Jakarta (ANTARA) -
Salah satu sudut Kafe Betawi yang ada di Mal Lippo Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (3/3/2023) (ANTARA/Ilham Kausar)
Naik kelas
Salah satu pengunjung restoran, Jihan (20) menjelaskan baru pertama kali mencicipi laksa betawi dan soto betawi di kafe yang berlokasi di mal Lippo Kemang, Jakarta Selatan, ini.
Kafe itu dinilai unik, karena biasanya makannya cepat saji di resto western (barat) atau makanan Jepang dan Korea, karena tampilannya dan rasanya yang enak.
Sebagai suku asli Jakarta, warga Betawi memiliki beragam makanan yang khas, mulai dari yang ringan hingga berat, dan biasa disantap dengan nasi. Selain itu makanan khas Betawi juga tidak kalah enak dan lezat dibandingkan makanan yang ada saat ini atau kekinian.
Makanan khas Betawi terkenal akan kekayaan rempah serta resep-resep tradisional yang memikat lidah, ditambah juga bikin ketagihan.
Meskipun demikian, masuknya budaya luar yang menimbulkan akulturasi budaya turut membuat banyak makanan Betawi terpengaruh dengan masakan bangsa lain, sehingga sangat kaya, baik ragam maupun rasa.
Makanan Betawi juga banyak dipengaruhi secara signifikan oleh beberapa etnis, seperti China, India, Arab, Portugis, dan Belanda.
Mencari makanan khas Betawi di ibu kota juga tidaklah sulit karena masih banyak para pedagang yang menjajakannya, mulai dari soto betawi, gado-gado, ketoprak, hingga makanan ringan yang terkenal, seperti asinan betawi dan rujak beubek.
Hanya saja, makanan Betawi bisa dibilang masih kurang moderen, mulai dalam bentuk penyajian hingga yang terpenting adalah cara menyajikan makanannya. Masih banyak penjual makanan Betawi, seperti gado-gado, ketoprak, asinan betawi, kerak telor, dan rujak beubek, dijual dengan gerobakan atau dipikul, sehingga tingkat kehigienisannya masih kurang.
Sekalipun dijual di rumah makan, biasanya berlokasi di pinggiran Jakarta, seperti di kampung-kampung daerah Tangerang, Bekasi, ataupun Depok. Selain lokasinya di pinggiran, suasana dan tampilannya juga sangat sederhana, sehingga agak sulit jika mencari di pusat kota atau di mal.
Hal ini juga yang menyebabkan makanan khas Betawi mulai terpinggirkan kepopulerannya, memang kita masih bisa menjumpai pedagang gado-gado, ketoprak, soto betawi, hingga asinan betawi dijual di sekitar Jakarta.
Namun konsumen akan mulai kesulitan jika mencari makanan khas Betawi, seperti laksa betawi, asinan Juhi, kue Rangi dan kerak telor, kecuali ketika ada acara-acara spesial, seperti festival makanan dan acara Pekan Raya Jakarta, barulah kita bisa menjumpai makanan tersebut.
Naik kelas
Kehigienisan penyajian makanan dan kesan rumah makan Betawi yang sederhana yang jauh dari pusat kota tersebut sepertinya sudah lama ingin diubah oleh sebuah kafe yang berdiri sejak tahun 1992.
Kafe yang awalnya dibuka di Pondok Indah Mal tersebut ingin mendobrak paradigma tersebut, bahwa makanan sederhana Betawi juga bisa naik kelas yang dihidangkan di dalam mal-mal di Jakarta.
Makanan Betawi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat Betawi saja dan juga kalangan-kalangan menengah ke bawah, tetapi dinikmati oleh para kalangan atas hingga para warga negara asing yang sedang berkunjung ke Jakarta.
Manajer pemasaran kafe itu, Raden Indra menjelaskan konsep kafe ini memang untuk menyasar kalangan menengah ke atas dan juga para turis yang kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta yang ingin mencicipi makanan otentik Betawi.
Dipilihnya mal-mal besar di Jakarta oleh kafe itu juga bukan tanpa alasan karena biasanya para kalangan atas hingga turis sedikit enggan untuk menyantap makanan di pinggir jalan karena masalah kebersihan.
Karena lokasi dan target konsumennya yang tidak biasa, maka tidak heran harga makanan di sini jauh berbeda dengan yang ada di pinggir jalan.
Sehingga, bagi yang ingin mencoba diharapkan membawa uang lebih, mengingat makanan yang dijual di restoran ini dibanderol dengan harga cukup tinggi.
Seperti soto Betawi, mungkin di warung pinggir jalan bisa menikmati dengan kisaran harga Rp20 ribu sampai Rp30 ribu, tapi di lokasi itu dibanderol di atas Rp60 ribu.
Harga tersebut memang jauh berbeda karena kualitas bahan-bahan masakannya premium, mulai penggunaan daging sapi impor, susu berkualitas, hingga bahan-bahan sayuran, seperti cabai, kangkung, dan sayuran lainnya dipilih dengan teliti dan seksama, sehingga menghasilkan rasa yang lezat.
Menu-menu yang dihidangkan di kafe yang telah memiliki 27 cabang ini juga tidak meninggalkan makanan tradisional Betawi, seperti soto betawi, laksa betawi, kue Rangi, hingga asinan Juhi yang mulai jarang dijumpai ada di tempat makan ini.
Salah satu pengunjung restoran, Jihan (20) menjelaskan baru pertama kali mencicipi laksa betawi dan soto betawi di kafe yang berlokasi di mal Lippo Kemang, Jakarta Selatan, ini.
Sebagai generasi Z, dia cukup antusias melihat ada restoran di mal yang berkonsep makanan tradisional Betawi ini.
Kafe itu dinilai unik, karena biasanya makannya cepat saji di resto western (barat) atau makanan Jepang dan Korea, karena tampilannya dan rasanya yang enak.
Setelah dia mencicipi makanan tradisional tersebut membuka wawasan baru terhadap makanan tradisional Indonesia, ternyata masakan Indonesia bisa disajikan dengan menarik dan rasanya juga enak, sehingga tidak kalah dengan makanan dari luar negeri.
Hadirnya kafe di mal-mal besar Jakarta juga menjadi bukti bahwa makanan tradisional Indonesia jika disajikan dengan modern bisa bersaing dengan restoran yang menyajikan makanan dari luar negeri, seperti dari Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan negara lainnya.
Pengamat kuliner William Wongso menjelaskan hadirnya makanan-makanan tradisional di mal-mal besar memang memiliki dampak yang bagus buat kepopulerannya, tetapi juga ada dampak yang harus diperhitungkan.
Membuka restoran atau tempat makan di mal memang nantinya akan menaikkan kelas makanan (tradisional) itu sendiri, tapi pelaku kuliner juga harus dapat memperhitungkan, seperti biaya sewa yang tinggi. Selain itu juga arus pengunjung mal tersebut apakah sering dikunjungi atau tidak oleh masyarakat.
Sehingga pelaku kuliner khususnya yang membuka restoran atau tempat makan tradisional di mal harus sudah menyiapkan jurus-jurus tersendiri untuk bisa bertahan dari gempuran restoran-restoran asal luar negeri yang makanannya lebih modern dan lebih familiar di masyarakat.
Dukungan pemerintah
Dengan mulai pulihnya kehidupan sosial masyarakat setelah pandemi COVID-19 selama hampir tiga tahun, Indra berharap pemerintah tetap memberikan dukungan dari segi apapun mengingat dampak yang sangat berpengaruh bagi usaha kuliner, terutama restoran atau tempat makan di mal-mal yang ada di Jakarta.
Seperti rutin diadakan kegiatan festival-festival makanan tradisional di seluruh wilayah Indonesia, kemudian juga dukungan untuk melebarkan sayapnya di kancah internasional, seperti acara di para duta besar Indonesia yang ada di luar negeri, sehingga masakan tradisional semakin dikenal bukan hanya nasi goreng, sate ataupun rendang saja.
Pemerintah sendiri telah memberi dukungan kepada restoran di mal dan pusat perbelanjaan, seperti dengan mencabut aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada Jumat, 30 Desember 2022, sehingga tingkat kunjungan pada tahun 2023 ditargetkan akan mencapai lebih dari sebelum pandemi, ataupun paling tidak, bisa mencapai 100 persen dibandingkan sebelum pandemi.