Ironi besar untuk Aung San Suu Kyi

id Aung San Suu Kyi, Rohingya, Myanmar, pembantaian, pengungsi

Ironi besar untuk Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi. (REUTERS)

....bantahan telah terjadi pembasmian etnis di Rakhine adalah tak lebih dari penyangkalan belaka....
Pemimpin Myanmar yang juga peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, pernah menyatakan bahwa lebih banyak lagi masyarakat Rohingya yang bertahan di Rakhine ketimbang yang eksodus ke Bangladesh.

Dia juga pernah berkata bahwa arus pengungsi Rohingya telah berhenti dan menjanjikan untuk merepatriasi lebih dari setengah juta warga Rohingya yang berada di kamp-kamp pengungsian di negeri semiskin Bangladesh.

"Kami prihatin mendengar banyak warga muslim lari menyeberangi perbatasan Bangladesh. Kami ingin memahami mengapa eksodus ini terjadi," kata Aung San Suu Kyi waktu itu.

Benarkah dia ingin memahami? Benarkah arus pengungsian Rohingya telah berhenti? Tak ada yang mengetahui pasti apakah Suu Kyi benar mengetahuinya. Tetapi seandainya dia berada di Teknaf di perbatasan Bangladesh-Myanmar, maka mungkin dia akan menyadari ucapan dia itu kurang didasari bukti.

Selama empat jam di Teknaf yang menjadi titik utama masuknya pengungsi Myanmar ke Bangladesh, satu setengah jam perjalanan darat dari Cox's Bazar, pada Jumat 29 September 2017, wartawan Antara malah melihat kenyataan-kenyataan yang sebaliknya.

Para pengungsi tetap saja mengalir dari Myanmar. Bukan satu atau dua orang, bukan pula ratusan orang, melainkan ribuan orang setiap hari.

Selama empat jam di Teknaf, sejak tiba sekitar pukul 13.30 sampai sekitar 17.30 waktu setempat, orang-orang Rohingya yang hampir seluruhnya bertelanjang kaki tak berhenti datang ke Bangladesh.

Mereka umumnya tiba di Teknaf setelah menempuh perjalanan berhari-hari sambil menahan lapar yang teramat sangat di bawah kepedihan hati yang tiada terkira karena rumah-rumah dan desa-desa dibakar, anak-anak perempuan mereka diperkosa, dan orang-orang tersayang mereka dibunuh tanpa sebab.

Setelah berhari-hari mencapai tepi Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dari Bangladesh, mereka menyeberangi sungai ini dengan perahu-perahu milik warga Bangladesh yang berada di tepi lain Sungai Naf.

Para pemillik perahu ini menentang maut karena berisiko ditembaki tentara Myanmar, untuk membawa para pengungsi ke wilayah Bangladesh di Pulau Shapuree.

Sedangkan para pengungsi Rohingya membawa apa saja agar bisa menyeberang ke Bangladesh, tetapi umumnya membawa ternak seperti sapi, kambing dan ayam, yang mereka tukar untuk menebus perjalanan marabahaya mereka menyeberangi Sungai Naf demi mencapai Bangladesh.

    

        Cerita horor

Banyak cerita horor terekam selama empat jam di Teknaf. Wajah-wajah letih yang sebagian besar di antaranya menyimpan raut muka yang traumatis itu akan menumpahkan apa saja yang mereka simpan dalam memori otaknya begitu ditanya oleh siapa pun, termasuk jurnalis.

Cerita mereka hampir sama. Desa-desa yang dibakar dan dijarah, orang-orang tersayang yang dibunuh atau hilang tanpa pernah diketahui jejaknya, menyaksikan anak-anak perempuan mereka diperkosa, dan banyak lagi. Padahal ini sudah hampir dua pekan dari pidato bernada rekonsiliatif Suu Kyi yang pernah menyatakan arus pengungsi telah berkurang.

Di antara cerita horor itu didapatkan dari pria berusia sekitar 60-an tahun bernama Safiullah.

Safiullah baru saja tiba di wilayah Bangladesh, Jumat (29/9) pagi, bersama rombongan pengungsi yang sebagian besar anak-anak dan wanita, dari Maungdaw di Myanmar.

"Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri anak-anak perempuan tetangga saya diperkosa bergiliran, berulang-ulang, di tepi sungai," kata Safiullah yang baru tiba beberapa jam di Teknaf.

Safiullah yang mengaku rumahnya dibakar segera memutuskan bergegas membawa istri dan dua anaknya menempuh perjalanan berbahaya untuk mencapai Bangladesh. Sangat berbahaya bukan saja karena terus dikejar calon-calon pembunuh mereka, tetapi juga harus melewati tanah-tanah yang sudah dipasang ranjau.

"Saya melihat tubuh-tubuh berserakan (akibat ranjau) sehingga saya terpaksa tidak melewati jalan itu. Mereka menginjak ranjau yang ditanam tentara Myanmar," kata Safiullah yang ditanyai di tepi salah satu cabang Sungai Naf di dalam wilayah Bangladesh, tak jauh dari perbatasan dengan Myanmar.

Lain lagi dengan cerita Hasina Begum, perempuan berusia 30-an asal Maungdaw Sikoerpar, Rakhine State, Myanmar.

Hasina yang seperti Saifullah baru tiba di Myanmar Jumat pagi kemarin itu, menyaksikan tembakan, pembakaran, dan penjarahan masih terus terjadi di kampungnya.

"Rumah kami dibakar. Adik-adik perempuan kami yang lain hilang entah ke mana. Setelah membakar dan menjarah, mereka (tentara Myanmar) mengejar semua lelaki kami," kata Hasina.

Hasina dipaksa oleh keadaan yang mengancam nyawanya itu untuk segera meninggalkan Maungdaw, bersama dua anaknya, dan adik perempuannya yang lain yang juga memiliki dua anak dan juga tak tahu di mana suaminya kini berada.

    

        Terus mengalir


Aiman Ul Alam, lelaki muda asli Cox's Bazar yang menjadi penerjemah dan pemandu perjalanan ke Teknaf, mengaku sudah terlalu sering mendapatkan cerita sangat menyayat hati dan tak berperikemanusiaan seperti dialami Safiullah dan Hasina Begum itu.

Ia menyatakan para pengungsi Rohingya kini memilih malam hari sampai pagi buta untuk menyeberangi Sungai Naf guna mencapai Bangladesh karena siang hari sudah tidak lagi memungkinkan bagi Rohingya untuk melakukannya mengingat tentara Myanmar semakin sering berpatroli.

Penulis yang mencapai sebuah dermaga utama di sisi Bangladesh Sungai Naf, Jumat (29/9) sore, tidak mendapati perahu-perahu yang mengangkut warga Rohingya. Namun dari jauh di sisi Myanmar Sungai Naf, terlihat titik-titik, entah kampung atau bangunan, seperti sisa sehabis terbakar.

"Saya sarankan Anda untuk jangan ke dermaga ini malam-malam karena tidak aman. Bukan karena ada bandit, tetapi begitu pengungsi-pengungsi itu merapat di dermaga, maka mereka akan mencari apa saja dari Anda karena mereka sangat kelaparan dan kehausan," kata Aiman.

Dari Teknaf, para pengungsi Rohingya ini diangkut oleh truk-truk ke berbagai kamp pengungsi, di antaranya Ukhia dan Kutapalong, yang memakan waktu satu sampai satu setengah jam perjalanan.

Entah sampai kapan truk-truk ini tidak lagi mengangkut pengungsi Rohingya karena eksodus masih terus terjadi.

Entah sampai kapan pula dunia tak lagi mendapatkan cerita-cerita horor mengenai kekejaman yang keluar dari mulut para pengungsi Rohingya, sampai PBB pun menyebut telah terjadi pembersihan etnis di Rakhine, rumah untuk ratusan ribu Rohingya yang menempati kamp-kamp pengungsi alakadarnya di Bangladesh.

Myanmar kerap membantah telah berbuat zalim dan telah terjadi pembersihan etnis di Rakhine.

Sayang, Myanmar hanya punya satu cara untuk membantah, yaitu dengan pernyataan. Myanmar terus menutup rapat-rapat Rakhine, padahal dunia perlu memverifikasi kesaksian ribuan pengungsi Rohingya itu.

Sampai verifikasi didapatkan dunia, di antaranya membuka Rakhine untuk pers dan bantuan asing, bantahan telah terjadi pembasmian etnis di Rakhine adalah tak lebih dari penyangkalan belaka.