Fungsi lain kedubes asing tempat penyadapan

id penyadapan, spionase penyadapan oleh kedubes as dan australia

Fungsi lain kedubes asing tempat penyadapan

Ilustrasi (Antarasumsel.com/Grafis/Aw)

.....Namun, jika kurang puas, pemerintah Indonesia bisa mengusir duta besar AS dan Australia dari Indonesia....
Depok (ANTARA Sumsel) - Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Australia, ternyata juga menjadi tempat penyadapan.

Informasi yang beredar di media massa menyebutkan bahwa Kedubes AS di Jakarta digunakan sebagai sarana memata-matai atau menyadap dan memantau komunikasi elektronik di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Berita mengenai aksi AS  memata-matai Asia Tenggara termasuk Indonesia dilansir  media Australia, Sydney Morning Herald (SMH) mengutip data yang dibocorkan Edward Snowden.

Disebutkan aksi penyadapan dilakukan gabungan dua badan rahasia AS yakni CIA dan NSA  yang dikenal dengan nama "Special Collection Service".

Amerika Serikat diketahui menyadap dan memantau komunikasi elektronik di Asia Tenggara melalui fasilitas mata-mata yang tersebar di kedutaan besarnya di beberapa negara di kawasan itu, termasuk kedutaan AS  di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, seperti dilaporkan SMH.

Terkait dengan aksi penyadapan oleh AS dan Australia ini, tindakan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang melayangkan nota protes  dinilai pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, sudah tepat. "Namun, jika kurang puas, pemerintah Indonesia bisa mengusir duta besar AS dan Australia dari Indonesia," kata Hikmahanto.

Dia menyebutkan, bila Indonesia menganggap penjelasan resmi sudah memadai maka isu penyadapan akan selesai sampai situ. Namun bila Indonesia tidak puas dengan penjelasan dari AS dan Ausralia maka Indonesia dapat melakukan tindakan pengusiran atau persona non-grata atas sejumlah diplomat yang bertugas di Kedubes AS dan Australia.

Pemerintah Indonesia, menurut dia,  dapat memanggil pulang duta besar Indonesia di AS dan Australia, bahkan memperkecil diplomat yang bertugas di perwakilan kedua negara. "Ini sebelum tindakan keras berupa pemutusan hubungan diplomatik. Semua akan bergantung pada bagaimana reaksi pemerintah Indonesia terhadap insiden penyadapan," ujarnya.

Dia menunjuk langkah pemerintah Jerman dan Brazil yang mengungkapkan kemarahannya dengan mengusulkan kepada PBB draf resolusi terkait hak privasi. Namun, Hikmahanto meragukan pemerintah Indonesia bakal bersikap keras seperti kedua negara tersebut, pasalnya  ketergantungan Indonesia terhadap AS dan Australia sangat besar.

Terkuaknya penyadapan oleh AS dan Australia berkat pengkhianatan yang dilakukan oleh mantan pegawai kontrak Badan Keamanan Nasional AS, Snowden. Dia mengungkapkan penyadapan dilakukan oleh AS di Jerman, China, Malaysia, bahkan Indonesia. Tujuannya, untuk mengumpulkan informasi secara ilegal sehingga pemerintah AS atau Australia dapat mengetahui lebih dulu serta mengantisipasi kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah Indonesia.

Dugaan penyadapan berasal dari dokumen yang dibocorkan oleh Snowden. Dokumen itu  diterbitkan oleh majalah Jerman, Der Spiegel, yang membahas secara rinci program intelijen sinyal bernama Stateroom, tempat Kedubes AS, Inggris, Australia dan Kanada menyimpan perangkat penyadapan untuk mengumpulkan komunikasi elektronik.

Laporan itu memicu kemarahan dari pemerintah negara-negara Asia dan para pemimpin negara meminta AS serta para sekutunya untuk memberikan klarifikasi atas tuduhan tersebut.

Namun, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, hanya mengatakan bahwa pemerintahnya tidak melanggar hukum apa pun.

Penyadapan adalah tindakan tidak sehat karena didasarkan pada kecurigaan dan keinginan untuk tahu lebih dulu tentang kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang disadap. Katanya, "Penyadapan bertentangan dengan hukum internasional karena tindakan itu tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam Konvensi tentang Hubungan Diplomatik."

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menyesalkan tindakan penyadapan yang dilakukan kedua negara tersebut. "Jika benar seperti yang diberitakan, sungguh ini sangat disesalkan karena suatu hubungan diplomasi tidak boleh terkontaminasi dengan aksi penyadapan," kata ujar Jubir Presiden, Julian Pasha mengutip pernyataan SBY.  

Julian menambahkan, Indonesia belum mengambil sikap terkait kasus tersebut. Alasannya, Indonesia melalui Menlu Marty Natalegawa masih mencari klarifikasi informasi penyadapan tersebut. "Presiden minta Menlu berkomunikasi dan minta klarifikasi ke pihak-pihak terkait. Kita menunggu penjelasan dari pihak resmi," kata dia.

          Rusak hubungan bilateral
Suratkabar SMH juga mengutip bocornya laporan rahasia dari intelijen Australia soal Indonesia dan Timor Timur pada 1999. Disebutkan pula Australia membaca kabel diplomatik Indonesia sejak pertengahan tahun 1950-an.

Menurut Menlu RI, Marty Natalegawa, pemerintah AS dan Australia tidak membantah atau membenarkan adanya pemberitaan soal pos penyadapan yang berada di Gedung Kedutaan mereka di Indonesia. "Itu merupakan jawaban awal yang kita terima ketika menanyakan pada kedua pemerintah tersebut soal skandal penyadapan," kata Menlu.

Pemerintah AS, katanya,  hanya menyatakan negaranya tengah meninjau kebijakan intelijen mereka agar sesuai dengan arah kebijakan luar negerinya. Kendati AS dan Australia tak dapat mengonfirmasi atau membantah aksi itu, paling tidak mereka bisa menyatakan di depan publik, tak akan lagi mengulangi penyadapan terhadap negara-negara yang dianggapnya mitra.

Marty berpendapat, terungkapnya aksi terbaru ini tentu berpontensi merusak hubungan bilateral di antara kedua negara. Indonesia berharap kedua pihak akan berkomitmen untuk menghentikan aksi penyadapan ini.

Menurut Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, pemerintahnya menanggapi serius kekhawatiran Indonesia atas laporan media bahwa Kedutaan Besar Australia di Jakarta digunakan oleh AS untuk program pengumpulan data elektronik rahasia.

Namun Bishop menolak mengomentari tuduhan tersebut dan mengatakan, "Pemerintah Australia tidak akan menanggapi masalah intelijen. Menlu Natalegawa dan saya bekerja sama secara baik."

Sementara Duta Besar Australia, Greg Moriarty, usai pertemuan dengan Sekjen Kemenlu di Jakarta menyatakan, pertemuan berjalan dengan baik dan akan memberikan laporan kepada Canberra.

Penyadapan oleh AS dan Australia menurut Staf Khusus Presiden SBY bidang Hubungan Luar Negeri, Letjen (Purn) TB Silalahi, telah terjadi sejak masa Presiden Soekarno dan pasti akan terulang lagi. Karena itu yang terpenting sekarang adalah bagaimana Indonesia  harus menghadapinya.

Dengan kemajuan teknologi informasi (IT), penyadapan itu makin mudah, karena peralatannya makin canggih. Saat ini, penyadapan dilakukan secara luas, katanya. Bukan hanya antar-negara, tetapi malah terjadi di dalam negeri itu sendiri, antara lain persaingan politik dan bisnis. "Presiden Nixon  jatuh dari jabatannya, karena melakukan penyadapan terhadap lawan politik yang terkenal dengan skandal Watergate," ujarnya.

Sudah barang tentu pemanfaatan IT perlu ada hukum yang mengaturnya, ujarnya, sanksi dalam negeri antara lain dalam kejahatan di bidang IT atau cyber crime, sanksi internasional untuk antar negara. Hukum Internasional harus menjangkau kemajuan IT.

Dia juga mengingatkan, saat ini merupakan era kemajuan teknologi. Hanya saja, jangan terlalu tergantung IT, karena mungkin saja negara lain IT-nya lebih canggih. "Kita harus menyusun sistem yang mengutamakan sumber daya manusia. Saya yakin Badan Intelijen Negara kita sudah mengarah ke sana," katanya menjelaskan.

Ketua Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri (GM FKPPI) DKI Jakarta, Arif Bawono menilai kegiatan penyadapan tersebut bukan saja telah mengganggu hubungan diplomatik tapi juga upaya paling nyata AS dan Australia mengangkangi kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Oleh karena itu, dia mendesak agar protes yang disampaikan oleh pemerintah RI dibarengi aksi nyata berupa penijauan kembali hubungan diplomatik.

Arif juga menunjuk hal penting lainnya, jika benar aksi spionase dan penyadapan ini dilakukan AS dan Australia, itu menunjukkan betapa lemahnya kekuatan sistem pertahanan negara ini.