Jakarta (ANTARA) - Sutradara Kamila Andini menilai film “Yuni” merepresentasikan pembebasan diri di tengah tekanan problem struktural dan budaya patriarki yang mengakar di masyarakat.
“Setelah berjalan begitu lama, ternyata cerita ini bukan hanya sekadar sebuah dialog sederhana. Saya menemukan banyak pembebasan diri juga dalam film ini,” ujar Kamila saat konferensi pers di XXI Epicentrum Jakarta, ditulis pada Selasa.
Jika film “Yuni” telah resmi tayang di Indonesia, ia berharap nantinya penonton dapat merefleksikan pengalaman dan menemukan makna kebebasan versi masing-masing.
"Film ini tentang liberation, tentang membebaskan diri. Rasanya saya ingin mengajak itu (kepada penonton), mari kita bebaskan diri kita, suara kita, pikiran kita, dan pilihan-pilihan kita," tuturnya.
Meski “Yuni” sarat akan nuansa lokalitas, namun menurut Kamila film ini dapat terhubung oleh banyak orang di luar Indonesia atau belahan dunia yang lain sebab mengangkat permasalahan yang universal.
“Saya memperlihatkan perempuan sebagai perempuan, dengan jujur apa adanya, bukan sesuatu yang kemudian heroik sekali. Dan ini ternyata sangat berelasi dengan banyak orang di luar (negeri) juga,” ujarnya.
“Yuni” bercerita tentang seorang remaja cerdas bernama Yuni yang memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Namun ia dihadapkan pada pilihan, antara memenuhi kehendak sosial untuk segera menikah di usia muda atau tetap mengejar impiannya.
Menurut Kamila, film ini tidak hanya memotret keresahan serta kebingungan yang dialami remaja perempuan ketika dihadapkan tuntunan pernikahan, tetapi juga merekam pergelutan orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda serta laki-laki yang dirugikan dalam budaya patriarki.
“Saya sadar betul bahwa yang terjadi di “Yuni” itu tentang kebingungan seorang remaja menghadapi konflik struktural di lingkungannya. Saat melihat itu, saya mulai menyadari tentang double life society bahwa banyak sekali di antara kita yang selalu ingin berusaha keras untuk diterima oleh masyarakat,” terangnya.
Ide cerita film “Yuni” berawal dari obrolan Kamila bersama seorang ibu asisten rumah tangga mengenai anak sang ibu yang menikah di usia muda. Cerita tersebut, kata Kamila, sebetulnya tidak lagi asing ia dengar.
“Saya sudah sering banget melihat Yuni-Yuni yang lain, bahkan saya juga pernah punya pertanyaan saya sendiri,” tuturnya.
Bahkan, tambah Kamila, ia juga bertemu dengan orang-orang yang memiliki cerita serupa di dalam skenario film saat dirinya bersama tim produksi melakukan riset di Serang.
Kamila mengatakan dirinya juga menemukan perempuan serupa dengan Yuni saat melakukan riset pada 2009 di sebuah pulau terpencil yang hanya dihuni 15 kepala keluarga sementara hampir seluruh penduduk perempuan yang berusia muda telah memiliki anak.
“Saya merasa bahwa saya privilege banget hidup di ruang yang di sekitar saya semuanya sekolah, kerja, dan itu yang normal buat kita, sedangkan kalau saya tinggal di situ mungkin yang normal itu bukan sekolah,” katanya.
“Setelah berjalan begitu lama, ternyata cerita ini bukan hanya sekadar sebuah dialog sederhana. Saya menemukan banyak pembebasan diri juga dalam film ini,” ujar Kamila saat konferensi pers di XXI Epicentrum Jakarta, ditulis pada Selasa.
Jika film “Yuni” telah resmi tayang di Indonesia, ia berharap nantinya penonton dapat merefleksikan pengalaman dan menemukan makna kebebasan versi masing-masing.
"Film ini tentang liberation, tentang membebaskan diri. Rasanya saya ingin mengajak itu (kepada penonton), mari kita bebaskan diri kita, suara kita, pikiran kita, dan pilihan-pilihan kita," tuturnya.
Meski “Yuni” sarat akan nuansa lokalitas, namun menurut Kamila film ini dapat terhubung oleh banyak orang di luar Indonesia atau belahan dunia yang lain sebab mengangkat permasalahan yang universal.
“Saya memperlihatkan perempuan sebagai perempuan, dengan jujur apa adanya, bukan sesuatu yang kemudian heroik sekali. Dan ini ternyata sangat berelasi dengan banyak orang di luar (negeri) juga,” ujarnya.
“Yuni” bercerita tentang seorang remaja cerdas bernama Yuni yang memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Namun ia dihadapkan pada pilihan, antara memenuhi kehendak sosial untuk segera menikah di usia muda atau tetap mengejar impiannya.
Menurut Kamila, film ini tidak hanya memotret keresahan serta kebingungan yang dialami remaja perempuan ketika dihadapkan tuntunan pernikahan, tetapi juga merekam pergelutan orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda serta laki-laki yang dirugikan dalam budaya patriarki.
“Saya sadar betul bahwa yang terjadi di “Yuni” itu tentang kebingungan seorang remaja menghadapi konflik struktural di lingkungannya. Saat melihat itu, saya mulai menyadari tentang double life society bahwa banyak sekali di antara kita yang selalu ingin berusaha keras untuk diterima oleh masyarakat,” terangnya.
Ide cerita film “Yuni” berawal dari obrolan Kamila bersama seorang ibu asisten rumah tangga mengenai anak sang ibu yang menikah di usia muda. Cerita tersebut, kata Kamila, sebetulnya tidak lagi asing ia dengar.
“Saya sudah sering banget melihat Yuni-Yuni yang lain, bahkan saya juga pernah punya pertanyaan saya sendiri,” tuturnya.
Bahkan, tambah Kamila, ia juga bertemu dengan orang-orang yang memiliki cerita serupa di dalam skenario film saat dirinya bersama tim produksi melakukan riset di Serang.
Kamila mengatakan dirinya juga menemukan perempuan serupa dengan Yuni saat melakukan riset pada 2009 di sebuah pulau terpencil yang hanya dihuni 15 kepala keluarga sementara hampir seluruh penduduk perempuan yang berusia muda telah memiliki anak.
“Saya merasa bahwa saya privilege banget hidup di ruang yang di sekitar saya semuanya sekolah, kerja, dan itu yang normal buat kita, sedangkan kalau saya tinggal di situ mungkin yang normal itu bukan sekolah,” katanya.