Palembang (ANTARA Sumsel) - Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumatera Selatan dan aktivis lingkungan beberapa organisasi lainnya
mengkritisi Asian Pulp and Paper (APP) masuk dalam panggung restorasi
dan menjadi tuan rumah Bonn Challenge di Palembang 9-10 Mei 2017.
"Kami menilai inisiatif pemulihan lahan (restorasi) berbasis satuan
bentang alam (lanscape) setidaknya di lima provinsi yakni Sumatera
Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, tidak
lebih hanya sebagai upaya green washing korporasi yang selama ini telah
gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana
ekologis lainnya, konflik serta kemiskinan," kata Direktur Walhi Sumsel
Hadi Jatmiko ketika melakukan konferensi pers mengkritisi pelaksanaan
Bonn Challenge, di Palembang, Senin.
Hadi Jatmiko didampingi aktivis lingkungan Yuyun Harmono dari Walhi
nasional/pusat, Sigit Widagdo (Hutan Kita Institut), dan Rudiansyah
Walhi Jambi menjelaskan upaya APP berusaha masuk dalam panggung
restorasi merupakan upaya pengalihan dosa-dosa yang selama ini dilakukan
korporasi itu.
Perusahaan tersebut mengabaikan begitu saja fakta-fakta kejahatan
lingkungan, konflik, dan berbagai pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
Pemerintah Indonesia terutama pemda sering kali terbuai oleh
pendanaan dari APP yang sangat besar untuk masuk dalam agenda restorasi,
padahal sesungguhnya korporasi itu sedang melakukan manipulasi opini
publik, sehingga pemerintah dan masyarakat lupa dengan kejahatan
dilakukan APP termasuk juga segala rantai dampak dari keberadaan
industri berbasis lahan lainnya selama ini.
Agenda restorasi berbasis lanscape yang didorong oleh APP tidak
lebih merupakan upaya "green washing" yang bertujuan memanipulasi opini
publik tentang citra mereka atau pandangan tentang keberadaan korporasi.
Bisa dilihat secara bersama sama data pada 2015 kebakaran hutan dan
lahan di Sumsel terjadi begitu besar dan mayoritas terjadi di wilayah
konsesi perusahaan tanaman industri "pulp and paper" dan perkebunan
kelapa sawit di wilayah konsesi penyuplai APP sendiri setidaknya
kebakaran terjadi seluas 250 ribu ha.
Berdasarkan fakta tersebut APP telah terbukti gagal mengelola
lahannya, kondisi ini sesungguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara
penanganan perubahan iklim, kata Hadi.
Sementara aktivis Walhi Nasional Yuyun Harmono menambahkan korporasi
menjadikan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim sebagai komoditas
baru untuk terus mengakumulasi keuntungan bagi kepentingan bisnisnya.
Inisiatif restorasi berbasis lanscape adalah solusi palsu penyelamatan lingkungan hidup oleh korporasi.
Atas dasar tersebut, aktivis lingkungan menyatakan sikap menuntut
APP dan korporasi industri ekstraktif berbasis lahan untuk bertanggung
jawab dan memulihkan hutan dan ekosistem rawa gambut yang telah mereka
rusak untuk kepentingan bisnis.
Stop untuk mengalihkan tanggung jawab kepada negara dan rakyat, stop
"green washing", stop deforestasi, mendesak pemerintah melakukan
penegakan hukum terhadap berbagai dugaan pelanggaran hukum dan
pelanggaran hak asasi manusia.
Mencabut perizinan APP dan korporasi yang selama ini terbukti tidak
mampu mengelola sumber daya alam, pemerintah diminta tidak terpengaruh
pada upaya manipulatif yang dilakukan oleh APP maupun industri berbasis
lahan lainnya.
Tidak lagi memberikan kepercayaan bagi korporasi dalam penanganan
perubahan iklim dalam berbagai inisiatif dan agenda penyelamatan dunia
dari ancaman dan dampak perubahan iklim.
Mendesak pemerintah segera menuntut tanggung jawab APP dan korporasi
lainnya atas pelanggaran hukum, deforestasi, dan siap memaksa korporasi
untuk memulihkan hutan dan ekosistem rawa gambut yang telah mereka
rusak.
Kemudian mendesak pemerintah segera mengambil alih kembali lahan
yang diberikan melalui perizinan dan menyerahkan kepada rakyat untuk
dikelola secara berkeadilan dan berkelanjutan sebagai upaya percepatan
implementasi agenda reformasi agraria dan perhutanan sosial, kata Yuyun.
Walhi Sumsel kritisi pelaksanaan Bonn Challenge
...Kami menilai inisiatif pemulihan lahan (restorasi) berbasis lanscape setidaknya di lima provinsi tidak lebih hanya sebagai upaya green washing korporasi...