Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum KPK Zainal Abidin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, Senin, menyebut Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah menggunakan uang gratifikasi untuk membangun masjid Kebun Raya Maros di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulsel.
"Di atas tanah yang dibeli terdakwa dari Andi Abdul Samad kemudian dibangun masjid atas inisiasi dari terdakwa, lalu membentuk Panitia Pembangunan Masjid Pucak," kata JPU.
Dalam sidang secara virtual dengan agenda pembacaan tuntutan, terdakwa Nurdin Abdullah berada di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, sementara JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, Sulsel.
Dalam rangka pembangunan masjid tersebut, lanjut JPU, terdakwa menerima uang dari beberapa rekanan, termasuk CSR dari Bank Sulselbar, dengan total penerimaan terdakwa sejumlah Rp1 miliar.
JPU KPK mengungkapkan bahwa Petrus Yalim selaku Direktur PT Putra Jaya kenal dengan Gubernur Sulsel nonaktif itu sejak Nurdin menjabat sebagai Bupati Bantaeng. Perusahaan ini mempunyai pekerjaan dan AMP (Asphalt Mixing Plant) di Bantaeng.
Pada saat peletakan batu pertama Masjid Pucak, ajudan Nurdin (Syamsul Bahri) menyampaikan kepada Petrus Yalim agar Petrus bisa membantu pembangunan masjid di atas tanah milik Nurdin.
Petrus lalu menyatakan kesediaannya untuk memberikan uang sebesar Rp100 juta dengan cara transfer ke rekening Pengurus Masjid Kawasan Kebon Raya Pucak atas nama Mulia Trans Marga PT Timur Jaya.
Saat peletakan batu pertama pembangunan masjid di Pucak Maros di atas tanah milik Nurdin juga, Thiawudy Wikarso selaku kontraktor pemilik PT Tri Star Mandiri, yang juga pernah mengerjakan proyek di Kabupaten Bantaeng dan Pemprov Sulsel, memberikan uang sebesar Rp100 juta kepada Nurdin untuk pembangunan masjid dengan cara transfer ke rekening Pengurus Masjid Kawasan Kebun Raya Pucak.
Selanjutnya, Direktur Bank Sulselbar Amri Mauraga yang ditemui Nurdin di rumah jabatan gubernur juga memberikan bantuan CSR ke Masjid Pucak Maros sebesar Rp400 juta yang disetorkan pada tanggal 8 Desember 2020. Masjid tersebut dibangun di atas tanah Nurdin.
Kepala Cabang Bank Mandiri Cabang Panakkukang Muhammad Ardi juga pernah menerima penitipan uang dari ajudan Nurdin (Syamsul Bahri) bahwa Nurdin mau menyumbang ke rekening Pengurus Masjid Pucak Maros di Bank Sulselbar sebesar Rp300 juta dari rekening Sulsel Peduli Bencana di Bank Mandiri milik Nurdin ke nomor rekening pengurus Masjid Kebun Raya di Bank Sulselbar.
"Maka, penuntut umum berkesimpulan bahwa benar terdakwa telah menerima gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Petrus Yalim, Thiawudy Wikarso, Direksi Bank Sulselbar, rekening Sulsel Peduli Bencana untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa.
Di persidangan, Nurdin mengakui bahwa terdapat pembelian aset tanah pada pertengahan 2020 yang terletak di area Puncak Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros.
Pembelian tanah tersebut menggunakan uang atau tabungan Nurdin saat menjabat Bupati Bantaeng ditambah dengan pendapatan dari istri Nurdin.
Nurdin menyebut bahwa pembelian tanah tersebut dari pemilik tanah sebelumnya atas nama Andi Abdul Samad seluas sekitar 13 hektare atau 7 bidang tanah seharga Rp2,2 miliar yang dibayar dengan cara tunai.
Selain membeli tanah Andi Abdul Samad, Nurdin juga membeli tanah dari Aminuddin alias Yamang seluas 19.000 meter persegi seharga Rp300 juta atau sekitar Rp15.800,00 per meter di Dusun Arra Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros dengan cara pembayaran tunai.
Selanjutnya, pada bulan Juli 2020, Nurdin membeli tanah milik Muhammad Nusran seluas sekitar 3,2 hektare yang berada di belakang tanah Andi Abdul Samad di Dusun Arra, Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros seharga Rp544 juta.
"Penuntut Umum berpendapat bahwa pembelian tanah yang dilakukan oleh terdakwa terdapat kejanggalan-kejanggalan sedemikian rupa, yakni terdakwa membayar secara tunai pembelian tanah tersebut yang uangnya diambil dari brankas di rumah jabatan gubernur," ungkap jaksa.
Nurdin juga tidak melaporkan uang untuk pembelian tanah tersebut dalam LHKPN sehingga patut diduga bahwa uang tersebut bukan bersumber dari pendapatan yang legal dan sah.
Karena tanah yang dibeli oleh terdakwa patut diduga diperoleh secara tidak sah dan tidak legal serta adanya keinginan terdakwa yang akan menghibahkan masjid yang berdiri di atas tanah milik terdakwa tersebut, disebutkan jaksa bahwa terhadap keseluruhan aset tanah tersebut haruslah dirampas untuk negara yang selanjutnya akan dihibahkan ke Pemerintah Sulawesi Selatan.
"Masjid yang berdiri di atas tanah tersebut tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat," kata jaksa.
Dalam perkara ini, Nurdin Abdullah dituntut 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp3,187 miliar dan 350.000 dolar Singapura subsider 1 tahun penjara.
Nurdin juga diminta untuk dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak selesai jalani pidana pokoknya.
Nurdin dinilai terbukti menerima suap senilai 150.000 dolar Singapura (sekitar Rp1,596 miliar) dan Rp2,5 miliar serta gratifikasi senilai Rp7,587 miliar dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,128 miliar) sehingga totalnya sekitar Rp13,812 miliar.
"Di atas tanah yang dibeli terdakwa dari Andi Abdul Samad kemudian dibangun masjid atas inisiasi dari terdakwa, lalu membentuk Panitia Pembangunan Masjid Pucak," kata JPU.
Dalam sidang secara virtual dengan agenda pembacaan tuntutan, terdakwa Nurdin Abdullah berada di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, sementara JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar, Sulsel.
Dalam rangka pembangunan masjid tersebut, lanjut JPU, terdakwa menerima uang dari beberapa rekanan, termasuk CSR dari Bank Sulselbar, dengan total penerimaan terdakwa sejumlah Rp1 miliar.
JPU KPK mengungkapkan bahwa Petrus Yalim selaku Direktur PT Putra Jaya kenal dengan Gubernur Sulsel nonaktif itu sejak Nurdin menjabat sebagai Bupati Bantaeng. Perusahaan ini mempunyai pekerjaan dan AMP (Asphalt Mixing Plant) di Bantaeng.
Pada saat peletakan batu pertama Masjid Pucak, ajudan Nurdin (Syamsul Bahri) menyampaikan kepada Petrus Yalim agar Petrus bisa membantu pembangunan masjid di atas tanah milik Nurdin.
Petrus lalu menyatakan kesediaannya untuk memberikan uang sebesar Rp100 juta dengan cara transfer ke rekening Pengurus Masjid Kawasan Kebon Raya Pucak atas nama Mulia Trans Marga PT Timur Jaya.
Saat peletakan batu pertama pembangunan masjid di Pucak Maros di atas tanah milik Nurdin juga, Thiawudy Wikarso selaku kontraktor pemilik PT Tri Star Mandiri, yang juga pernah mengerjakan proyek di Kabupaten Bantaeng dan Pemprov Sulsel, memberikan uang sebesar Rp100 juta kepada Nurdin untuk pembangunan masjid dengan cara transfer ke rekening Pengurus Masjid Kawasan Kebun Raya Pucak.
Selanjutnya, Direktur Bank Sulselbar Amri Mauraga yang ditemui Nurdin di rumah jabatan gubernur juga memberikan bantuan CSR ke Masjid Pucak Maros sebesar Rp400 juta yang disetorkan pada tanggal 8 Desember 2020. Masjid tersebut dibangun di atas tanah Nurdin.
Kepala Cabang Bank Mandiri Cabang Panakkukang Muhammad Ardi juga pernah menerima penitipan uang dari ajudan Nurdin (Syamsul Bahri) bahwa Nurdin mau menyumbang ke rekening Pengurus Masjid Pucak Maros di Bank Sulselbar sebesar Rp300 juta dari rekening Sulsel Peduli Bencana di Bank Mandiri milik Nurdin ke nomor rekening pengurus Masjid Kebun Raya di Bank Sulselbar.
"Maka, penuntut umum berkesimpulan bahwa benar terdakwa telah menerima gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Petrus Yalim, Thiawudy Wikarso, Direksi Bank Sulselbar, rekening Sulsel Peduli Bencana untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa.
Di persidangan, Nurdin mengakui bahwa terdapat pembelian aset tanah pada pertengahan 2020 yang terletak di area Puncak Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros.
Pembelian tanah tersebut menggunakan uang atau tabungan Nurdin saat menjabat Bupati Bantaeng ditambah dengan pendapatan dari istri Nurdin.
Nurdin menyebut bahwa pembelian tanah tersebut dari pemilik tanah sebelumnya atas nama Andi Abdul Samad seluas sekitar 13 hektare atau 7 bidang tanah seharga Rp2,2 miliar yang dibayar dengan cara tunai.
Selain membeli tanah Andi Abdul Samad, Nurdin juga membeli tanah dari Aminuddin alias Yamang seluas 19.000 meter persegi seharga Rp300 juta atau sekitar Rp15.800,00 per meter di Dusun Arra Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros dengan cara pembayaran tunai.
Selanjutnya, pada bulan Juli 2020, Nurdin membeli tanah milik Muhammad Nusran seluas sekitar 3,2 hektare yang berada di belakang tanah Andi Abdul Samad di Dusun Arra, Desa Tompobulu, Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros seharga Rp544 juta.
"Penuntut Umum berpendapat bahwa pembelian tanah yang dilakukan oleh terdakwa terdapat kejanggalan-kejanggalan sedemikian rupa, yakni terdakwa membayar secara tunai pembelian tanah tersebut yang uangnya diambil dari brankas di rumah jabatan gubernur," ungkap jaksa.
Nurdin juga tidak melaporkan uang untuk pembelian tanah tersebut dalam LHKPN sehingga patut diduga bahwa uang tersebut bukan bersumber dari pendapatan yang legal dan sah.
Karena tanah yang dibeli oleh terdakwa patut diduga diperoleh secara tidak sah dan tidak legal serta adanya keinginan terdakwa yang akan menghibahkan masjid yang berdiri di atas tanah milik terdakwa tersebut, disebutkan jaksa bahwa terhadap keseluruhan aset tanah tersebut haruslah dirampas untuk negara yang selanjutnya akan dihibahkan ke Pemerintah Sulawesi Selatan.
"Masjid yang berdiri di atas tanah tersebut tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat," kata jaksa.
Dalam perkara ini, Nurdin Abdullah dituntut 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp3,187 miliar dan 350.000 dolar Singapura subsider 1 tahun penjara.
Nurdin juga diminta untuk dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak selesai jalani pidana pokoknya.
Nurdin dinilai terbukti menerima suap senilai 150.000 dolar Singapura (sekitar Rp1,596 miliar) dan Rp2,5 miliar serta gratifikasi senilai Rp7,587 miliar dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,128 miliar) sehingga totalnya sekitar Rp13,812 miliar.