Terbuai romantisme Bung Karno dan Nehru

id bung karno, romantisme, nehru, jokowi, india, soekrno

Terbuai romantisme Bung Karno dan Nehru

Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno (ist)

....Dunia melahirkan Bung Karno di Indonesia dan Jawaharlal Nehru di India, boleh jadi untuk menerjemahkan arti kata damai....
New Delhi yang berkabut tak hanya di setiap penghujung tahun, mengingatkan tentang betapa romantisme selalu terlukis di wajah Hindustan.

Serupa pada puluhan tahun silam ketika dua tokoh paling berpengaruh di kawasan Asia saat itu bergandengan tangan untuk menciptakan perdamaian.

Dunia melahirkan Bung Karno di Indonesia dan Jawaharlal Nehru di India, boleh jadi untuk menerjemahkan arti kata damai di tengah memanasnya konstelasi dan perebutan pengaruh blok barat dan blok timur.

Memori itu memang akan selalu terkenang sebagai romantisme yang menggambarkan betapa eratnya persahabatan anak bangsa dari dua negara yang berbeda.

Sebuah persahabatan yang kemudian menjelma lebih luas menjadi perkariban antara dua negara; Indonesia dan India.

India di Asia Selatan dan Indonesia di Asia Tenggara pun kemudian menjadi faktor penentu (untuk tidak menyebutnya sebagai kekuatan baru) di dunia seiring dirintisnya Gerakan Non Blok oleh dua sahabat karib itu.

Konferensi Asia Afrika (KAA) rupanya sudah menjadi sumber inspirasi bagi para tokoh pembaharu yang lahir sezaman tersebut.

Maka hubungan kedua negara pun semakin erat dan semakin romantis terjalin jauh sebelum bangsa-bangsa modern yang kekinian itu lahir.

Namun ketika era mulai berganti, ketika stempel di kantor pos mulai banyak ditinggalkan, digantikan dengan merebaknya domain-domain di dunia cyber yang menawarkan kotak surat bernama email, kedua negara mulai lupa atas romantisme dan kemesraan yang pernah terjadi.

Meskipun Pranab Mukherjee, Presiden India saat ini, menyangkal diri telah lupa atas apa yang telah terjalin antara negaranya dengan Indonesia sejak puluhan tahun silam.

Ia mendeklarasikan diri untuk selalu ingat pada sejarah dan kenangan ketika bencana kelaparan melanda negerinya dan Indonesia mengirimkan bantuan beras serta kain selimut untuk rakyatnya.

Mukherjee menyampaikannya hal itu secara langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat resepsi kenegaraan di Istana Rastrapati Bhavan, New Delhi.

"Presiden Mukherjee mengenang tentang perjalanan bersama Indonesia dan India yang sudah lama sekali terjalin," kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang mendampingi Presiden Jokowi dalam acara "state banquet" tersebut.

Mukherjee, kata Retno, amat sangat terkenang garis sejarah masa lalu kedua negara sebelum negara-negara modern berdiri hingga memasuki masa perjuangan melawan kolonialisme.
   
                                                             Mulai Lupa
Zaman berlalu, era pun saling terganti. India berkutat dengan beragam persoalan hingga bertransformasi kini menjadi ekonomi terbesar dunia yang sangat diperhitungkan.

Serupa pula Indonesia, yang terlingkupi suksesi, konflik, tak lupa cerita sukses hingga menjadi bangsa besar yang kekuatannya menyimpan potensi serupa India.

Namun keduanya mulai melupakan romantisme yang terjalin hingga persahabatan menjadi terasa biasa saja.

Duta Besar RI untuk India Rizali Wilmar Indrakesuma merasakan betapa tahun-tahun terakhir kemitraan dengan India demikian hambar.

Dengan hanya sekitar ratusan warga negara Indonesia yang berada di India dan hanya sekitar 200-an pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di negara itu sampai saat ini, menjadikan potensi besar persahabatan sejak masa lalu itu tidak tergarap optimal.

Sepertinya kedua sahabat mulai lupa satu sama lain untuk kemudian perlu diingatkan bahwa potensi itu ada di dekat mereka. Di sana di titik terluas di Asia Selatan atau di sana yang terbesar di Asia Tenggara.

Rizali mengajak masyarakat di Tanah Air untuk menggali kembali kenangan masa lalu tentang persahabatan Bung Karno dan Nehru.

Dari titik itulah puluhan tahun lalu, dunia tersentak dengan ketegasan negara-negara dunia ketiga yang menjadi kekuatan baru yang jengah dengan perebutan pengaruh.

"Semangat, spirit, masa lalu itulah yang seharusnya menjadi modal untuk meningkatkan hubungan kedua negara," kata Rizali Indrakesuma.

Walau begitu, dia mengajak pula masyarakat agar tidak kemudian terbuai dengan romantisme masa lalu sebaliknya mewujudkannya dengan langkah konkret dengan memanfaatkan potensi yang ada.
  
                                                Surplus Perdagangan
Meskipun terlibat dalam hubungan kemitraan yang "biasa saja", sejatinya pondasi persahabatan Indonesia-India amat sangat kuat.

Indonesia, faktanya menikmati surplus perdagangan yang terus meningkat atau hingga mencapai 9 miliar dolar AS tahun lalu dengan ekspor 11,7 miliar dolar AS dan impor hanya 2,7 miliar dolar AS.

Permintaan tinggi India terutama untuk komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan batubara terhadap Indonesia membuat angka ekspor Indonesia sangat besar ke negara itu, alih-alih angka impor yang masih sangat sedikit.

Pantas jika Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengingatkan perlunya pengembalian investasi terhadap India agar Indonesia tidak terkena retaliasi.

Indonesia bisa memanfaatkan berbagai instrumen untuk "membalas jasa" surplus perdagangan yang diberikan India misalnya investasi atau kerja sama untuk sektor yang sangat dibutuhkan sektor domestik, misalnya untuk industri farmasi atau bahan baku obat yang sudah lama berkembang dengan baik di India.

"Jadi tidak 'linear' hanya dari India investasi ke Indonesia, ada kemungkinan kita investasi ke India agar tidak terkena retaliasi dari mereka," katanya.

Menurut dia, kolaborasi atau kerja sama dengan Indonesia misalnya di bidang farmasi juga bisa menciptakan skala ekonomi sehingga Indonesia dimungkinkan untuk bisa mengakses bahan baku dengan harga yang lebih murah.

Thomas Lembong juga melihat ada peluang bagi Indonesia untuk menggarap kemitraan dengan India yang sudah lama mengembangkan keahlian di sektor jasa dan konsultansi.

"Saya juga merasakan sekali kita kurang memperhatikan sektor jasa. India kekuatannya di sektor jasa misalnya banyak sekali konsultan-konsultan yang banyak memberikan jasa konsultansi untuk nilai tambah misalnya di bidang pengelolaan limbah, 'water treatment', dan lain-lain," katanya.

Dengan target pemerintah untuk mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019, maka jasa konsultansi pengelolaan air dan limbah dari India menjadi sangat relevan bagi Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia juga telah lama lupa bahwa ada negara-negara yang bukan merupakan "partner" tradisional tetapi justru memberikan surplus perdagangan yang besar seperti India.

Sebagaimana Darmin Nasution, Menko Perekonomian, yang menyampaikan bahwa ketika membahas soal perdagangan maka Indonesia hanya mengingat Tiongkok, Amerika Serikat, atau Jepang tapi justru cenderung melupakan India.

"Kita harus mulai lebih fokus mengembangkan hubungan ekonomi dengan negara-negara nonkonvensional. India sebagai contohnya menempati posisi yang cukup berarti bagi Indonesia dari sisi perdagangan dan investasi," katanya.

Oleh karena itulah maka kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke India sebagai kunjungan balasan salah satunya membawa misi diversifikasi produk ekspor ke India.

"Indonesia mengundang India untuk meningkatkan kerja sama investasi di bidang farmasi, IT, dan otomotif," kata Presiden Jokowi.

Setidaknya hal itu pula yang kemudian diharapkan tidak membuat dua negara tidak lagi terbuai dalam romantisme kenangan persahabatan masa lalu, namun mewujudkannya dalam langkah konkret yang menyejahterakan rakyat kedua negara sekaligus mendatangkan perdamaian di kawasan.

Maka kunjungan Jokowi pun diharapkan menjadi penanda bagi babak baru hubungan yang lebih erat antara dua sahabat lama; Indonesia-India. Namaste, India!