Jakarta (ANTARA) - Monolog Happy Salma dalam teater musikal "Inggit Garnasih" siap digelar pada 18 April 2020 di Ciputra Artpreneur Theater, Kuningan.
Pementasan ini mengangkat kisah hidup istri kedua Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soekarno yang selama 20 tahun pernikahan, telah setia mengantar Soekarno menjadi pemimpin negeri.
Happy Salma, pendiri Titimangsa Foundation yang memprakarsai pementasan, mengatakan alasannya mementaskan kisah Inggit Garnasih.
"Perjuangan Ibu Inggit masih sangat relevan dengan masa saat ini, dimana perempuan adalah pusat dari semesta rumah tangganya," kata Happy dalam pernyataannya.
Pementasan ini juga mengupas lebih jauh orang-orang di belakang Bung Karno, terutama Inggit sebagai perempuan yang berada di wilayah domestik dalam perjalanan perjuangan Soekarno.
"Kehidupan yang tidak banyak dibicarakan orang," lanjut Happy, produser dan pemain teater musikal "Inggit Garnasih".
Sebanyak 1.100 kursi tersedia untuk penonton dengan rentang harga tiket dari Rp250.000 hingga Rp1.000.000.
Pementasan didukung juga oleh Marsha Timothy (Co-Produser), Wawan Sofwan (Sutradara), Ratna Ayu Budhiarti (Penulis Naskah), Dian HP (Komposer), Avip Priatna (Konduktor), Iskandar Loedin (Pimpinan Artistik dan Skenografer), Biyan & Tenun Baron (Busana), Ati Sriati (Solis), Yasashi I Evelyn P. (Solis), Quinara Rosinta (Solis), Batavia Madrigal Singers dan Jakarta Concert Orchestra.
Inggit Garnasih setia menemani Soekarno dalam berbagai masa perjuangan, ketika dia harus menamatkan sekolah di ITB (dulu THS), saat ia membangun perjuangan dari akar rumput, waktu Soekarno dipenjara 2 tahun lamanya di Sukamiskin, termasuk dalam dua masa pembuangan yang menyedihkan ke Ende dan Bengkulu.
Tak hanya menemani, Inggit lah yang terus memompa, merawat, dan menjaga semangat singa podium, Bung Karno. Inggit yang 13 tahun lebih tua dari Bung Karno, tak lelah bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ia meracik jamu, membuat bedak dingin, menjual peralatan pertanian, segala dilakukannya agar Bung Karno tetap setia dan teguh pada cita-citanya memerdekakan bangsa dari kolonialisme dan imperialisme.
Ketika Bung Karno akhirnya akan sampai di gerbang istana, menjelang kemerdekaan bangsa yang didamba, Inggit mengemas barang-barang dan kenangan dalam koper tuanya dan kembali ke Bandung. Inggit memilih mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dan menolak dimadu ketika Soekarno menyatakan ingin menikah lagi. Meski Inggit dijanjikan menjadi istri utama, Inggit memilih kembali ke Bandung, tak terbeli dengan kemewahan istana.
Pementasan ini mengangkat kisah hidup istri kedua Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soekarno yang selama 20 tahun pernikahan, telah setia mengantar Soekarno menjadi pemimpin negeri.
Happy Salma, pendiri Titimangsa Foundation yang memprakarsai pementasan, mengatakan alasannya mementaskan kisah Inggit Garnasih.
"Perjuangan Ibu Inggit masih sangat relevan dengan masa saat ini, dimana perempuan adalah pusat dari semesta rumah tangganya," kata Happy dalam pernyataannya.
Pementasan ini juga mengupas lebih jauh orang-orang di belakang Bung Karno, terutama Inggit sebagai perempuan yang berada di wilayah domestik dalam perjalanan perjuangan Soekarno.
"Kehidupan yang tidak banyak dibicarakan orang," lanjut Happy, produser dan pemain teater musikal "Inggit Garnasih".
Sebanyak 1.100 kursi tersedia untuk penonton dengan rentang harga tiket dari Rp250.000 hingga Rp1.000.000.
Pementasan didukung juga oleh Marsha Timothy (Co-Produser), Wawan Sofwan (Sutradara), Ratna Ayu Budhiarti (Penulis Naskah), Dian HP (Komposer), Avip Priatna (Konduktor), Iskandar Loedin (Pimpinan Artistik dan Skenografer), Biyan & Tenun Baron (Busana), Ati Sriati (Solis), Yasashi I Evelyn P. (Solis), Quinara Rosinta (Solis), Batavia Madrigal Singers dan Jakarta Concert Orchestra.
Inggit Garnasih setia menemani Soekarno dalam berbagai masa perjuangan, ketika dia harus menamatkan sekolah di ITB (dulu THS), saat ia membangun perjuangan dari akar rumput, waktu Soekarno dipenjara 2 tahun lamanya di Sukamiskin, termasuk dalam dua masa pembuangan yang menyedihkan ke Ende dan Bengkulu.
Tak hanya menemani, Inggit lah yang terus memompa, merawat, dan menjaga semangat singa podium, Bung Karno. Inggit yang 13 tahun lebih tua dari Bung Karno, tak lelah bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Ia meracik jamu, membuat bedak dingin, menjual peralatan pertanian, segala dilakukannya agar Bung Karno tetap setia dan teguh pada cita-citanya memerdekakan bangsa dari kolonialisme dan imperialisme.
Ketika Bung Karno akhirnya akan sampai di gerbang istana, menjelang kemerdekaan bangsa yang didamba, Inggit mengemas barang-barang dan kenangan dalam koper tuanya dan kembali ke Bandung. Inggit memilih mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dan menolak dimadu ketika Soekarno menyatakan ingin menikah lagi. Meski Inggit dijanjikan menjadi istri utama, Inggit memilih kembali ke Bandung, tak terbeli dengan kemewahan istana.