Pasal makar dan kebebasan berekspresi masyarakat

id Mahkamah Konstitusi, media sosial, tersangka, makar, undang-undang, pemerintah, hukuan, penjara, KUHP, uji materi

Pasal makar dan kebebasan berekspresi masyarakat

Sidang pleno Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK. (ANTARA)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Sidang uji materi mengenai frasa "aanslag" atau makar dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) masih terus berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

Terdapat dua perkara yang mengajukan uji materi terkait pasal makar ini di MK, yaitu perkara dengan nomor 7/PUU-XV/2017 dan Nomor 28/PUU-XIV/2017.

Permohonan perkara Nomor 28/PUU-XV/2017 diajukan oleh; Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai, Pastor John Jonga, serta Yayasan Satu Keadilan, dan Gereja Kemah Injil di Papua yang memohon uji materi Pasal 104, serta Pasal 106 hingga Pasal 110 KUHP.

Menurut para Pemohon perkara nomor 28 itu, ketentuan mengatur soal makar tersebut digunakan Pemerintah untuk mengkriminalisasi para Pemohon serta telah merugikan hak konstitusional Pemohon selaku warga negara.

Sementara perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 diajukan oleh LSM Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang mengajukan uji materi untuk Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP.

Mereka memandang tidak ada kejelasan definisi kata "aanslag" yang diartikan sebagai makar. Padahal makar berasal dari Bahasa Arab, sementara aanslag berasal dari Bahasa Belanda yang diartikan sebagai serangan. Hal tersebut menurut mereka mengaburkan makna dasar dari kata aanslag.

Baik Pemohon dari perkara nomor 7/PUU-XV/2017 maupun 28/PUU-XV/2017 berpendapat bahwa pasal-pasal yang diujikan telah membatasi masyarakat dalam berpikir, mengemukakan pendapat, serta mengekspresikan kebudayaan.

Pasal-pasal ini kemudian dinilai Pemohon bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945.

    
        Keterangan Pemerintah
Mahkamah kemudian menghadirkan Pemerintah untuk memberikan keterangan terkait dengan ketentuan makar tersebut.

Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) Ninik Hariwanti menyebut Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP tidak bertentangan dengan kebebasan berpikir. Selain itu, pasal-pasal tersebut juga dinilai tidak bertentangan dengan kemerdekaan menyatakan pikiran.

"Sebab, pasal yang diujikan bertujuan memberikan kepastian dan perlindungan di mata hukum. Pasal tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia, maupun warga negara asing," jelasnya.

Ninik menyebut pasal makar juga bertujuan memberikan perlindungan bagi negara, terkait dengan eksistensi negara agar terhindar dari ancaman dalam dan luar negeri.

"Hal demikian juga telah diatur dalam dunia internasional melalui Konvensi Montevideo tahun 1933," ujarnya.

Sementara itu Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat kebijakan yang diwakili oleh anggotanya Adies Kadir, berpendapat bahwa pasal-pasal terkait makar yang dimohonkan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bersifat multi tafsir.

"Ketentuan pasal-pasal 'a quo' telah jelas dan tidak bersifat multi tafsir," ujar Adies.

Adies kemudian menyebutkan bahwa Para Pemohon dari uji materi atas pasal makar, masih dapat menjalankan kewenangan konstitusionalnya untuk menjalankan tugas dan perannya untuk mendorong perlindungan, pemajuan, pemenuhan hak asasi manusia, keadilan dalam hukum pidana di Indonesia.

Lebih lanjut Adies menyatakan bahwa tidak diuraikannya penjelasan terhadap unsur-unsur makar, tidak mengurangi substansi makar yang pada intinya merupakan bagian dari delik-delik terhadap keamanan negara, makar terhadap negara, dan bentuk pemerintahan negara merupakan tindak pidana yang berbahaya, yang mengancam kelestarian bangsa dan negara Indonesia.

DPR melalui Adies juga berpendapat upaya menggulingkan Pemerintah tak selalu diwujudkan dalam perbuatan mengangkat senjata atau tindak kekerasan, namun penggulingan tersebut dapat juga dilakukan melalui hasutan.

    
        Pendapat Ahli
Terkait dengan uji  materi tersebut, para ahli yang dihadirkan oleh pihak Pemohon juga memberikan pendapat atau keterangan sebagai pendukung permohonan uji materi yang diajukan Pemohon.

Ahli ilmu hukum dari Universitas Krisnadwipayana Made Darma Weda menyebutkan bahwa KUHP tidak memberikan definisi yang jelas mengenai pengertian makar sebagai salah satu bentuk tindak pidana.

Made kemudian menegaskan dalam konteks norma tindak pidana makar, kata "makar" harus dirumuskan, didefinisikan, dan dijabarkan dalam bentuk perilaku sehingga bisa dibedakan antara tindak pidana makar dengan tindak pidana lainnya.

"Karena sebetulnya hukum pidana itu adalah memuat ketentuan yang mengatur tentang perilaku," tambah dia.

Made menjelaskan asas legalitas dalam konteks hukum pidana, yang mensyaratkan bahwa perbuatan yang dilarang itu adalah perbuatan yang harus tertulis dalam suatu undang-undang.

"Harus jelas, tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda atau tidak multitafsir, dan harus terdapat di dalam norma sehingga hukum pidana itu bisa diterapkan atau sama diterapkan di mana pun juga," pungkas Made.

Ahli lainnya yaitu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisaksi Andi Hamzah berpendapat Indonesia telah salah dalam menafsirkan frasa "aanslag" atau makar yang tertuang dalam KUHP, sehingga ketentuan tersebut perlu ditinjau ulang.

         Menurut Andi, kata aanslag yang berasal dari bahasa Belanda bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti penyerangan.

"Di dunia ini, hanya Belanda dan Indonesia yang mengatur aanslag atau makar untuk delik terhadap keamanan negara," jelas Andi.

Ketentuan tentang annslag atau makar untuk kejahatan terhadap keamanan negara menurutnya juga telah disalahartikan, sehingga berpotensi membungkam hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat.

"Misalnya, orang yang mau berbicara soal penggantian sistem negara, lalu dapat dikatakan makar, padahal jika tidak diiringi tindakan nyata seharusnya tidak boleh dipersoalkan," jelas Andi.

Sependapat dengan Andi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Eko Riyadi, juga menyebutkan penggunaan pasal terkait makar masih belum proporsional terutama dalam hal kebebasan berekspresi.

Secara prinsip negara memang memiliki kewenangan untuk membatasi, namun pembatasan itu menurut Eko harus dilakukan sesuai dengan undang-undang, memiliki alasan yang sah, demokratis, dan tidak berdasarkan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.

"Negara bisa membatasi ekspresi kebudayaan seperti misalnya ada budaya menikahi anak di bawah usia, ini pemerintah punya kewajiban untuk memastikan hak anak terlindungi sehingga kalau ada budaya seperti itu harus dibatasi," kata Eko.

Lebih lanjut Eko mengatakan bahwa pasal makar juga tidak tepat bila digunakan untuk masyarakat yang melakukan diskusi mengenai situasi di Indonesia.

"Kalau masyarakat mengritik kekuasaan, maka harus diberi ruang," pungkas Eko.

Terkait dengan kebebasan berekspresi, Antropolog Universitas Negeri Papua (Unipa) I Ngurah Suryawan menilai bahwa pasal makar telah menghambat sebagian masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan kebudayaan mereka, seperti yang dialami oleh para Pemohon perkara nomor 28.

"Ketentuan terkait makar ini yang menjadi 'hantu' (hambatan) bagi orang Papua untuk mengekspresikan kebudayaannya dan itu tercermin jelas dari dampak yang mereka sekarang rasakan," ujar Suryawan.

Dampak dari pasal yang mengatur makar dikatakan oleh Suryawan telah menimbulkan ketakutan dan trauma khususnya bagi masyarakat Papua, karena berurusan dengan aparat keamanan.