Palembang (Antarasumsel.com) - Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan Prof Dr H Romli MAg mengatakan seluruh komponen bangsa harus aktif dalam merawat dan melestarikan Pancasila sebagai ideologi bangsa karena ancaman dari dalam dan luar negeri mulai ada.
"Saat ini bukan hanya kurang dalam memahami nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, tapi sudah muncul keinginan untuk menggantinya. Jelas ini sangat berbahaya, karena Muhammadiyah menilai bahwa ideologi Pancasila sudah final," kata Romli, di Palembang, Kamis.
Menurutnya, terkait peringatan Hari Lahir Pancasila pada setiap 1 Juli, semua komponen bangsa sepatutnya menyadari bahwa Pancasila hingga kini masih menjadi yang terbaik dalam mengarahkan bangsa Indonesia.
"Jika bangsa ini mau membandingkan dengan negara-negara lain, maka sepatutnya bersyukur karena di beberapa negara terbilang sangat sulit ditemukan kedamaian. Negara-negara di Timur Tengah dan Asia Selatan masih berkutat pada perpecahan yang berujung pada peperangan," katanya lagi.
Sedangkan di Indonesia situasinya sangat berbeda. Menurut dia, meski negara ini berisikan beragam ras, suku, agama, dan golongan tapi masih mampu menjaga keharmonisan.
"Negara itu yang terpenting aman dulu, jika aman maka bisa membangun. Nah, untuk membangun ini tentunya perlu suatu arahan. Itulah Pancasila," kata dia.
Ia melanjutkan, artinya penting untuk memahami bahwa Pancasila itu bukan sebatas mantra saja atau sebatas pemahaman belaka, tapi perlu diamalkan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi dalam mengamalkannya ini, katanya lagi, terjadi banyak penyimpangan, bahkan tak ayal justru ditemukan pada beberapa kebijakan pemerintah.
"Jika ini terjadi, jangan Pancasila-nya yang disalahkan, tapi orang yang mempraktikkannya. Apalagi sampai menyatakan bahwa ini semua terjadi karena kesalahan ideologi, sekali lagi saya katakan ini sudah final. Jika muncul pembicaraan mengenai ideologi lain, hal itu hanya sebagai bahan perbandingan saja," kata dia.
Karena itu, menurutnya, di tengah ancaman dari dalam dan luar negeri, maka sangat perlu kiranya melestarikan dan terus merawat Pancasila. Karena, jika bangsa ini tidak pandai menjaganya, maka bukan tidak mungkin ancaman perpecahan itu menjadi kenyataan.
Kekhawatiran ini cukup beralasan karena berdasarkan survei diketahui terjadi tendensi kemerosotan ketahanan nasional bidang ideologi.
Indeks Ketahanan Nasional yang disusun Labkurtannas Lemhanas mengindikasikan lemah ketahanan nasional dalam tujuh tahun terakhir (2010-2016).
Indeks ketahanan ideologi meliputi variabel toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, persatuan bangsa, merosot dari skor 2,31 (2010) menjadi 2,06 (2016).
Karena itu, Muhammadiyah menilai pemerintah harus segera mengambil langkah taktis untuk mengatasi persoalan ini, seperti mulai menggaungkannya kembali melalui sektor pendidikan formal.
Saat ini, banyak kalangan muda tidak memahami apa itu Pancasila meski secara mantra mereka hafal.
Padahal, nilai yang terkandung dalam kelima sila tidak cukup dirumuskan (norma normata), tetapi harus dikembangkan dalam norma normans (norma yang hidup dan menjadi pola pikir).
"Terpenting saat ini adalah mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Prof Romli.
Di tengah gejala menguat politik identitas, politik kebencian, tergerus persatuan dan kebhinnekaan, pemerintah mengkampanyekan Pekan Pancasila 29 Mei-4 Juni 2017.
Namun diingatkan bahwa kampanye "Saya Indonesia, Saya Pancasila" tanpa tindak lanjut berpotensi menjadi jargon politik belaka.
"Saat ini bukan hanya kurang dalam memahami nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, tapi sudah muncul keinginan untuk menggantinya. Jelas ini sangat berbahaya, karena Muhammadiyah menilai bahwa ideologi Pancasila sudah final," kata Romli, di Palembang, Kamis.
Menurutnya, terkait peringatan Hari Lahir Pancasila pada setiap 1 Juli, semua komponen bangsa sepatutnya menyadari bahwa Pancasila hingga kini masih menjadi yang terbaik dalam mengarahkan bangsa Indonesia.
"Jika bangsa ini mau membandingkan dengan negara-negara lain, maka sepatutnya bersyukur karena di beberapa negara terbilang sangat sulit ditemukan kedamaian. Negara-negara di Timur Tengah dan Asia Selatan masih berkutat pada perpecahan yang berujung pada peperangan," katanya lagi.
Sedangkan di Indonesia situasinya sangat berbeda. Menurut dia, meski negara ini berisikan beragam ras, suku, agama, dan golongan tapi masih mampu menjaga keharmonisan.
"Negara itu yang terpenting aman dulu, jika aman maka bisa membangun. Nah, untuk membangun ini tentunya perlu suatu arahan. Itulah Pancasila," kata dia.
Ia melanjutkan, artinya penting untuk memahami bahwa Pancasila itu bukan sebatas mantra saja atau sebatas pemahaman belaka, tapi perlu diamalkan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi dalam mengamalkannya ini, katanya lagi, terjadi banyak penyimpangan, bahkan tak ayal justru ditemukan pada beberapa kebijakan pemerintah.
"Jika ini terjadi, jangan Pancasila-nya yang disalahkan, tapi orang yang mempraktikkannya. Apalagi sampai menyatakan bahwa ini semua terjadi karena kesalahan ideologi, sekali lagi saya katakan ini sudah final. Jika muncul pembicaraan mengenai ideologi lain, hal itu hanya sebagai bahan perbandingan saja," kata dia.
Karena itu, menurutnya, di tengah ancaman dari dalam dan luar negeri, maka sangat perlu kiranya melestarikan dan terus merawat Pancasila. Karena, jika bangsa ini tidak pandai menjaganya, maka bukan tidak mungkin ancaman perpecahan itu menjadi kenyataan.
Kekhawatiran ini cukup beralasan karena berdasarkan survei diketahui terjadi tendensi kemerosotan ketahanan nasional bidang ideologi.
Indeks Ketahanan Nasional yang disusun Labkurtannas Lemhanas mengindikasikan lemah ketahanan nasional dalam tujuh tahun terakhir (2010-2016).
Indeks ketahanan ideologi meliputi variabel toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, persatuan bangsa, merosot dari skor 2,31 (2010) menjadi 2,06 (2016).
Karena itu, Muhammadiyah menilai pemerintah harus segera mengambil langkah taktis untuk mengatasi persoalan ini, seperti mulai menggaungkannya kembali melalui sektor pendidikan formal.
Saat ini, banyak kalangan muda tidak memahami apa itu Pancasila meski secara mantra mereka hafal.
Padahal, nilai yang terkandung dalam kelima sila tidak cukup dirumuskan (norma normata), tetapi harus dikembangkan dalam norma normans (norma yang hidup dan menjadi pola pikir).
"Terpenting saat ini adalah mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Prof Romli.
Di tengah gejala menguat politik identitas, politik kebencian, tergerus persatuan dan kebhinnekaan, pemerintah mengkampanyekan Pekan Pancasila 29 Mei-4 Juni 2017.
Namun diingatkan bahwa kampanye "Saya Indonesia, Saya Pancasila" tanpa tindak lanjut berpotensi menjadi jargon politik belaka.