Walhi: Pembangunan rendah karbon pusat-daerah belum selaras

id walhi, karbon, polusi udara, pemerintah, pusat, daerah

Walhi: Pembangunan rendah karbon pusat-daerah belum selaras

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) . (Antarasumsel.com/logo/Aw)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di lima provinsi menunjukkan upaya-upaya pembangunan rendah karbon pemerintah daerah untuk merespon perubahan iklim tidak memiliki korelasi yang memadai dengan perencanaan nasional, bahkan dalam beberapa hal cenderung kontradiksi.  

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi nasional Yuyun Harmono di Jakarta, Jumat, mengatakan dari lima provinsi yang diteliti, yakni Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur semua memiliki program penurunan emisi yang tidak selaras dengan skema di tingkat nasional.

Dia mengatakan kajian dokumen WALHI bertema Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Lima Provinsi di Indonesia yang dilakukan dengan melihat Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi untuk Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) dan RPJMD ini, untuk melihat dukungan pemerintah daerah terhadap program penurunan emisi di tingkat nasional.

"Secara umum belum terlihat inovasi ataupun inisiatif yang lebih maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berdaya ekonomi tinggi. Bahkan dalam kajian dokumen menunjukkan rencana aksi daerah, tidak menjawab sumber emisi dari wilayah-wilayah tersebut," kata Yuyun.

Salah satu contoh, RPJMD Jawa Barat sudah memasukkan target penurunan emisi gas rumah kaca namun dilakukan secara salah kaprah. Seharusnya penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan di dua sektor yaitu energi dan sektor berbasis lahan mengingat di provinsi tersebut banyak pembangkit listrik batubara.

Namun, menurut Yuyun, ternyata yang dilakukan adalah di sektor pengelolaan limbah. Ini diambil karena pilihan sektor tersebut lebih murah.

Selain itu, ada pula perencanaan yang disusun untuk merespon perubahan iklim yang tidak memiliki korelasi yang memadai seperti di  Provinsi Sumatera Selatan, di mana dalam perencanaannya justru mendorong perubahan fungsi kawasan dan perluasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri di kawasan-kawasan gambut dan hutan, sementara kawasan-kawasan tersebut disebutkan sebagai kawasan yang rentan.

Bahkan dalam RAD-GRK provinsi tersebut, sumbangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)  berbasis lahan dari lahan-lahan tersebut justru sangat besar, ujar Yuyun.

Masalah-masalah serupa juga ada di semua provinsi lain yang dijadikan wilayah studi. Ini, menurut dia, tentu merupakan ruang-ruang perbaikan yang harus ditempuh agar Indonesia konsisten menjadi salah satu poros pejuang penanganan perubahan iklim di forum-forum internasional seperti COP 23 mendatang dan forum-forum lainnya.

Kepala Departemen Kampanye Walhi Khalisah Khalid mengatakan kajian memang masih terbatas dilakukan di 5 provinsi di Indonesia yang mewakili daerah pemilik hutan dan gambut terbesar seperti Sumatera dan Kalimantan, dan daerah lain yang luas perairannya lebih besar seperti NTT.

"Memang masih terbatas di 5 provinsi ini. Keinginan kami bisa mengkaji paling tidak di 18 daerah yang dalam waktu dekat menjalankan Pilkada," lanjutnya.

Pidato Presiden Joko Widodo di COP 21 tahun 2015 di Paris menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional sampai dengan tahun 2030.

Akhir tahun 2016 yang lalu, pemerintah Indonesia telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Secretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Ratifikasi terhadap Perjanjian Paris tersebut juga telah dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 16 tahun 2016. Hal ini merupakan kebijakan lanjutan dari periode pemerintahan sebelumnya, dimana komitmen pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sampai tahun 2020 sebesar 26 persen dari "business as usual" dengan sumberdaya dan upaya sendiri serta 41 persen dengan bantuan internasional  sebagaimana Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada pertemuan G-20 tahun 2009.