Jakarta (ANTARA) - Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menyatakan belum ditemukan bukti ilmiah yang menunjukkan varian mutasi virus corona SARS-CoV-2 bernama D614G menyebabkan risiko yang lebih membahayakan terhadap pasien dibanding faktor lain, seperti usia atau penyakit bawaan.
"Mutasi D614G belum terlalu penting dibanding faktor risiko lain, seperti usia, tapi hal ini masih terus diteliti dengan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan," kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam jumpa pers daring dari Kantor Presiden, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Satgas COVID-19: Disiplin kunci putus mata rantai penyebaran virus corona
Sebelumnya Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo menyatakan lembaga tersebut sudah berhasil mengumpulkan sampel data mutasi virus D614G pada virus COVID-19 yang ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan penelitian dari Scripps Research Institute, Florida, Amerika Serikat (AS) mutasi ini 10 kali menular dibandingkan dengan virus corona sebelumnya.
"Satgas memonitor adanya laporan ditemukannya virus bermutasi, yaitu D614G di Indonesia dan kami melihat deteksi RNA SARS Cov-2 lebih tinggi dari usap mulut dan hidung, namun belum tentu mencerminkan penularan. Artinya memang menginfeksi, tapi belum ada kesimpulan penularan," ucap Wiku.
Wiku menilai perlu ada penelitian terus-menerus terhadap mutasi virus yang yang beredar dengan dukungan lembaga penelitian, termasuk Eijkman, rumah sakit dan universitas.
"Yaitu terkait kemampuan penularannya, apakah membuat infeksi lebih parah, sampai saat ini perkembangan di dunia dengan memeriksa data klinis dari literatur, salah satunya dari Inggris dilaporkan pasien terinfeksi virus D614G RNA virus memang yang lebih tinggi, tapi tidak ditemukan perbedaan dari hasil rawat inap," kata Wiku.
Hal tersebut, menurut Wiku, juga didukung dengan dua studi independen terhadap 175 pasien di Seattle, Amerika Serikat, dan 88 pasien di Chicago, Illiniois, AS.
Baca juga: Tingkat kematian COVID-19 di 22 provinsi di bawah persentase dunia
"Dilihat dari tingkat keparahan penelitian tidak menunjukkan tingkat konsentrasi virus yang tinggi dengan adanya mutasi virus D614G itu," ujar Wiku.
Baca juga: BTKL Palembang mulai uji usap pada Agustus
D614G terletak di dalam protein yang menyusun spike virus yang digunakannya untuk masuk ke dalam sel manusia. Mutasi ini mengubah asam amino pada posisi 614, dari D (asam aspartat) menjadi G (glisin), sehingga dinamakan D-614-G.
Baca juga: Positif COVID-19 Indonesia bertambah 1.560, sembuh 2.012
Mutasi ini diduga muncul beberapa saat setelah wabah awal Wuhan. Sesuai laporan BCC pada bulan Juli, strain ini terlihat pada 97 persen sampel di seluruh dunia.
Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa mutasi dari varian D614G memiliki penyebaran yang lebih tinggi dibandingkan virus aslinya, bahkan mungkin sejak awal epidemi di tempat-tempat, seperti Inggris Raya dan pantai timur AS.
"Mutasi D614G belum terlalu penting dibanding faktor risiko lain, seperti usia, tapi hal ini masih terus diteliti dengan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan," kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam jumpa pers daring dari Kantor Presiden, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Satgas COVID-19: Disiplin kunci putus mata rantai penyebaran virus corona
Sebelumnya Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo menyatakan lembaga tersebut sudah berhasil mengumpulkan sampel data mutasi virus D614G pada virus COVID-19 yang ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan penelitian dari Scripps Research Institute, Florida, Amerika Serikat (AS) mutasi ini 10 kali menular dibandingkan dengan virus corona sebelumnya.
"Satgas memonitor adanya laporan ditemukannya virus bermutasi, yaitu D614G di Indonesia dan kami melihat deteksi RNA SARS Cov-2 lebih tinggi dari usap mulut dan hidung, namun belum tentu mencerminkan penularan. Artinya memang menginfeksi, tapi belum ada kesimpulan penularan," ucap Wiku.
Wiku menilai perlu ada penelitian terus-menerus terhadap mutasi virus yang yang beredar dengan dukungan lembaga penelitian, termasuk Eijkman, rumah sakit dan universitas.
"Yaitu terkait kemampuan penularannya, apakah membuat infeksi lebih parah, sampai saat ini perkembangan di dunia dengan memeriksa data klinis dari literatur, salah satunya dari Inggris dilaporkan pasien terinfeksi virus D614G RNA virus memang yang lebih tinggi, tapi tidak ditemukan perbedaan dari hasil rawat inap," kata Wiku.
Hal tersebut, menurut Wiku, juga didukung dengan dua studi independen terhadap 175 pasien di Seattle, Amerika Serikat, dan 88 pasien di Chicago, Illiniois, AS.
Baca juga: Tingkat kematian COVID-19 di 22 provinsi di bawah persentase dunia
"Dilihat dari tingkat keparahan penelitian tidak menunjukkan tingkat konsentrasi virus yang tinggi dengan adanya mutasi virus D614G itu," ujar Wiku.
Baca juga: BTKL Palembang mulai uji usap pada Agustus
D614G terletak di dalam protein yang menyusun spike virus yang digunakannya untuk masuk ke dalam sel manusia. Mutasi ini mengubah asam amino pada posisi 614, dari D (asam aspartat) menjadi G (glisin), sehingga dinamakan D-614-G.
Baca juga: Positif COVID-19 Indonesia bertambah 1.560, sembuh 2.012
Mutasi ini diduga muncul beberapa saat setelah wabah awal Wuhan. Sesuai laporan BCC pada bulan Juli, strain ini terlihat pada 97 persen sampel di seluruh dunia.
Hal ini, katanya, menunjukkan bahwa mutasi dari varian D614G memiliki penyebaran yang lebih tinggi dibandingkan virus aslinya, bahkan mungkin sejak awal epidemi di tempat-tempat, seperti Inggris Raya dan pantai timur AS.