Jakarta (ANTARA) - Senin, 15 September 2008, Lehman Brothers sebuah institusi keuangan yang didirikan tiga bersaudara imigran asal Jerman, yakni Henry, Emanuel dan Mayer Lehman menyatakan diri bangkrut setelah gagal mendapatkan opsi Chapter 11 Protection atau proteksi dari kebangkrutan.
Chapter 11 Protection itu merupakan mekanisme emergensi terhadap Iembaga keuangan di AS yang mengalami masalah Iikuiditas meminta pertolongan otoritas moneter AS.
Dari situlah, berita kebangkrutan Lehman Brothers seperti sebuah virus yang cepat menyebar.
Dalam buku yang dirilis Bank Indonesia berjudul "Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan" disebutkan kucuran kredit kepada warga AS untuk membeli properti melalui kreditur nonbank (sub-prime mortgage) menjadi sumber pemicunya.
Mengapa? Sebab, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kreditnya kepada masyarakat yang sebenarnya secara finansial tidak layak memperoleh kredit kepemilikan rumah (KPR), yang akhirnya memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (sub-prime mortgage).
Kredit macet di sektor properti tersebut mengakibatkan efek domino yang mengarah pada bangkrutnya beberapa lembaga keuangan di Amerika Serikat seperti Lehman Brothers. Satu demi satu industri keuangan yang ada kaitannya dengan bisnis properti di AS pun ikut tenggelam.
Hal itu dikarenakan lembaga pembiayaan sektor properti umumnya meminjam dana jangka pendek ke lembaga keuangan, dan jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan sektor properti itu adalah surat utang subprime mortgage.
Kondisi itu mengarah kepada terjadinya pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan akibat tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada. Ketidakmampuan membayar kewajiban itu membuat lembaga keuangan yang memberikan pinjaman terancam kebangkrutan.
Kondisi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di AS itu pun mempengaruhi likuiditas lembaga keuangan lainnya, baik yang berada di AS maupun di luar, terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Disinilah krisis keuangan global bermula.
Krisis keuangan global yang terus berlangsung menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia merosot yang imbasnya juga dirasakan oleh Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka antar negara dan kawasan, secara alamiah tentu tidak sepenuhnya kebal dari penularan krisis global.
Secara kasat mata, salah satu indikasi bahwa Indonesia terdampak krisis global dapat dilihat dari fluktuasi nilai tukar rupiah yang tertekan hingga menembus angka psikologisnya di level Rp10.000 per dolar AS.
Sebelum Lehman Brothers mengumumkan kebangkrutannya, nilai tukar rupiah stabil di level Rp9.000 per dolar AS. Memasuki pertengahan September, begitu terlansir berita Lehman Brother bangkrut, rupiah mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiah tertekan menembus angka Rp12.650 per dolar AS pada 24 November 2008.
Indikator lainnya yang juga menjadi bukti Indonesia terimbas krisis global yakni pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kala itu, banyak investor dalam negeri yang tiba-tiba menjadi sering bengong dan memasang muka masam.
Maklum saja, krisis keuangan global itu menyeret kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI masuk dalam tren negatif. Bahkan otoritas bursa sempat melakukan suspensi perdagangan efek selama dua hari setelah pada 8 Oktober 2008, IHSG terkoreksi hingga 10,38 persen menjadi 1.451,7 poin.
Salah seorang pelaku pasar, Alex Marco bercerita, ia pernah menikmati keuntungan yang fantastis dari investasi saham di BEI hingga ratusan juta rupiah saat harga sahamnya melambung tinggi.
Portofolionya yang berjumlah lebih kurang Rp50 juta dapat menjadi ratusan juta dalam jangka waktu kurang dari setahun.
Namun, keadaan berbalik, saat krisis finansial global yang terjadi pada 2008, harga saham jatuh, ia bahkan sampai menjual beberapa barang berharganya untuk menambah modal di portofolionya.
Pasar domestik
Saat krisis keuangan global 2008 - 2009, Indonesia masih terbilang dapat bertahan dan terhindar dari situasi keterpurukan seperti krisis yang terjadi pada 1997 - 1998.
Ekonomi Indonesia pada tahun 2008 tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 6,01 persen. Pada tahun berikutnya, juga mencatatkan pertumbuhan meski lebih rendah dari tahun 2008, yakni sebesar 4,63 persen.
Sejumlah ekonom mengatakan, selamatnya Indonesia dari guncangan krisis keuangan 2008 - 2009 adalah karena pasar domestik yang sangat besar. Itu menjadi sebuah keunggulan komparatif tersendiri bagi Indonesia.
Hal itu pun diamini dalam penelitian ekonom Iman Sugema berjudul "Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia".
Indonesia memiliki “keberuntungan yang tidak disengaja” sehingga implikasi resesi global justru tidak terlalu berdampak signifikan. Indonesia juga tidak terlalu bergantung pada ekspor dikarenakan pangsa ekspor Indonesia tidak mencapai setengah dari PDB Indonesia.
Kemudian, sektor perbankan dan sektor finansial Indonesia juga tidak mengalami dampak seberat negara lain karena tingkat
kebergantungannya tidak sedalam negara-negara lain.
Sekalipun pasar ekonomi global tengah terkontraksi, sekiranya Indonesia masih dapat mengelola permintaan pasar domestik dan menjaga daya beli masyarakat agar perekonomian tetap terjaga.
Sektor UMKM pada krisis 2008 - 2009 terbukti mampu menjaga perekonomian nasional berada di level positif.
Sementara di tengah krisis karena COVID-19 tahun 2020 saat ini, pemerintah pun kembali menaruh harapan besar pada UMKM. UMKM menjadi sektor kedua tertinggi mendapat alokasi anggaran PEN setelah bantuan perlindungan sosial.
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mencatat, di sektor UMKM terjadi kenaikan DIPA menjadi Rp28,80 triliun dari semula Rp22,01 triliun untuk program Banpres Produktif Usaha Mikro, yang disebabkan adanya perluasan dari target 9,1 juta menjadi 12 juta penerima manfaat yaitu para pelaku usaha mikro.
Sedangkan program penempatan dana telah mencapai Rp63,20 triliun atau 80,22 persen dari pagu anggaran hingga minggu pertama kuartal IV.
Pemerintah terus mengupayakan mencapai realisasi penuh di akhir tahun 2020 bersama dengan program-program Pemulihan Ekonomi Nasional lain.
Penerbitan tiga Perppu
Dalam suasana krisis keuangan 2008 - 2009, sektor perbankan nasional pun relatif masih cukup sehat dengan indikator yang masih terjaga. Meski demikian, pemerintah dan BI tetap merasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk memitigasi ancaman krisis keuangan global.
BI selaku otoritas moneter pun berjaga-jaga mengantisipasi bila ada bank menghadapi masalah. Bl menyempurnakan sejumlah Peraturan Bank Indonesia (PBI) seperti kelonggaran dalam hal Giro Wajib Minimum dari 7 persen menjadi 5 persen.
Selain itu, BI juga mengendurkan syarat bagi bank yang ingin mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Darurat tatkala likuiditasnya kering.
Pemerintah pun menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai upaya memitigasi dampak resesi ekonomi global, yakni Perpu No 2/2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan guna mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kehadiran Perppu ini untuk memberikan payung hukum bila ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan suntikan dana segar.
Kemudian, Perpu No. 3/2008 perihal perubahan nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Perppu ini pun semakin memberikan rasa aman bagi deposan untuk tidak memindahkan dana mereka ke tempat lain.
Dan Perpu No. 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan aturan ini untuk memberikan jaminan bila ada bank atau lembaga keuangan bukan bank uang mengalami kesulitan likuiditas.
DPR pun menyepakati dan menyetujui langkah-langkah yang diambil pemerintah dan BI di tengah situasi yang tidak normal.
Menandakan betapa Indonesia jauh lebih siap dalam menghadapi situasi krisis 2008 - 2009. Koordinasi antar instansi maupun lembaga terasa jauh lebih baik dibanding ketika krisis 1997 -1998.
Indonesia juga dinilai sukses mengelola perekonomiannya melewati badai krisis keuangan global 2008 - 2009 oleh sejumlah lembaga keuangan internasional dikarenakan Indonesia mampu membukukan pertumbuhan positif di tengah banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi minus atau nol persen.
Meski Indonesia lolos dari krisis keuangan 2008 yang dipicu dari krisis kasus subprime mortgage di AS, pemerintah, BI dan lembaga lainnya harus tetap perlu bahu-membahu menjaga pasar domestik dengan kalangan dunia usaha serta menerapkan manajemen krisis secara optimal, efektif, dan efisien.
Dengan melibatkan dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi besar, Indonesia memiliki benteng yang lebih tangguh untuk menahan krisis yang bisa saja datang secara tiba-tiba di kemudian hari.