Mereka yang terjebak makna lain kurban

id kurban, idul adha, maknanya, muslim, islam, salah kaprah

Mereka yang terjebak makna lain kurban

Ilustrasi Umat islam shoalt Idul Adha. (Antarasumsel.com/17/Aziz M/i016)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Hari penyembelihan hewan kurban beberapa hari terakhir telah berlangsung dan masih ada saja di antara Muslimin yang justru terjebak pada makna kurban bukan hakiki, yaitu tentang daging kurban saja.

Padahal dimensi Idul Adha yang juga disebut sebagai Hari Raya Kurban lebih dari apa yang terlihat dari daging kambing, sapi atau hewan halal lainnya.

Direktur Jenderal Bina Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengharapkan Muslimin untuk memaknai Idul Adha sebagai kurban yang sebenarnya atau tidak terjebak pada prosesi keagamaan saja.

"Harapan itu selalu ada dalam setiap kegiatan Idul Adha. Kesempatan ini tentu agar dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana peristiwa penyembelihan Nabi Ismail AS oleh Nabi Ibrahim AS," kata dia.

Menurut dia, Idul Adha jangan hanya orang Islam melakukannya untuk mengurbankan daging saja, tapi harus diupayakan adanya peningkatan ketakwaan dari pekurban, keluarga dan orang di sekitarnya.

Lebih dari prosesi keagamaan, dia mengatakan kurban harus dijadikan titik tolak seorang Muslim untuk menuju pada ketakwaan diri. Baginya, jika bukan karena ketakwaaan tidak mungkin seorang Muslim mau mengeluarkan uang sampai sekitar Rp2 jutaan lebih untuk membayar hewan kurban.

Pesan Muhammadiyah Amin tersebut sejatinya dalam rangka refleksi bagi orang Islam di manapun berada. Karena ada potensi bagi Muslim justru timbul rasa pamer (riya') sehingga justru dapat membahayakan ibadahnya dalam berkurban. Apalah arti kurban jika justru tercemar rasa pamer ingin menunjukkan kemampuan atau gengsinya lewat hewan kurban kepada orang di sekitarnya.

Terkait amalan dalam beragama, Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Abdul Djamil mengatakan apapun yang dilakukan manusia harus bermuara kepada kesalihan diri dan kesalihan sosial, seperti dengan menekan ego diri sendiri untuk kepentingan umum.

"Pada akhirnya, kita semuanya hanya membawa selembar kain kafan untuk menghadap Ilahi dan pada saat ini kita diajarkan tentang kesadaran terhadap hal ini. Terhadap kematian yang sering kita takutkan atau kita lupakan atau pura-pura lupa dan tidak mau mengingatnya, kita dibiasakan untuk meningkatkan ketundukan pada kehendak Allah, menekan ego masing-masing dan membiasakan diri untuk hidup apa adanya, bukan hidup apa-apa ada dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya," kata dia.

Seiring pertambahan usia, kata Djamil, agar setiap Muslim berusaha untuk meningkatkan takwa kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar hidup menjadi semakin berkualitas bagi diri dan masyarakat.

Konsep siklus hidup dalam Islam, kata dia, menghendaki kehidupan hari ini harus lebih baik dibanding dengan kemarin dan kehidupan esok harus lebih baik dibanding dengan hari ini. Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran untuk menghadapi hari esok.

Dalam konteks Idul Adha dan musim haji, dia berharap umat Islam untuk memaknai bulan Dzulhijah sebagai kesempatan mengoreksi diri (muhasabah), meningatkan ketakwaan, menyadari tanggung jawab kemanusiaan, menghormati antarsesama, menjaga harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan senantiasa menyadari hak dan kewajiban baik sebagai pemimpin maupun rakyat biasa.

Pengendalian diri sangat penting karena bagi Djamil, entitas manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki keunggulan, memiliki kemampuan mengidentifikasi obyek sekelilingnya bahkan melakukan penemuan atas hal-hal yang sebelumnya tak terketahui oleh banyak orang.

"Inilah kemampuan ilmiah manusia yang menjadi pembeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Namun demikian, di balik keunggulan itu ada kekuatan yang selalu membisik di kanan kiri kita untuk melencengkan manusia dari jalan kebenaran. Ini adalah miniatur manusia yang memiliki potensi untuk bertindak seperti hewan tak kenal belas kasihan melakukan kekerasan, intimidasi dan tindakan-tindakan radikal karena ada kekuatan syaithoniyah yang akan menyesatkan manusia-manusia dari jalan yang benar," kata dia.

    
              Makna Pendidikan Toleransi
Dimensi Idul Kurban memang sangat luas, termasuk adanya pendidikan keluarga yang dicontohkan antara orang salih sekaligus nabi, yaitu Ibrahim AS dan Ismail AS dalam kehidupan mereka, termasuk peristiwa perintah Allah untuk penyembelihan seorang ayah terhadap anaknya yang sangat dicintainya.

Dialog antara Ibrahim dan Ismail mengajarkan pola hubungan dan komunikasi antara orang tua dan anak. Anak adalah amanah, sementara orang tua adalah madrasah atau sekolah pertama dan utama dalam pembentukan karakter seorang anak.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengatakan orang tua tidak hanya berkewajiban membentuk kepribadian anaknya menjadi sholeh dan taat kepada Tuhannya, tetapi juga mengajarkan arti dan cara mengarungi lautan kehidupan.

"Dialog Ibrahim-Ismail mengajarkan bahwa orang tua, bersama anak harus bersama-sama terlibat dalam pembentukan karakter anak. Orang tua harus membimbing anaknya untuk menemukenali diri dan potensi dirinya. Anak tidak cukup hanya diajari tapi diberi keteladanan." kata dia.

Oleh karena itu, kata Kamaruddin, institusi keluarga harus terkoneksi dengan institusi lembaga pendidikan bahkan dengan masyarakat. Keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat adalah ekosistem pendidikan yang harus bersinergi. Orang tua harus bersinergi dengan guru dalam membentuk karakter seorang anak.

Menurut dia, Indonesia saat ini menghadapi tantangan pembentukan karakter bangsa. Pendidikan karakter yang berdimensi olah hati (etik), olah rasa (estetika), olah pikir (literasi) dan olah raga (kinestetik) harus mampu menumbuhkan  setidaknya lima nilai utama secara terintegrasi yakni anak bangsa yang memiliki integritas, relijiusitas, nasionalisme,  kemandirian dan gotong royong.

"Tak ada bangsa besar tanpa pendidikan yang maju dan karakter yang kuat. Tak ada karakter kuat dan pendidikan maju  tanpa sinergi total dari keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat. Semoga semangat berkurban dapat menumbuhkan, merawat dan melestarikan semangat kolektif seluruh warga bangsa untuk terwujudnya warga bangsa yang relijius dan tercapainya cita-cita bangsa kita, yakni masyarakat adil dan makmur," kata dia.