Film dokumenter "Permata di Tengah Danau" jadi terbaik di FFD 2012

id Permata di Tengah Danau, Andi Hutagalung, Festival Film Dokumenter FFD Bali 2012

Film dokumenter "Permata di Tengah Danau"  jadi terbaik di FFD 2012

Film "Permata Di Tengah Danau" karya Andi Hutagalung (Antarasumsel.com/Youtube.com)

Denpasar (ANTARA Sumsel) - Film "Permata Di Tengah Danau" karya Andi Hutagalung terpilih menjadi yang terbaik dalam Festival Film Dokumenter (FFD) Bali 2012 yang diumumkan dalam malam penganugerahan di Sanur, Denpasar, Sabtu.

Film dokumenter itu berhasil menjadi yang terbaik setelah menyisihkan 11 nominasi film dari 20 judul karya para sineas film dokumenter.

"Sebelas film itu sudah menjadi pemenang, lalu dipilih lima judul dinominasikan menjadi unggulan, sedangkan hanya satu yang diputuskan menjadi terbaik berarti itu Ida Sang Hyang Widhi merangkulnya," kata Slamet Rahardjo Djarot, Ketua Dewan Juri FFD Bali 2012.

Film dokumenter terbaik yang dikerjakan selama hampir seminggu itu dinilai memenuhi unsur teknik, artistik, dan pesan utama yang mengisahkan mengenai keprihatinan dan kepedulian Togu Simorangkir, perantau yang mapan di Jakarta dan akhirnya kembali ke tanah Batak, untuk mendirikan sanggar belajar yang diberi nama "Sopo Belajar".

Sanggar itu kemudian berhasil meretas keterbatasan akses anak - anak desa terhadap informasi dan pengetahuan melalui buku - buku, sehingga mereka diajak menyelaraskan diri dengan alam, dengan niat untuk melahirkan permata - permata yang berani bermimpi yang tak pernah surut.

Dewan juri juga memilih empat film dokumenter yang menjadi unggulan di antaranya "Leng Apa Jengger" produksi Lacimplung dari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, karya Bowo Leksono, "Subak Pancoran-Sinar Kecil Di Kaki Bukit" produksi Komunitas Film Buleleng, karya Putu Satria Kusuma, "Made Taro Benteng.  

Terakhir Permainan Tradisional Bali produksi Raturu Production karya Sigit Purwono, dan "Burdah" produksi Sunari Studio Karangasem, karya I Komang Sukayasa.

Selain film terbaik dan film unggulan, FFD juga memberikan penghargaan khusus bagi film dokumenter dengan intensitas tinggi pada rekayasa olah teknologi yang jatuh kepada film berjudul "Bali-Heaven on Earth", karya Ivander Aditya produksi Light Wave Production Surabaya.

Untuk film terbaik mendapatkan hadiah berupa uang sebesar Rp20 juta, sementara film unggulan dan penghargaan khusus masing-masing mendapatkan uang sebesar Rp3,5 juta.

Dewan juri yang terdiri dari Slamet Rahardjo Djarot, Lawrence Blair, Rio Helmi, Prof. I Made Bandem, dan IGP Wiranegara memberikan catatan bahwa sineas dituntut harus bekerja ekstra dalam mengeksplorasi masalah dalam film yang dinilai masih kurang.

Meskipun demikian dalam festival tahun ini dewan juri menemukan adanya peningkatan pemahaman dasar arti film dokumenter yang lebih menekankan esensi dan bukan menyangkut sensasi, dibandingkan tahun sebelumnya yang cenderung berlebihan dalam mengungkapkan sesuatu.

Mengenai sudut pandang, lanjut Djarot, pembuatan film itu telah mengarah kepada nilai masyarakat yang digambarkan jujur dan apa adanya.

Dia mengatakan bahwa sudah ada pengembangan bentuk yang lebih berani dalam penalaran dramatisasi penggambaran.
(ANT/PSO-330/Z003)