Pendidikan karakter dan akar kejahatan

id pendidikan, siswa, karakter, kemajuan, generasi muda, anak didik, guru, orang tua, dewasa

Pendidikan karakter dan akar kejahatan

Dokumentasi- anak-anak Taman Kanak kanak mengoleskan vernis pada barang bekas yang dihias decoupage . (Antarasumsel.com/Feny Selly/Ag/17) ()

....perilaku yang mulia dari orang dewasa kepada anak-anak dalam bentuk percontohan, keteladanan berperilaku....
Pendidikan karakter yang dijadikan aksentuasi praksis pendidikan saat ini agaknya perlu dielaborasi dalam melahirkan sikap dan kepribadian anak didik dikaitkan dengan akar-akar kejahatan yang sejak awal dijadikan peringatan oleh berbagai aliran iman arus utama.

Upaya mengaitkan sasaran pendidikan karakter di sekolah dengan akar-akar kejahatan yang menjadi lahan pergumulan agamawan itu, setidaknya pendidik dan peserta didik mendapat pemahaman konkret tentang arah dan tujuan pendidikan karakter yang membumi.

Membunuh, merampok, mengorupsi harta rakyat adalah kejahatan namun perbuatan tercela itu bukan akar. Dalam perspektif agama-agama besar di dunia, akar-akar kejahatan itu kurang lebih mengejawantah dalam bentuk sejumlah perilaku fisik atau psikis sebagai berikut: suka pamer, iri, amarah, malas, boros, tamak, nafsu.

Para pendidik pertama-tama dalam menjalankan fungsi kependidikan dituntut untuk memberikan teladan dalam berperilaku keseharian yang menjauhkan diri dari tujuh akar kejahatan di atas.

Pendidikan karakter pada dasarnya merupakan transfer penghayatan akan perilaku yang mulia dari orang dewasa kepada anak-anak dalam bentuk percontohan, keteladanan berperilaku.

Pengajaran verbal dalam bentuk wejangan, petuah, instruksi dan semacamnya hanyalah instrumen pelengkap dari pendidik ke peserta didik.

Ketujuh akar kejahatan di atas dalam kenyataannya dapat terekspresi oleh individu baik secara fisik maupun verbal. Sikap suka pamer bisa diwujudkan ketika seseorang menceritakan kepada orang lain tentang kekayaan, kehebatan, dan pengalaman hidupnya.

Tentu apa yang dimaknai sebagai pamer perlu dipahami. Secara semantik, pamer itu bernilai negatif. Namun ketika dalam satu komunitas atau kelompok kecil sedang membahas tentang pengalaman masing-masing anggota kelompok itu perihal keistimewaan dan kelezatan makanan di restoran mewah, tak ada nilai buruknya sama sekali perbuatan menceritakan pengalaman makan mewah di Istana Buckingham.

Begitu juga ketika anda menceritakan sensani menyetir Mercedes Benz seri teranyar di lingkaran kecil klub pengoleksi mobil mewah, anda sama sekali tak sedang bermegah diri. Namun, anda jelas tak terpuji untuk berulang kali menceritakan vila dan apartemen baru anda di lingkungan teman-teman anda yang sebagian besar masih mengontrak rumah.

Akar kejahatan kedua yang berbentuk iri atau dengki terhadap apa yang dicapai orang lain agaknya lebih berbahaya dan berdimensi kejahatan ruhaniah yang lebih kronis. Kenapa demikian? Sebab, dalam iri, ada penghakiman terhadap fenomena bukan saja objek yang menjadi pembangkit iri, tapi juga terhadap fenomena semesta, yang vonis subjektifnya berujung dan berpangkal pada pengasihan diri sekaligus penistaan makrokosmos.

Orang yang sedang iri pada hakikatnya dia tengah mengutuk takdir diri dan dunia di luar dirinya. Saat iri beroperasi, secara tak sadar, orang yang bersangkutan menyatakan dalam diri bahwa dunia ini tak adil.

Iri dalam konteks apa pun tak bisa dibenarkan. Bahkan tak ada perlunya iri terhadap orang yang tiba-tiba kaya mendadak karena menang lotre. Iri adalah reaksi psikis atas ketakberdayaan seseorang dalam menapaki perjalanan hidup. Iri akan menghisap kedamaian sekaligus menumpuk kepengapan seumpama asap beracun bagi paru-paru.

Akar kejahatan ketiga adalah amarah, api ruhani yang membakar dan menghanguskan kewarasan akal. Tak jarang sebuah tragedi lahir karena tersulutnya api kemarahan dalam diri seseorang.

Berkaitan dengan amarah adalah nafsu atau dalam pengertian yang lebih luas adalah hawa nafsu. Seperti akar-akar kejahatan yang lain, pada dasarnya nafsu itu sendiri bisa dikelola untuk tujuan positif. Tanpa kesadaran untuk mengelolanya dengan tujuan positif, nafsu acap terperosok ke dalam jurang kejatuhan kemanusiaan. Kisah Dr Faust yang menggadaikan jiwanya pada sang iblis untuk mendapatkan pengetahuan tertinggi adalah metafora guna memperlihatkan bahwa nafsu adalah akar kejahatan.

Akar kejahatan lain adalah malas, boros dan rakus. Dalam dunia pendidikan, contoh-contoh tentang kemalasan yang berdampak pada kecurangan sangat gamblang. Karena malas, seorang murid tak punya kemampuan menjawab soal-soal saat ujian dan akhirnya godaan untuk mencontek tak terelakkan.

Boros yang berlawanan dengan hemat adalah sifat atau watak yang jauh dari perilaku ugahari, yang dijunjung tinggi oleh kaum zuhud dalam jagat kehidupan kaum sufi atau kaun asketik.

Yang terakhir rakus, karakter yang menyebabkan banyak pejabat, pengusaha dan orang biasa dijebloskan ke penjara. Akibat tak mau hidup dengan dalil kewajaran dan ingin mendapatkan apa saja yang bukan haknya, seseorang menjadi tamak.

Para guru di sekolah dapat menjabarkan poin-poin tentang akar kejahatan itu kepada siswa di kelas dengan mengambil contoh-contoh kasus yang terjadi di masyarakat.

Buku-buku biografi kaum pesohor di dunia apa pun juga kaya dengan contoh-contoh bagaimana justru karakter yang bertolak belakang dari tujuh akar kejahatan itulah yang melatarbelakangi kesuksesan sang tokoh.

Dengan menjadikan tujuh akar kejahatan tersebut sebagai batu pijakan untuk dibahas dalam memberikan pemahaman pada peserta didik tentang watak ideal yang mesti dihayati, para guru telah mengajarkan sikap-sikap yang perlu dimiliki dan dijauhi.

Setidaknya, dengan acuan pada tujuh akar kejahatan di atas, praksis pendidikan karakter di sekolah memiliki batu pijakan yang jelas untuk mewujudkan sasaran pendidikan yang hendak dicapai.