Kenapa TKI bermasalah di luar negeri

id tki, tki ilegal di luar negeri

Kenapa TKI bermasalah di luar negeri

Tenaga kerja wanita Indonesia (FOTO ANTARA)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pemerintah Indonesia akan memulangkan 1,8 juta tenaga kerja bermasalah atau ilegal dari luar negeri tahun depan.

Menurut Pelaksana Tugas Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, kebijakan tersebut merupakan perintah Presiden Joko Widodo.

"Salah satu hasil sidang kabinet yaitu memulangkan 1,8 juta TKI ilegal. Tapi kami belum terima instruksi detail kebijakan tersebut," ujar Lalu sambil menambahkan bahwa jumlah TKI ilegal yang dipulangkan diambil dari penyesuaian data yang dimiliki Kemenlu serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Kemenlu menyatakan terdapat 2,7 orang Indonesia yang ke luar negeri secara ilegal. "Mungkin saja termasuk mahasiswa dan diplomat yang sedang tugas. Tidak ada data tepat soal jumlah itu," kata Lalu.

Dia menyatakan, Kemenlu siap memulangkan TKI sesuai dengan prosedur resmi. Pemerintah sedang memikirkan soal proses pemutihan atas pelanggaran hukum dan bekal keterampilan ketika mereka kembali ke kampung halaman. "Kami akan pelajari lagi, mereka harus kerja apa setelah dipulangkan," katanya.

Pemulangan TKI bermasalah ini merupakan realisasi atas arahan Presiden Jokowi yang meminta agar TKI ilegal kembali ke Tanah Air supaya tidak menghadapi masalah hukum di negara lain.

Berdasarkan data BNP2TKI, jumlah TKI di luar negeri sekitar 6,2 juta orang, baik legal maupun ilegal. Mayoritas mereka bekerja di Malaysia, yaitu 1,2 juta orang. Sisanya bekerja di Korea, Timur Tengah, Taiwan, dan Hong Kong.

Salah satu penyebab dipulangkannya TKI ilegal dari Malaysia misalnya, adalah diberlakukannya Undang-Undang Pendatang Tanpa Izin pemerintah negeri jiran itu yang mengatur pengusiran terhadap tenaga kerja illegal.

Namun menurut Wakil Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono, pemerintah Indonesia menyambut baik penerapan UU tersebut, namun dia berharap pemerintah Malaysia juga menerapkan pasal yang berlaku dalam undang-undang itu terhadap majikan Malaysia. "Jadi jangan orang asingnya saja yang ditangkap. Majikan kan juga melanggar undang-undang," katanya.

Dia juga menegaskan, tenaga kerja ilegal ada lantaran ada majikan yang mau menampung. Sepanjang pengamatan KBRI, selama ini hanya ada penindakan terhadap sekitar 365 majikan dari puluhan ribu tenaga kerja ilegal yang ditindak.

Penerapan UU yang disiarkan Menteri Dalam Negeri Malaysia Zahid Hamidi itu merupakan kelanjutan dari program 6P yang ditetapkan pemerintah Malaysia terhadap para pendatang haram, yakni pendaftaran, pemutihan, pengampunan, pemantauan, penguatkuasaan, dan pengusiran.

Empat tahap pertama telah dijalankan beberapa waktu lalu dan ditutup pada September 2012. Sejumlah 340 ribu TKI memanfaatkan program tersebut, dan 200 ribu di antaranya  mendapatkan paspor atau status legal bekerja di Malaysia. Ketika itu, para tenaga kerja ilegal dan majikannya masih dapat memproses legalitas status mereka di Malaysia.

"Sekarang pada tahap penguatkuasaan dan pengusiran," kata Hermono.

"Para tenaga kerja ilegal harus keluar dulu dari Malaysia, yang disebut pulang secara sukarela". Mereka yang mendaftar untuk pulang dikenai biaya sekitar 800 ringgit untuk mengurus izin keluar dari Malaysia, dan dapat kembali setelah mengurus dokumen izin kerja yang sah, katanya.

"Jadi, kalau sampai tahun 2015 tidak ada masa perpanjangan untuk menyerahkan diri secara sukarela, (TKI ilegal) akan ditangkap lalu dideportasi," katanya.

Mereka yang dideportasi akan dimasukkan daftar hitam, tidak boleh masuk ke Malaysia lagi selama lima tahun.

Batas akhir pemulangan sukarela tersebut adalah 31 Desember 2014. Pemerintah Malaysia memperkirakan sampai batas waktu tersebut sekitar 70 ribu warga negara Indonesia akan dipulangkan.

Sementara menurut hitungan KBRI Kuala Lumpur, sampai akhir November lalu, sekitar 50 ribu WNI sudah dipulangkan. Rinciannya adalah 21 ribu pulang sukarela dan sekitar 26 ribu dideportasi. Diperkirakan ada sekitar tiga juta warga negara Indonesia di Malaysia, dan 1,5 juta di antaranya ilegal.

Hermono mengaku KBRI tidak melakukan persiapan khusus selain bersiap memberikan dokumen perjalanan bagi WNI. "Bagaimana dengan 2015? Kita menunggu. Katanya Malaysia akan melakukan operasi penangkapan dan pengusiran."

Pemulangan bukan solusi
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyebutkan, jumlah TKI bermasalah yang diurus kementeriannya membeludak. Ini tercermin dari kuota pemulangan TKI tahun ini yang hanya mencapai 5.000 orang. "Hingga awal Desember 2014, kami sudah memulangkan 20 ribu orang," katanya.

Peningkatan itu, tutur Khofifah, menyebabkan Kementerian Sosial harus menanggung utang pada kementerian dan lembaga yang ikut membantu pemulangan TKI ke daerah asal. Perum Damri dan PT Pelayaran Nasional Indonesia adalah lembaga yang dimaksud. "Utang Kementerian Sosial pada Damri dan Pelni mencapai Rp2 miliar," katanya.

Menurut Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial, Andi Zainal Abidin Dulung,  rata-rata ongkos pemulangan satu TKI bermasalah mencapaiRp1,5 juta. Biaya itu meliputi komponen pembelian tiket ke kampung halaman dan modal usaha. "Jadi, estimasi dana mengurus TKI bermasalah tahun depan sekitar Rp15 miliar," katanya.

Kasus terbaru pemulangan TKI ilegal terjadi Selasa (23/12) ketika 1.428 orang dipulangkan bertahap dari Malaysia menggunakan pesawat Hercules milik TNI . Sebanyak 494 orang di antaranya mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. "Kebanyakan dari mereka tersandung masalah izin kerja," kata Andi.

Satuan Tugas Perlindungan WNI di KBRI Kuala Lumpur, Dino Nurwahyudin mengaku akan mendata seluruh kewarganegaraan TKI ilegal itu setelah Imigrasi Malaysia selesai melakukan verifikasi. Dia mengingatkan kepada para TKI yang masuk dalam daftar cekal agar mematuhi semua aturan yang telah ditetapkan.

Bila mereka ingin kembali ke Malaysia, Dino menyarankan agar para TKI itu menghubungi dulu Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atau Konsulat Jenderal Malaysia yang ada di beberapa kota di Indonesia. Karena kalau tidak melakukan itu, begitu tiba (di Malaysia) mereka tidak akan diizinkan masuk.

Belajar dari kasus hukum yang menjerat para buruh migran, pemerintah memang berencana memulangkan 1,8 juta TKI ilegal yang tidak memiliki dokumen resmi atau kontrak dengan perusahaan apapun. Jumlah TKI ilegal terbesar, 1,2 juta orang menurut Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid ada di Malaysia, sementara di Timur Tengah hanya sekitar 150 ribu orang. Sisanya Korea, Taiwan dan Hongkong.

Dana untuk pemulangan TKI ilegal itu akan diambil dari APBN. Menurut dia, total TKI di luar negeri ada sekitar 6,2 juta, termasuk 1,8 juta TKI ilegal. Dari situ, kata Nusron, sebenarnya negara bisa memperoleh devisa sebesar US$7,2 miliar.

"Banyak sekali TKI yang menggunakan remitensi ilegal atau jasa keuangan illegal, sehingga kita tidak bisa memantau lalu lintas dananya. Karena itu pemerintah akan membangun remitensi langsung agar uang itu bisa dipantau. Kita targetkan dalam 5 tahun bisa tingkatkan devisa hingga US$20 miliar," ujarnya.

Kenapa ilegal

Namun, Analis Kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo menilai pemulangan TKI ilegal dari Malaysia yang dilakukan pemerintah merupakan langkah ad hoc. Kebijakan ini  akan percuma tanpa dibarengi diplomasi jangka panjang terkait masalah buruh migran di negara jiran tersebut.

"Mungkin ada manfaatnya untuk jangka pendek," kata Wahyu sambil menambahkan, namun pemerintah harus menempuh cara diplomasi dengan Malaysia, sambil mencari solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak untuk keberlangsungan buruh migran Indonesia di Malaysia.

"Artinya Malaysia harus fair soal document of migrant worker. Mayoritas pengguna (TKI) kan Malaysia, mereka juga harus menghukum pengguna TKI (yang tidak memiliki dokumen resmi)," ujarnya.

Dia juga mendesak pemerintah agar memastikan hak-hak TKI untuk mendapat dokumen resmi melalui program legalisasi/pemutihan yang ditawarkan Malaysia. Pemerintah sebaiknya  memberikan pilihan kepada para TKI dan tidak memaksa mereka kembali ke Tanah Air. "Kalau mau kerja di Malaysia ya mereka diputihkan agar dapat akses atau izin kerja di sana," katanya.

Sementara itu anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka berpendapat,  moratorium pemerintah yang membatasi jumlah TKI ke luar negeri, akan membuat para calon TKI memilih jalur ilegal. TKI masih menjadi pilihan, karena sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia.

Pemerintah, menurut dia, harus merevisi UU tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan terhadap buruh migran masih belum teraplikasi dengan baik. Juga pendidikan bagi TKI harus dicover oleh pemerintah, bukan dibebankan 100 persen kepada swasta. Pembekalan dan orientasi wajib diberikan sebelum TKI bekerja di luar negeri.

Dalam sebuah acara sosialisasi oleh BNP2TKI di Lumajang, Jawa Timur terungkap,  para calon TKI lebih tertarik untuk berangkat secara ilegal karena prosedurnya lebih mudah dan lebih gampang diberangkatkan ke luar negeri.

Terkait dengan maraknya TKI illegal, Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia  menyebutkan dua alasan. Pertama, pemerintah belum menyiapkan cukup lapangan kerja bagi warganya. Kedua, peluang dan gaji yang tinggi membuat mereka mau jadi TKI," kata Ketua Umum APJATI, Ayub Basalamah.

Selain kedua alasan tersebut, dia juga serpendapat dengan Rieke bahwa moratorium yang berkepanjangan dan tidak memiliki batas waktu, menyebabkan rekrutmen tenaga kerja untuk luar negeri lemah perlindungan.

Tanpa adanya evaluasi dan perbaikan dalam penempatan kerja, moratorium menjadi bumerang baik bagi negara maupun para buruh migran itu sendiri. Penempatan tenaga kerja menjadi tidak mengikuti norma tenaga kerja internasional.

Dipulangkan atau tidak, TKI akan tetap mencari peluang ke luar negeri. Mungkin yang perlu dilakukan pemerintah adalah, memperketat pesyaratan bagi TKI terutama keterampilan, menyederhanakan dan mengawasi prosedur rekrut dan pengiriman, menindak agen-agen yang nakal dan melakukan langkah-langkah perlindungan bagi para pekerja.