Hakim nilai justru PT BMH alami kerugian

id klhk, pt bmh, kebakaran hutan, parlas nababan

Hakim nilai justru PT BMH alami kerugian

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang Parlas Nababan (tengah) membacakan putusan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT Bumi Mekar Hijau di Palembang, Rabu. (Foto Antarasumsel.com/15/Nova Wahyudi)

...Saat mendapatkan lahan, perusahaan mendapatkan lahan terdegradasi atau rusak. Lantas menginvestasikan dana Rp1,2 triliun....
Palembang (ANTARASumsel) - Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan menilai justru PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang mengalami kerugian sehingga menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup senilai Rp7,8 trilun.

Ketua Majelis Hakim Parlas Nababan dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu, mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak penggugat (KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi sesuai peraturan UU.

Hal ini juga yang menjadi bahan pertimbangan majelis hakim sehingga memutuskan menolak gugatan dan membebankan biaya perkara ke penggugat senilai Rp10.521.000.

Selain itu, adanya faktor lain juga menjadi pertimbangan, di antaranya, peralatan pengendalian kebakaran (mengenai jumlah yang seharusnya, pemerintah dinilai belum memiliki peraturan baku), lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak ketiga, adanya pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Gugatan juga dinilai prematur, eksepsi gugatan kabur, waktu terjadinya kebakaran tidak jelas, dalil tidak jelas, dan justru pihak tergugat yang mengalami kerugian lebih besar.

Dari hasil laboratorium diketahui bahwa tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar justru tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik.

Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati, sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.

Dengan demikian, hakim menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian.

Negara melayangkan gugatan dengan jumlah fantastis RP7,8 triliun atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten OKI itu.

Sejak awal, perusahaan juga mempertanyakan besaran nilai gugatan ini. Negara menghitung melalui lembaga penelitian Institut Pertanian Bogor (belum bersertifikasi, tapi untuk kerusakan tanah sudah bersertifikasi internasional) telah mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.

Ketua Tim Penasihat Hukum PT BMH Maurice mengatakan perhitungan ini terlalu berlebihan karena kondisi lingkungan dinilai dalam kondisi terbaik, sementara saat menerima lahan pada 2004 sudah rusak, setelah terjadi kebakaran lahan dan hutan hebat di Sumatera pada 1997.

"Saat mendapatkan lahan, perusahaan mendapatkan lahan terdegradasi atau rusak. Lantas menginvestasikan dana Rp1,2 triliun. Lantas logikanya di mana jika perusahaan membakar, atau dianggap (lalai) karena toh pohon-pohon akasia itu justru sedang siap panen," kata Maurice.