Keanekaragaman hayati ditengah ancaman kerusakan lingkungan

id hutan, lingkungan, keanekaragaman hayati, ancaman kerusakan lingkungan

Keanekaragaman hayati ditengah ancaman kerusakan lingkungan

Ilustrasi - Minyak mentah mencemari lingkungan pemukiman penduduk kawasan Sukabangun dan Sukajaya, Kecamatan Sukarami Palembang, Senin (19/11). (FOTO Antarasumsel.com/Yudi Abdullah)

....Semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan tekanan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan, terutama daya dukung lahan yang tinggi....
Tidak ada keanekaragaman hayati yang seunik Papua di dunia, pernyataan itu pantas kiranya disematkan di pulau paling timur Indonesia itu.

Papua hampir memiliki separuh dari kekayaan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.

Papua memiliki hutan primer yang heterogen di daerah pegunungan, ekosistem bakau, ekosistem rawa, juga tanah datar hingga kekayaan bawah laut.    

Daratan dan lautan Papua terdiri dari banyak spesies endemik dan beragam ekosistem.

Ada sekitar 25.000 spesies tumbuhan berkayu, 164 spesies mamalia, 329 spesies amfibia dan reptilia, 650 spesies burung, dan 1.200 spesies ikan laut.

Tak heran jika Deputi VII Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Kelembagaan Henri Bastaman menyebut Papua sebagai "supermarket" alam yang menyediakan segalanya.

"Belum ada ilmu yang mengetahui secara pasti mengenai keunikan ekosistem di wilayah ini," ujar Henri ketika ditemui di Biak, awal pekan ini.

Papua, yang terdiri dari dua provinsi Papua dan Papua Barat, mempunyai luas 42,22 juta hektare yang terdiri dari 10,61 juta hektare hutan lindung, 8,02 juta hektare hutan pelestarian dan konservasi, 9,26 juta hektare hutan produksi, 1,67 juta hektare kawasan perairan, dan 10,5 juta hektare hutan produksi.

Namun lazimnya terjadi di Indonesia, keanekaragaman hayati tersebut terancam dengan adanya kegiatan ekonomi seperti pengalihfungsian lahan menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri hingga pertambangan.

Henri mengatakan Papua mendapat peringkat pertama dalam indeks kualitas lingkungan yang dikeluarkan pada 2006 dengan 76 persen tutupan lahan.

Kondisi itu merosot menjadi peringkat 17 pada tahun ini. Penyebabnya bukan masalah tutupan lahan atau pun kualitas udara, tapi kualitas air yang diakibatkan aktivitas pertambangan yang terjadi di hulu sungai.

"Seperti yang terjadi di Teluk Jayapura. Ternyata di hulu sungai banyak sekali kegiatan pertambangan," tambah Henri.

Menurunnya kualitas air di Teluk Jayapura itu tidak hanya terlihat dari perbedaan warna air.

Kementerian Lingkungan Hidup menemukan kandungan merkuri di wilayah perairan tersebut sejak 2009.

Ancaman lainnya adalah perkebunan sawit yang mulai merambah tanah Papua tersebut.

Direktur Organisasi Lingkungan WWF wilayah Sahul, Benja Victor Mambai, menyebutkan saat ini luasan perkebunan sawit di Papua mencapai 100.000 ribu hektare. Luas itu dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya.

"Proyek Merauke Integrated Food Energy Estate ( MIFEE) yang seharusnya untuk ketahanan pangan malah disalahgunakan untuk hutan tanaman industri."

Benja menyebut 54 hingga 60 persen lahan MIFEE di Merauke digunakan untuk HTI. Saat ini, sebagian sudah ditebang untuk dialihfungsikan.
   
           Upaya pencegahan
Henri mengatakan permasalahan utama dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Papua adalah analisa tentang potensi, pemanfaatan dan pengembangan yang belum optimal sehingga belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

Semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan tekanan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan, terutama daya dukung lahan yang tinggi.

Berbagai aktivitas ekonomi serta industri juga turut menjadi salah satu ancaman terhadap lingkungan.

Berbagai persoalan yang ditimbulkan akibat aktivitas tersebut adalah degradasi lingkungan yang ditandai dengan bencana alam berupa longsor, banjir, dan pencemaran lingkungan,

"Untuk menyelesaikan persoalan tersebut dibutuhkan penguatan kelembagaan. Serta kemudahan dalam koordinasi untuk menyatukan rencana dan program dalam pengelolalaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Papua," papar dia.

Oleh karena itu, diperlukan Pusat Pengelolaan Ekoregion untuk memetakan karakteristik ekoregionnya yang unik.

Dengan adanya pusat pengelolaan tersebut, lanjut dia, bisa dipetakan kekayaan alam baik dari sisi ekologi maupun keanekaragaman hayati.

Prinsipnya bagaimana mengelola lingkungan berdasarkan konsep ekosistem.

Pembangunan yang dilakukan tidak hanya memperhatikan dari aspek ekonomi tapi juga lingkungannya. Menurutnya, tidak bisa pembangunan yang ada di Jawa diterapkan secara langsung di Papua.

"Kegiatan eksplorasi yang ada di Jawa tidak sama dengan yang ada di Papua. Pembangungan tidak hanya dilihat dari segi ekonomi tapi juga lingkungannya," tukas dia.

Pusat pengelolaan itu diharapkan juga bisa menjadi semacam mikroskop, melihat permasalahan lingkungan secara lebih detail.

Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, meresmikan Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Papua di Biak, Papua, Selasa (11/12).

"Pusat pengelolaan ini dibentuk sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Pulau Papua yang lebih optimal," ujar Balthasar.

Pusat pengelolaan tersebut menjadi pusat pengelolaan keenam yang ada di Tanah Air setelah lima lainnya terdapat di Riau, Balikpapan, Makassar, Yogyakarta, dan Denpasar.

Sebelumnya, wilayah Papua tergabung dalam PPE wilayah Sulawesi dan Maluku yang ada di Makassar.

Dengan terbentuknya kelembagaan lingkungan hidup di wilayah tersebut, lanjut Menteri Lingkungan Hidup, akan mempercepat peningkatan kapasitas lembaga-lembaga lingkungan di Papua yang dapat mendorong pemerintah daerah melaksanakan perencanaan, penyusunan dan implementasi program lingkungan hidup.

Bupati Biak Numfor, Yusuf Melianus Maryen, menyambut baik adanya pusat pengelolaan tersebut.

Biak yang termasuk wilayah kepulauan juga tidak luput dari permasalahan lingkungan. Sebanyak dua pulau di Kabupaten Biak Numfor, Papua, terancam hilang akibat kenaikan permukaan air laut.

Meski pulau yang terancam tersebut adalah pulau yang tidak berpenduduk. Pemerintah setempat sedang mencari solusi mengenai permasalahan ini misalnya membangun tanggul untuk mencegah abrasi di wilayah perairan tersebut.

"Bagi kami, pusat pengelolaan ekoregion ini sangat penting," tukas Bupati yang menjabat selama dua periode itu.

Selain permasalahan pulau yang terancam tenggelam, di wilayahnya juga terjadi permasalahan lingkungan lainnya seperti penangkapan ikan yang masih menggunakan potasium.

"Laut rusak karena pencarian ikan yang tidak ramah lingkungan. Namun sekarang sudah tidak lagi sejak adanya perhatian pemerintah yang memberikan peralatan menangkap ikan ramah lingkungan," jelas Yusuf.

Pihaknya juga melakukan penanaman pohon di hutan Biak yang gersang. Yusuf menyebutkan terdapat 41.000 hektare lahan tandus di Biak, dan baru 13 persen dari wilayah itu telah dihijaukan dengan melakukan penanaman. (ANT-I025)