Telaah - Menyingkirkan orang kuat

id Tikus, orupsi, partai politik, politik uang, kpk, menegakkan keadilan, kejaksaan, polisi, lembaga antirasuah, parpol

Telaah - Menyingkirkan orang kuat

Ilustrasi (ANTARA/Rosa Panggabean)

....Ambil uangnya, jangan pilih orangnya....
Demokrasi tak akan berfungsi secara efektif tanpa ditopang oleh kesadaran politik mayoritas warga negara.

Dalam struktur tingkat pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan yang dikenyam warga, semakin tinggi pula kesadaran politik mereka.

Tampaknya di sinilah salah satu tantangan yang harus dihadapi publik ketika demokrasi yang sudah direbut lewat air mata dan darah dari tangan otokrasi pada Revolusi Mei 1998 masih belum berfungsi efektif untuk beberapa hal.

Yang menjadi salah satu problem besar saat ini adalah masih maraknya kaum elite yang dengan segala kelicikan dan kenekatan mereka menggarong dana rakyat dengan berbagai modus operasi.

Memang harus diakui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang dibentuk setelah reformasi politik dibangun, telah menjerat banyak koruptor, suatu hal yang belum pernah terjadi dalam era politik mana pun dalam sejarah bangsa Indonesia.

Namun, yang meresahkan publik belakangan ini, adalah sebuah fenomena tentang masih bercokolnya orang kuat yang bisa melenggang lewat akal-akalan dan kelicikannya mengelabui publik untuk mengelak dari jeratan hukum.

Sejak reformasi dan pemilihan presiden  secara langsung dilakukan, sesungguhnya beberapa cita-cita politik demokratis telah terealisasi. Orang kuat yang sebelumnya didukung oleh kekuatan militer tak lagi eksis. Namun, orang kuat yang didukung oleh kekuatan parpol dan dana masih bisa ditemukan.

Orang kuat ini membangun kekuasaan oligarkis, yang bisa menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi aparat hukum dan membelokkan fungsi-fungsi hukum yang mestinya menegakkan keadilan tapi ternyata malah mengabdi pada kepentingan kekuatan oligarkis itu.

Di kota-kota besar dengan penduduk yang sebagian sudah tercerahkan visi politiknya, manuver politik model akal bulus dari orang-orang yang membangun kuasa oligarkis itu dapat dibaca dengan mudah.

Bahkan, para netizen yang sadar politik pun memperlihatkan sikap mereka dengan membuat meme di media sosial tentang orang kuat yang dianggapnya melakukan pengelabuan publik ketika dia terjerat kasus hukum dan harus memenuhi panggilan lembaga antirasuah.

Masalahnya, berapa banyak warga negara yang sadar politik, yang paham bahwa di negeri ini masih ada orang kuat yang bisa lolos dengan berbagai manuver politiknya dengan memanfaatkan celah-celah hukum? Bisa dipastikan, jauh dari pusat kekuasaan, di kawasan terbelakang, terpencil dan termiskin, sebagian warganya tak terlibat maupun melibatkan diri dalam perbincangan politik di pusat yang menentukan masa depan hidup mereka.

Ironisnya, parpol tempat orang kuat yang bisa meloloskan diri dari perangkap hukum itu adalah sebuah organisasi politik yang justru mengakar di kawasan yang jauh dari pusat kekuasaan itu. Dengan citra dan perilaku filantropis parpol itu, warga desa atau di kawasan pedalaman, terpencil dan terbelakang itu dengan mudahnya dikelabui.

Demokrasi yang berfungsi efektif pada akhirnya sanggup menyingkirkan orang kuat yang mengelabui publik dengan akal bulusnya. Kesanggupan demokrasi menyisir orang-orang yang tak kompatibel dengan prinsip demokratis itu secara evolusioner  akan terbangun dengan hadirnya parpol baru yang secara transparan merekrut para warga terdidik dengan rekam jejak yang tak tercela.
    
        Kemuakan publik
Dengan logika elementer, publik yang sudah muak dengan parpol yang sarat dengan masalah di masa lampau dapat mencoba untuk menggantungkan nasib masa depannya dengan memilih para politisi baru yang berkiprah di parpol baru itu.

Di sini lagi-lagi diperlukan warga pemilih yang sadar politik bahwa parpol baru yang hadir tanpa iming-iming politik uang, yang mengandalkan integritas dan komitmen politik adalah parpol yang layak dipilih dibandingkan dengan parpol lama yang sarat masalah di masa lampau namun sanggup memberikan sejumput kenikmatan material sesaat semasa periode kampanye politik.

Di sinilah ungkapan kearifan lama bermakna: puasa hari ini untuk kejayaan masa depan. Artinya, dalam politik, lebih baik memilih orang baik yang tak memberikan kenyamanan finansial sesaat daripada mencoblos politisi korup yang sanggup memberikan manfaat material di hari menjelang pencoblosan.

Faktanya, kearifan macam itu sering lenyap di hari-hari paling menentukan. Karena frustasi tak sanggup menghentikan warga menghadapi godaan menerima sembako atau apa pun yang sesungguhnya merupakan bentuk politik uang, para pegiat demokrasi akhirnya menyerukan: ambil uangnya, jangan pilih orangnya.

Seruan semacam itu tentu bermaksud baik untuk menciptakan hukuman bagi pelaku politik uang. Namun, tak semua penerima uang politik sebagai bentuk konkret politik uang itu yang memiliki ketegaran hati untuk berbuat mengikuti seruan sang aktivis demokratis tersebut.

Sebagian di antara warga penerima uang politik itu merasa punya utang budi ketika sudah menerima pemberian tapi tak membalas dengan suara yang dimilikinya dalam pencoblosan di bilik suara.

Bahkan, tak jarang beredar asumsi bahwa jika menjelang pemilu saja tak memperihatkan kedermawanan, politisi pelit itu tak akan bisa dipercaya untuk menjadi dermawan saat kekuasaan sudah di tangan. Tentu asumsi demikian bisa jadi dimunculkan dan diwacanakan oleh pelaku politik uang dan tim suksesnya.

Barangkali yang tak kalah pentingnya adalah kegigihan para aktivis demokrasi untuk terus melakukan literasi politik kepada warga yang selama ini belum memiliki kesadaran politik yang dibutuhkan agar demokrasi bisa berfungsi efektif, salah satunya adalah menyingkirkan orang-orang kuat yang eksis di parpol karena manuver politiknya yang melanggar etika.