Jakarta (ANTARA) - Siapa pun yang pernah menonton film pertama “Don’t Breathe” (2016) tahu karakter The Blind Man yang bernama Norman Nordstrom (diperankan oleh Stephen Lang) digambarkan demikian kejam, sadis, sekaligus tangkas ketika membunuh orang meski ia sudah berusia senja dan buta.
Di film pertama itu pula, mungkin bagi sebagian penonton rasanya sulit untuk melabuhkan keberpihakan kepada para karakter selama adegan-adegan pertama berlangsung.
Kadang-kadang kita jadi empati terhadap sosok Rocky (diperankan oleh Jane Levy), latar belakang kehidupan keluarganya seolah-olah jadi “pembenaran” atas aksi pencurian yang ia lakukan.
Kadang-kadang pula di awal adegan film, kita jadi sedikit memihak terhadap si tuan rumah, Nordstrom, sebab siapa pun yang rumahnya dibobol oleh pencuri tentu tak terima begitu saja dan ingin melakukan perlawanan. Tetapi seiring berjalannya adegan demi adegan, persepsi penonton akan berubah karena kakek tunanetra ini membunuh dengan kejam siapa pun yang mengusik kehidupannya dan memperkosa tawanannya.
Stephen Lang (kanan) dan Adam Young dalam film “Don’t Breathe 2”. (ANTARA/HO-Screen Gems/Sony Pictures)
Dilema akhir cerita “Don’t Breathe” cukup bisa ditebak, bagaimana pun polisi lebih mempercayai dalih tuan rumah dan menganggap aksi pembunuhan si kakek tunanetra sebagai pertahanan diri alih-alih ada motif lain di baliknya. Sementara jika Rocky melapor kejahatan yang dilakukan Nordstrom, ia juga berpeluang masuk penjara karena telah mencuri uang di rumah si kakek. Maka, siapa atau apa itu “penjahat”?
Perihal keberpihakan ini juga diamini oleh Fede Alvarez yang menyutradarai film pertama dan ikut menulis skenario dengan Rodo Sayagues.
“Dalam ‘Don’t Breathe’, sulit untuk mengetahui siapa yang seharusnya Anda dukung. Kami mencoba hanya memberikan fakta tentang apa yang dilakukan karakter, dan menciptakan situasi kompleks di mana penonton dapat berselisih,” katanya melalui siaran pers, dikutip pada Sabtu.
Kini, berlatar delapan tahun setelah film pertama, sekuel kedua kembali menghadirkan Nordstrom sebagai sentral cerita. Banyak penonton berharap sosok Rocky bisa kembali dimunculkan dan bertanya-tanya seperti apa kehidupannya setelah ia berhasil lolos dari rumah Nordstrom. Namun sutradara dan penulis skenario akhirnya sepakat menghadirkan semesta lain dengan menempatkan gadis kecil bernama Phoenix (diperankan oleh Madelyn Grace) sebagai bagian dari kehidupan Nordstrom, alias tak ada jejak Rocky di sekuel kedua ini.
Jika film pertama mendorong penonton untuk tak sepenuhnya berempati kepada Nordstrom, “Don’t Breathe 2” justru lebih banyak memberi panggung untuk lebih mendekat lagi terhadap kehidupan sang veteran perang itu dengan berbagai sisi manusiawinya.
Sayagues yang mendapat kesempatan menyutradarai sekuel ini mengatakan, bagaimana pun Nordstrom tidak akan pernah bisa dijadikan sesosok pahlawan namun para penggodok cerita di balik layar juga ingin menceritakan sebuah kisah dari sudut pandang karakter itu.
Pendapat sutradara dapat dipahami, tetapi sayangnya “Don’t Breathe 2” terasa kopong dalam segi eksplorasi karakter Nordstrom. Di sekuel kedua, masa lalu Nordstrom tampak hanya seolah-olah merujuk pada segala kejahatannya dalam peristiwa di film pertama, padahal jika latar belakang sang kakek bisa ditarik lebih jauh ia akan jauh lebih menarik dan narasinya akan jauh lebih kaya.
Satu-satunya kawan Nordstrom, Hernandez (diperankan oleh Stephanie Arcila), sempat menyinggung trauma perang–kalau tidak salah–sesaat sebelum pergi bersama Phoenix untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar kota. Dulunya, Hernandez juga seorang veteran tentara–tak diketahui apakah Nordstrom dan Hernandez sama-sama pernah bertugas bersama atau tidak–yang jelas latar belakang itu tak dieksplorasi lebih lanjut.
Dengan menampilkan kisi-kisi atau potongan masa lalu Nordstrom jauh sebelum peristiwa di film pertama setidaknya dapat lebih membantu penonton untuk membaca dari sudut pandangnya.
Apakah kebutaan dan kebrutalannya menjadi “mesin pembunuh” merupakan sisa-sisa trauma peperangan di masa lalu? Kenapa ia begitu terobsesi ingin mengasuh seorang anak? Seperti apa anak kandung yang ia sebut telah meninggal dalam peristiwa kecelakaan? Bagaimana sisi-sisi sepi dalam kehidupannya sejak menjadi veteran?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya tampil setengah-setengah dalam sekuel kedua dan meninggalkan lubang dalam kepenuhan karakter yang menjadi sentral cerita.
Padahal aktor Stephen Lang sendiri mengamini bahwa luka perang luka perang yang mengakibatkan kebutaannya bersama dengan trauma lain yang dideritanya di masa lalu telah membuat Nordstrom menjadi manusia yang penuh dengan intrik abu-abu.
“Kerusakan spiritual, emosional, dan mental, itulah dia. Dia sudah hidup dalam isolasi untuk waktu yang sangat lama. Dia tidak berguna bagi dunia pada umumnya–dunia tidak memperlakukannya dengan baik. Seperti anjing yang terlempar–jika Anda mencoba mengelusnya, dia akan menggigit tangan Anda,” kata aktor itu.
Mengingat waralaba “Don’t Breathe” bukanlah jenis film yang mengadopsi plot rumit dan premis cerita yang sederhana, barangkali penguatan karakter Nordstrom dengan kombinasi trauma perang, rahasia gelap di film pertama, ditambah motif caranya mengasuh Phoenix di tahun saat sekuel kedua berlangsung, itu akan menjadi bahan bakar dan kekuatan utama cerita yang mendorongnya jauh lebih mengalir dan intens.
Masa lalu trauma perang itu bukan semata-mata membuat Nordstrom menjadi sosok pahlawan baru, justru wilayah abu-abu antara anti-pahlawan dan anti-villain masih bisa dimainkan. Ia bisa sadis sekaligus rapuh.
Sekuel kedua sebetulnya telah memberi panggung terhadap sosok Nordstrom dan Phoenix, sayangnya kesempatan itu tak digunakan lebih baik. Penonton memang disuguhkan eksplorasi sosok Phoenix tetapi tidak dengan Nordstrom yang hanya tampak seperti sosok setengah matang.
Jika bicara soal intensi ketegangan sebagai ciri khas genre horror thriller, rasanya film pertama juga jauh lebih membekas di benak penonton daripada sekuel kedua.
Meski demikian, “Don’t Breathe 2” patut diacungi jempol dari segi laga. Cara Nordstrom membaca medan dengan mengandalkan indera pendengaran dan penciuman, caranya membaca lawan tarung, dan gerakan-gerakan perkelahiannya jauh lebih apik dibandingkan film pertama.
Sekuel kedua dari film “Don’t Breathe” ini sudah dapat dinikmati di bioskop tanah air sejak Jumat (15/10), setelah sebelumnya dirilis di Amerika Serikat pada Agustus lalu. Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, menonton “Don’t Breathe 2” di bioskop dengan “privilese” medium audio dan layar tentu dapat menghadirkan sensasi tersendiri bagi penonton.
Di film pertama itu pula, mungkin bagi sebagian penonton rasanya sulit untuk melabuhkan keberpihakan kepada para karakter selama adegan-adegan pertama berlangsung.
Kadang-kadang kita jadi empati terhadap sosok Rocky (diperankan oleh Jane Levy), latar belakang kehidupan keluarganya seolah-olah jadi “pembenaran” atas aksi pencurian yang ia lakukan.
Kadang-kadang pula di awal adegan film, kita jadi sedikit memihak terhadap si tuan rumah, Nordstrom, sebab siapa pun yang rumahnya dibobol oleh pencuri tentu tak terima begitu saja dan ingin melakukan perlawanan. Tetapi seiring berjalannya adegan demi adegan, persepsi penonton akan berubah karena kakek tunanetra ini membunuh dengan kejam siapa pun yang mengusik kehidupannya dan memperkosa tawanannya.
Dilema akhir cerita “Don’t Breathe” cukup bisa ditebak, bagaimana pun polisi lebih mempercayai dalih tuan rumah dan menganggap aksi pembunuhan si kakek tunanetra sebagai pertahanan diri alih-alih ada motif lain di baliknya. Sementara jika Rocky melapor kejahatan yang dilakukan Nordstrom, ia juga berpeluang masuk penjara karena telah mencuri uang di rumah si kakek. Maka, siapa atau apa itu “penjahat”?
Perihal keberpihakan ini juga diamini oleh Fede Alvarez yang menyutradarai film pertama dan ikut menulis skenario dengan Rodo Sayagues.
“Dalam ‘Don’t Breathe’, sulit untuk mengetahui siapa yang seharusnya Anda dukung. Kami mencoba hanya memberikan fakta tentang apa yang dilakukan karakter, dan menciptakan situasi kompleks di mana penonton dapat berselisih,” katanya melalui siaran pers, dikutip pada Sabtu.
Kini, berlatar delapan tahun setelah film pertama, sekuel kedua kembali menghadirkan Nordstrom sebagai sentral cerita. Banyak penonton berharap sosok Rocky bisa kembali dimunculkan dan bertanya-tanya seperti apa kehidupannya setelah ia berhasil lolos dari rumah Nordstrom. Namun sutradara dan penulis skenario akhirnya sepakat menghadirkan semesta lain dengan menempatkan gadis kecil bernama Phoenix (diperankan oleh Madelyn Grace) sebagai bagian dari kehidupan Nordstrom, alias tak ada jejak Rocky di sekuel kedua ini.
Jika film pertama mendorong penonton untuk tak sepenuhnya berempati kepada Nordstrom, “Don’t Breathe 2” justru lebih banyak memberi panggung untuk lebih mendekat lagi terhadap kehidupan sang veteran perang itu dengan berbagai sisi manusiawinya.
Sayagues yang mendapat kesempatan menyutradarai sekuel ini mengatakan, bagaimana pun Nordstrom tidak akan pernah bisa dijadikan sesosok pahlawan namun para penggodok cerita di balik layar juga ingin menceritakan sebuah kisah dari sudut pandang karakter itu.
Pendapat sutradara dapat dipahami, tetapi sayangnya “Don’t Breathe 2” terasa kopong dalam segi eksplorasi karakter Nordstrom. Di sekuel kedua, masa lalu Nordstrom tampak hanya seolah-olah merujuk pada segala kejahatannya dalam peristiwa di film pertama, padahal jika latar belakang sang kakek bisa ditarik lebih jauh ia akan jauh lebih menarik dan narasinya akan jauh lebih kaya.
Satu-satunya kawan Nordstrom, Hernandez (diperankan oleh Stephanie Arcila), sempat menyinggung trauma perang–kalau tidak salah–sesaat sebelum pergi bersama Phoenix untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar kota. Dulunya, Hernandez juga seorang veteran tentara–tak diketahui apakah Nordstrom dan Hernandez sama-sama pernah bertugas bersama atau tidak–yang jelas latar belakang itu tak dieksplorasi lebih lanjut.
Dengan menampilkan kisi-kisi atau potongan masa lalu Nordstrom jauh sebelum peristiwa di film pertama setidaknya dapat lebih membantu penonton untuk membaca dari sudut pandangnya.
Apakah kebutaan dan kebrutalannya menjadi “mesin pembunuh” merupakan sisa-sisa trauma peperangan di masa lalu? Kenapa ia begitu terobsesi ingin mengasuh seorang anak? Seperti apa anak kandung yang ia sebut telah meninggal dalam peristiwa kecelakaan? Bagaimana sisi-sisi sepi dalam kehidupannya sejak menjadi veteran?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya tampil setengah-setengah dalam sekuel kedua dan meninggalkan lubang dalam kepenuhan karakter yang menjadi sentral cerita.
Padahal aktor Stephen Lang sendiri mengamini bahwa luka perang luka perang yang mengakibatkan kebutaannya bersama dengan trauma lain yang dideritanya di masa lalu telah membuat Nordstrom menjadi manusia yang penuh dengan intrik abu-abu.
“Kerusakan spiritual, emosional, dan mental, itulah dia. Dia sudah hidup dalam isolasi untuk waktu yang sangat lama. Dia tidak berguna bagi dunia pada umumnya–dunia tidak memperlakukannya dengan baik. Seperti anjing yang terlempar–jika Anda mencoba mengelusnya, dia akan menggigit tangan Anda,” kata aktor itu.
Mengingat waralaba “Don’t Breathe” bukanlah jenis film yang mengadopsi plot rumit dan premis cerita yang sederhana, barangkali penguatan karakter Nordstrom dengan kombinasi trauma perang, rahasia gelap di film pertama, ditambah motif caranya mengasuh Phoenix di tahun saat sekuel kedua berlangsung, itu akan menjadi bahan bakar dan kekuatan utama cerita yang mendorongnya jauh lebih mengalir dan intens.
Masa lalu trauma perang itu bukan semata-mata membuat Nordstrom menjadi sosok pahlawan baru, justru wilayah abu-abu antara anti-pahlawan dan anti-villain masih bisa dimainkan. Ia bisa sadis sekaligus rapuh.
Sekuel kedua sebetulnya telah memberi panggung terhadap sosok Nordstrom dan Phoenix, sayangnya kesempatan itu tak digunakan lebih baik. Penonton memang disuguhkan eksplorasi sosok Phoenix tetapi tidak dengan Nordstrom yang hanya tampak seperti sosok setengah matang.
Jika bicara soal intensi ketegangan sebagai ciri khas genre horror thriller, rasanya film pertama juga jauh lebih membekas di benak penonton daripada sekuel kedua.
Meski demikian, “Don’t Breathe 2” patut diacungi jempol dari segi laga. Cara Nordstrom membaca medan dengan mengandalkan indera pendengaran dan penciuman, caranya membaca lawan tarung, dan gerakan-gerakan perkelahiannya jauh lebih apik dibandingkan film pertama.
Sekuel kedua dari film “Don’t Breathe” ini sudah dapat dinikmati di bioskop tanah air sejak Jumat (15/10), setelah sebelumnya dirilis di Amerika Serikat pada Agustus lalu. Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, menonton “Don’t Breathe 2” di bioskop dengan “privilese” medium audio dan layar tentu dapat menghadirkan sensasi tersendiri bagi penonton.