Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati mengemukakan ada hubungan kuat antara kejadian pembekuan darah dengan penggunaan vaksin AstraZeneca, tetapi kejadiannya sangat jarang.
"Dari hasil evaluasi European Medicines Agency (EMA), sejauh ini memang dijumpai ada hubungan kuat antara kejadian pembekuan darah," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Zullies mengatakan hingga 5 Mei 2021, di Eropa telah ada laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin ini sebanyak 262 kasus, dan 51 diantaranya meninggal, dari penggunaan sebanyak 30 juta dosis vaksin.
Baca juga: Sumsel terima satu juta dosis vaksin COVID-19 untuk tiga kelompok prioritas
Jika dihitung, kata Zullies, persentase kejadiannya sangat kecil, sehingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Eropa menilai bahwa vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan reaksi pembekuan darah, namun manfaatnya masih lebih besar daripada risikonya, sehingga vaksin ini tetap boleh diberikan kepada masyarakat.
Mantan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) itu menambahkan kasus kematian tiga warga Indonesia usai menjalani vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca beberapa waktu lalu telah menyisakan rasa takut pada sebagian masyarakat.
"Tapi, sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI), bahwa dua dari tiga orang yang meninggal itu dipastikan tidak berhubungan dengan vaksin, karena yang satu adalah terinfeksi COVID dan yang satu mengalami radang paru," katanya.
Baca juga: Uni Eropa: Vaksin AstraZeneca harus dihentikan di atas usia 60 juga
Sedangkan satu kasus lainnya di Jakarta, kata Zullies, memang masih perlu diinvestigasi mendalam mengenai keterkaitan dengan vaksin AstraZeneca, dan telah dilakukan otopsi pada Senin (24/5).
Zullies menambahkan seorang peneliti Jerman Greinacher menduga bahwa reaksi pembekuan darah yang jarang ini berkaitan dengan platform vaksin, yaitu viral vector menggunakan adenovirus.
"Memang belum bisa dipastikan, tetapi penelitian sebelumnya menggunakan platform adenovirus ternyata menghasilkan reaksi yang sama, yaitu aktivasi platelet yang menyebabkan pembekuan darah," katanya.
Reaksi yang sama ternyata juga dijumpai pada penggunaan vaksin Johnson and Johnson yang menggunakan platform yang sama, yaitu adenovirus.
Penggunaan vaksin Johnson and Johnson sempat dihentikan di Amerika dan setelah dievaluasi bisa digunakan kembali.
"Diduga ada reaksi imun yang berlebihan terhadap vaksin yang berasal dari adenovirus, ketika vaksin tersebut berikatan dengan platelet, kemudian memicu serangkaian reaksi imun yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Reaksi ini sebenarnya bisa membaik sendiri, tetapi ada yang bisa berakibat fatal," katanya.
Baca juga: Vaksin merek AstraZeneca efektif hadapi varian Delta
Menurutnya, reaksi semacam ini mirip dengan reaksi yang dijumpai pada pasien yang sensitif terhadap heparin atau obat pengencer darah.
"Alih-alih mengencerkan darah, malah yang terjadi darahnya membeku. Reaksi ini disebut heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis (HITT or HIT type 2). Mungkin analoginya adalah reaksi syok anafilaksis akibat pemberian antibiotik golongan penisilin, yang jarang terjadi dan tidak selalu bisa diprediksi," katanya.
"Dari hasil evaluasi European Medicines Agency (EMA), sejauh ini memang dijumpai ada hubungan kuat antara kejadian pembekuan darah," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Zullies mengatakan hingga 5 Mei 2021, di Eropa telah ada laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin ini sebanyak 262 kasus, dan 51 diantaranya meninggal, dari penggunaan sebanyak 30 juta dosis vaksin.
Baca juga: Sumsel terima satu juta dosis vaksin COVID-19 untuk tiga kelompok prioritas
Jika dihitung, kata Zullies, persentase kejadiannya sangat kecil, sehingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Eropa menilai bahwa vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan reaksi pembekuan darah, namun manfaatnya masih lebih besar daripada risikonya, sehingga vaksin ini tetap boleh diberikan kepada masyarakat.
Mantan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) itu menambahkan kasus kematian tiga warga Indonesia usai menjalani vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca beberapa waktu lalu telah menyisakan rasa takut pada sebagian masyarakat.
"Tapi, sebenarnya sudah dijelaskan oleh Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI), bahwa dua dari tiga orang yang meninggal itu dipastikan tidak berhubungan dengan vaksin, karena yang satu adalah terinfeksi COVID dan yang satu mengalami radang paru," katanya.
Baca juga: Uni Eropa: Vaksin AstraZeneca harus dihentikan di atas usia 60 juga
Sedangkan satu kasus lainnya di Jakarta, kata Zullies, memang masih perlu diinvestigasi mendalam mengenai keterkaitan dengan vaksin AstraZeneca, dan telah dilakukan otopsi pada Senin (24/5).
Zullies menambahkan seorang peneliti Jerman Greinacher menduga bahwa reaksi pembekuan darah yang jarang ini berkaitan dengan platform vaksin, yaitu viral vector menggunakan adenovirus.
"Memang belum bisa dipastikan, tetapi penelitian sebelumnya menggunakan platform adenovirus ternyata menghasilkan reaksi yang sama, yaitu aktivasi platelet yang menyebabkan pembekuan darah," katanya.
Reaksi yang sama ternyata juga dijumpai pada penggunaan vaksin Johnson and Johnson yang menggunakan platform yang sama, yaitu adenovirus.
Penggunaan vaksin Johnson and Johnson sempat dihentikan di Amerika dan setelah dievaluasi bisa digunakan kembali.
"Diduga ada reaksi imun yang berlebihan terhadap vaksin yang berasal dari adenovirus, ketika vaksin tersebut berikatan dengan platelet, kemudian memicu serangkaian reaksi imun yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Reaksi ini sebenarnya bisa membaik sendiri, tetapi ada yang bisa berakibat fatal," katanya.
Baca juga: Vaksin merek AstraZeneca efektif hadapi varian Delta
Menurutnya, reaksi semacam ini mirip dengan reaksi yang dijumpai pada pasien yang sensitif terhadap heparin atau obat pengencer darah.
"Alih-alih mengencerkan darah, malah yang terjadi darahnya membeku. Reaksi ini disebut heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis (HITT or HIT type 2). Mungkin analoginya adalah reaksi syok anafilaksis akibat pemberian antibiotik golongan penisilin, yang jarang terjadi dan tidak selalu bisa diprediksi," katanya.