan masyarakat. Pokoknya sekarang fokus dulu ke diri sendiri," tutur Eng Hian.
    
              Konsistensi
Dengan satu gelar Super Series yang didapatkan dalam waktu tidak terlalu lama setelah dipasangkan, yang menjadi pertanyaan besar adalah mampukah pasangan ini mempertahankan performa apik mereka di turnamen-turnamen berikutnya.

Pertanyaan tersebut juga mungkin akan terlontar pada beberapa pemain yang akan dipromosikan menjadi pemain senior secara penuh di tahun 2018 seperti pasangan ganda campuran Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari, pemain tunggal putri Gregoria Mariska Tunjung serta pemain ganda putri Jauza Fadhila Sugiarto.

Nama-nama di atas diketahui menorehkan prestasi yang luar biasa di level junior. Gregoria, menjadi juara dunia Junior edisi 2017 untuk tunggal putri, Rinov/Mentari juga menjadi juara di ajang yang sama untuk nomor ganda campuran, sedangkan Jauza, menjadi finalis turnamen itu di nomor ganda putri bersama pasangannya Ribka Sugiarto.

Bagi pelatih sektor junior PP PBSI Nova Widianto, kunci untuk menjaga performa para pemain, khususnya yang baru dipromosikan, adalah dengan menambah jam terbang turnamen yang diikuti.

"Kami harap federasi secepatnya memprospek para pemain ini ke Grand Prix atau Grand Prix Gold, karena jika melihat tekniknya, saya yakin dalam waktu 1-2 tahun mereka bisa bersaing di jajaran top dunia," ujar Nova.

Akan tetapi, menurut Sekretaris Jenderal PP PBSI Achmad Budiharto, jika pemain terlalu banyak mengikuti turnamen, memiliki efek yang kurang baik karena waktu untuk mengasah kembali kemampuan dengan latihan dan mengembalikan kondisi, akan terbuang.

"Sebisa mungkin kita harus usahakan para pemain ini berada di peak performanya. Bagaimana caranya? ya dengan perencanaan yang baik," kata Budiharto.

Perencanaan yang baik itu, jelas Budiharto, dimulai dari identifikasi potensi, kemampuan dan prospek para atlet yang dilanjutkan dengan pengorganisasian yang disesuaikan dengan karakter sang pemain itu sendiri.

Selepas itu, merancang proyeksi pemain itu seperti apa, peta jalannya bagaimana dan rencana pengiriman turnamen, termasuk pelatihan teknik, mental dan strategi permainan yang tertata dengan tujuan mendapatkan puncak performa ketika pertandingan.

"Akan tetapi, pembinaan prestasi itu sebagus apapun dan sesempurna apapun, sangat tergantung dengan mental dan pola pikir pemainnya sendiri apakah dia mudah puas dengan capaiannya atau tidak," kata Budiharto menegaskan.