Ini penyebab bursa berjangka Indonesia kalah bersaing

id Bursa berjangka komoditi, bursa, bursa efek indonesia, jakarta future exchange, rifan financindo, kliring berjangka indonesia

Ini penyebab bursa berjangka Indonesia kalah bersaing

Head of Corporate Secretary Kliring Berjangka Indonesia Agung Waluyo memberikan edukasi seputar bursa dalam kegiatan workshop ke sejumlah wartawan Palembang, Minggu (15/10). (Antarasumsel.com/Dolly Rosana/17/Ang)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Bursa Berjangka Komoditi Indonesia (Jakarta Futures Exchange) masih kalah bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia meskipun negara telah membuka perdagangannya sejak tahun 2000.

Head of Corporate Secretary Kliring Berjangka Indonesia Agung Waluyo di Palembang, Minggu, mengatakan banyak faktor yang menyebabkan Bursa Berjangka Komoditi (BBK) ini mengalami pertumbuhan sangat lambat, salah satunya karena bursa yang ada di negara lain jauh lebih maju.

"Hingga kini Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Malaysia untuk perdagangan berjangka komoditi. Dilihat dari volume transaksinya saja, Malaysia bisa 26 kali lebih besar dibandingkan Indonesia," kata Agung dalam kegiatan edukasi bursa berjangka oleh PT Rifan Financindo Berjangka ke sejumlah wartawan di Palembang.

Menurut Agung butuh upaya serius dari berbagai pihak jika ingin memajukan BBK ini. Indonesia sebenarnya dapat saja mencontoh cara Malaysia dalam menstimulus pertumbuhannya.

"Keseluruhan Kementerian di Malaysia berupaya menjadi komoditi yang mereka awasi masuk dalam bursa," kata Agung.

Melalui cara ini pula kiranya yang membuat bursa komoditi berjangka tumbuh di beberapa kota di Amerika Serikat seperti di New York dan Chicago.

Sementara ini BBK mencatat 58 member pialang dan 15 member pedagang dengan total member bursa 75. Dari jumlah ini, sebanyak 30 member dinyatakan aktif, 10 member kurang aktif, dan 18 member tidak aktif. Menurut Agung, jumlah ini masih sedikit jika mengacu pada total GDP Indonesia.

"Sebenarnya peluang bagi Indonesia di masa datang karena potensi pasar masih sangat besar sekali," kata dia.

Sementara itu Kepala Divisi IT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange) Lukas Lauw membenarkan bahwa pertumbuhan BBK di Indonesia sangat lambat meski sudah 17 tahun berkiprah.

"Hingga kini bisa dikatakan masih bayi, belum take off karena jujur saja, hingga kini sulit untuk mengalihkan investor yang sudah kadung bergabung dengan bursa lain untuk masuk ke bursa dalam negeri," kata dia.

Menurutnya, banyak langkah yang sudah dilakukan pemerintah dalam hal ini Kliring Berjangka Indonesia namun tak kunjung mendongkrak pertumbuhan.

Diantaranya, turut memperdagangkan olien seperti bursa Malaysia yang sejak lama telah memperdagangkan CPO. Kemudian menyediakan sarana perdagangan elektronik dengan mengratiskan pialang.

"Kami tanyakan ke pialang, mengapa tidak masuk bursa di Indonesia saja. Mereka bilang, harga-harganya kurang seksi, kurang fluktuatif. Saya pikir, ada benarnya juga," kata Lukas.

Hingga kini Indonesia masih jauh tertinggal dalam sisi pemanfaatan sarana investasi di lantai bursa, baik di Bursa Efek dan Bursa Berjangka. Hal ini dapat terlihat dari jumlah akun, di BEI hanya ada 600.000 akun, sedangkan di JFX hanya 120.000 akun. Secara ideal seharusnya mencapai 5 persen dari total penduduk sekitar 250 juta jiwa.

Chief Bussiness Officer Rifan Financindo Berjangka Teddy Prasetya mengatakan tak ada cara lain selain menumbuhkan sinergi antara pemangku kepentingan untuk mengedukasi masyarakat mengenai bursa berjangka.

"Terus terang, kami iri dengan perkembangan bursa efek yang jauh lebih banyak dikenal produk-produknya oleh masyarakat. Tapi, kami harus tetap optimistis, jika setidaknya lima saja perusahaan pialang secara rutin menggelar edukasi, saya rasa penetrasi akan meningkat dengan sendirinya," kata Teddy.