Muhammadiyah gugat UU Rumah Sakit ke MK

id Din Syamsudin, Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah gugat UU Rumah Sakit ke MK

Din Syamsuddin (Foto Antarasumsel.com/Nila Fuadi)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah menguji Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ke Mahkamah Konstitusi.

Pemohon yang diwakil oleh Prof Dr Din Syamsudin dan Prof Dr H A Syafiq Mughni MA ini menguji Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (1) UU Rumah Sakit.

"Dengan berlakunya ketentuan tersebut, pemohon menemui hambatan khususnya mengenai perizinan yang dibutuhkan, hal mana setelah diajukan permohonan izin, perpanjangan izin operasional tersebut ditolak oleh Kementerian Kesehatan dan Badan yang berkompeten," kata Kuasa Hukum Pemohon, Syaiful Bakhri, saat membacakan permohonannya dalam sidang pendahuluan di Jakarta, Kamis.

Syaiful Bakhri  juga mengungkapkan bahwa pemohon akan menanggung beban pidana penjara, denda dan sanksi administrasi sebagai pemilik dan keberlangsungan amal usaha rumah sakit Muhammadiyah.

Hal ini karena keberadaannya tidak dijamin dan tidak diakui oleh negara hanya karena tidak didirikan dalam badan hukum khusus kerumahsakitan, tetapi didirikan sebagai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang kesehatan, kata Syaiful Bakhri.

"Pemohon diharuskan mengeluarkan biaya pendirian termasuk di dalamnya biaya perizinan, administrasi dan waktu akibat tidak diakui dan tidak dijaminnya keberadaan amal usaha rumah sakit Muhammadiyah yang dimiliki Pemohon oleh negara khususnya pemerintah," katanya.

Syaiful Bakhri mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU Rumah Sakit yang diujikan tidak memenuhi asas pengayoman, asas kemanusiaan, asas kekeluargaan, asas bhinneka tunggal ika, asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum, dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

"Dengan mengharuskan Pemohon membentuk badan hukum khusus tentang perumahsakitan maka sama dengan halnya tidak mengakui hak berserikat dan berkumpulnya Pemohon dalam wujud Persyarikatan Muhammadiyah yang telah diakui oleh negara sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan kemerdekaan," katanya.
    
         Bertentangan
Syaiful juga mengatakan ketentuan Pasal 62, Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 64 ayat (1) UU Rumah Sakit tersebut jelas sangat bertentangan dengan hak pemohon yang mempunyai amal usaha rumah sakit yang didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah, yang dijamin secara konstitusional.

Dia menegaskan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit memberikan penegasan bahwa pemerintah dalam upaya mewujudkan dan memajukan kesejahteraan umum masih menggunakan sistem kelas, ada kelas pemerintah ada kelas swasta.

"Padahal dalam menyelenggarakan negara ini tidak dikenal kelas-kelas, tetapi semua elemen bangsa dan masyarakat mempunyai tujuan yang satu yakni memajukan kesejahteraan umum dalam bidang khususnya bidang pelayanan kesehatan seluruh rakyat Indonesia melalui rumah sakit tanpa harus dibedakan milik pemerintah ataupun milik swasta," kata Syaiful Bakhri.

Untuk itu pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU Rumah Sakit bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Sidang pendahuluan ini dipimpin majelis panel yang dipimpin oleh Ahmad Sodiki yang didampingi Hamdan Zoelva dan Arief Hidayat sebagai anggota.

Dalam memberikan saran, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pemohon dalam permohonannya hanya menyebut Pasal 28 UUD 1945 sebagai batu ujinya.

"Kenapa pasal 34  tidak dimasukkan, karena ada kecenderungan dengan pasal 7 UU Rumah Sakit pemohon yang rumah sakit profit itu akan privatisasi, sehingga hilang kekhususannya," kata Arief.

Atas saran tersebut, Syaiful Bakhri menyatakan akan memasukkan Pasal 34 UUD 1945 sebagai batu uji dalam perbaikan permohonannya.