Jakarta (Antarasumsel.com) - Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau
perserikatan dagang hindia timur milik Belanda pernah menjadi kongsi
dagang paling primus inter pares (pertama di antara yang setara).
Sayangnya maskapai dagang kolonial itu selama abad ke-17 dan ke-18
dijangkiti praktik korup secara masif dengan kendali utama ada di
Binnenlands Bestuur (administrasi dalam negeri Hindia Belanda).
Saat itu pegawai hanya menerima gaji kecil dan tidak manusiawi tapi
pegawai diberi hak menerima tambahan pendapatan sebagai pelaksana proyek
pemerintah. Namun hasilnya VOC pun lama-kelamaan pun musnah dari bumi
Hindia Belanda dan diganti dengan pemerintahan Belanda yang dipimpin
Herman Willem Daendels dengan membentuk sebuah rechtstaat (negara hukum)
untuk memberantas korupsi.
Salah satu pelajaran dari pengalaman VOC empat abat lalu adalah
korupsi yang dilakukan oleh pegawai perusahaan akan meluruhkan
perusahaan itu cepat atau lambat.
Korupsi korporasi
Meski bukan barang baru, KPK sebagai
institusi yang paling berkepentingan untuk memberantas korupsi baru
sekali menetapkan korporasi sebagai tersangka pada 5 Juli 2017.
Perusahaan itu adalah PT Duta Graha Indah (DGI) yang sudah berubah
nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) Tbk sebagai tersangka
perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Pekerjaan Pembangunan Rumah
Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas
Udayana, Denpasar, Bali tahun anggaran 2009-2010.
Namun pengumuman resmi PT DGI sebagai tersangka pun baru dilakukan
pada 24 Juli 2017, saat KPK sudah memeriksa 27 saksi termasuk memeriksa
mantan komisaris PT DGI yang juga Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih
Sandiaga Uno.
"Penetapan PT DGI sebagai tersangka merupakan pengembangan dari
penyidikan perkara yang sama dengan tersangka sebelumnya yaitu Dudung
Purwadi selaku Direktur PT DGI dan Pejabat Pembuat Komitmen pembangunan
RS tersebut Made Meregawa," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di
Jakarta, Senin (24/7).
Made Meregawa dalam kasus korupsi yang sama sudah divonis selama
empat tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider dua bulan
kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp10 juta. Sedangkan
Dudung Purwadi baru akan menjalani sidang perdana pada 31 Juli 2017
nanti.
PT DGI melalui Dudung Purwadi diduga telah melakukan perbuatan
melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi terkait pekerjaan pembangunan RS
Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan pariwisata Unud TA 2009-2010
dengan nilai proyek sekitar Rp138 miliar dan merugikan keuangan negara
sekitar Rp25 miliar sehingga disangkakan pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3
UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyimpangan yang diduga dilakukan PT DGI adalah rekayasa dalam
penyusunan HPS (Harga Perkiraan Sendiri), rekayasa dalam proses tender
dengan mengondisikan PT DGI sebagai pemenang tender, adanya aliran dana
dari PT DGI kepada perusahaan lain, dan dari perusahaan Muhammad
Nazaruddin kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia serta ada dugaan
kemahalan satuan harga dengan pemerintah membayar lebih tinggi dari yang
seharusnya.
Penetapan pidana korporasi itu, menurut Laode, menjadi terobosan baru
bagi KPK pasca terbitnya Peraturan Mahkamah Agung No 13 tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi pada Desember 2016
lalu.
Pasal 4 ayat 2 Perma no 13/2016 itu menyebutkan bahwa hakim dapat
menilai kesalahan korporasi bila (1) korporasi dapat memperoleh
keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana
tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; (2) Korporasi membiarkan
terjadinya tindak pidana; sehingga tidak melakukan apa-apa dia
membiarkan saja itu terjadi atau (3) Korporasi tidak melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah
dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan
hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Menurut Laode, ada beberapa kelebihan lain mengapa korporasi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka.
"Kalau dulu yang kita tetapkan hanya pengurusnya saja, maka
korporasinya tetap mendapatkan keuntungan banyak dari perbuatannya
dengan cara menunjuk pengurus baru, jadi tetap mendapat keuntungan.
Padahal di luar negeri kejahatan korupsi yang banyak ditindak juga
terhadap korporasi karena tujuannya untuk menghancurkan organisasi
kejahatan, kalau hanya orangnya yang dihukum, usahanya tetap akan ada,"
ungkap Laode.
Apalagi, bila dilihat dari statistik terpidana korupsi yang ditangani
KPK, pihak swastalah paling banyak terjerat dibanding pejabat negara.
"Penyidik nanti akan melihat apa benar inisiatifnya benar diri
sendiri bagian dari upaya korporasinya. Karena selama ini KPK belum
pernah menjangkau korporasinya, padahal berdasarkan para ahli
antikorupsi di negara-negara maju, mengejar orang itu tidak terlalu
punya dampak besar. Mengejar perusahaannya itu yang paling besar
dampaknya seperti dalam kasus Rolls Royce, Alsthom, Siemens akhirnya
sejak itu mereka melakukan perbaikan besar," jelas Laode.
Namun apa hukuman untuk korporasi? Berbeda dengan hukuman badan atau
orang per orang, yang bisa dikenakan hukuman penjara ditambah denda dan
uang pengganti, korporasi tentu tidak bisa masuk penjara melainkan
pembayaran uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
"Kalau korporasi, tentunya tidak mungkin ada pidana kurungan, tapi
hanya denda saja atau uang pengganti, atau jenis hukuman tambahan lain
yang ditetapkan dalam Perma. Bisa menetapkan perusahaan dalam black list
selama waktu tertentu untuk tidak boleh mendapat tender pemerintah,
sampai putusan paling tinggi bisa dibubarkan sebagai korporasi, jadi
dilihat semua tingkat kejahatan yang dilakukan oleh suatu korporasi,"
tambah Syarif.
Kasus korupsi korporasi
"Kalau kita lihat-lihat UU Tipikor,
UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), UU Lingkungan Hidup, hampir 100
UU itu sebenarnya telah membuat tanggung jawab pidana korporasi tapi
sampai saat ini kasus korupsi korporasi yang sudah masuk pengadilan
masih sedikit, satu kasus di Kejaksaan Agung 1 sudah inkracht," ungkap
Syarif.
Kasus itu terjadi pada 2010-2011 lalu. PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW)
dinyatakan terbukti melakukan korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar
Sentra Antasari, Banjarmasin. Berdasarkan situs resmi Mahkamah Agung, PT
GJW ditutup sementara selama enam bulan dan diwajibkan membayar denda
Rp 1,317 miliar oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin, Pengadilan Tinggi
Banjarmasin juga memperkuat vonis tersebut dan bahkan menambah denda
Rp17 juta.
Kejaksaan Agung juga sedang menyidik dua tersangka korporasi yang diduga melakukan korupsi yaitu PT Indosat Tbk dan PT IM2.
Kasus itu bermula dari perjanjian kerja sama dengan PT Indosat, induk
usaha IM2 pada periode 2006-2012 untuk penggunaan bersama frekuensi 2,1
GHz dalam menyediakan jaringan 3G. Kerja sama itu dinyatakan melanggar
peraturan perundangan yang melarang penggunaan bersama frekuensi
jaringan.
Penggunaan bersama frekuensi tersebut mengakibatkan IM2 tak membayar
biaya pemakaian frekuensi sehingga merugikan keuangan negara hingga
Rp1,3 triliun. Dirut PT IM2 Indar Atmanto sudah divonis delapan tahun
penjara pada 2013 lalu.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Warih Sadono menyatakan bahwa kasus itu masih dalam tahap penyidikan.
"Masih tahap penyidikan untuk dua tersangka yaitu PT Indosat Tbk dan
PT Indosat Mega Media (IM2), jadi korporasi yang ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK itu adalah tersangka keempat," kata Warih.
Persoalannya, bagaimana dampak penetapan tersangka oleh penegak hukum itu kepada perusahaan?
Penjualan saham PT DGI alias PT NKE Tbk di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 19 Juli 2017 pun sudah dihentikan.
"Sudah dihentikan sementara penjualan sahamnya. Penghentian penjualan
saham sementara itu adalah kewenangan BEI, bukan atas permintaan KPK,"
kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Namun Agus tidak menjelaskan lebih lanjut apa dampak dari penghentian sementara saham tersebut terhadap penyidikan KPK.
"Nanti saya tanyakan dulu kepada penyidiknya, tapi emitennya (pemegang saham) memang lebih dari 1000," ungkap Agus.
Dalam laman http://www.idx.co.id. Dalam Pengumuman Penghentian
Sementara Perdagangan Efek PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK)
Peng-SPT-00010/BEI.PP1/07-2017 disebutkan bahwa "Maka dalam rangka
menjaga pasar yang teratur, wajar dan efisien, bursa memutuskan untuk
melakukan penghentian sementara perdagangan efek perseroan di pasar
reguler dan pasar tunai terhitung sejak sesi I perdagangan pada Rabu, 19
Juli 2017".
PT NKE berjanji akan bersikap kooperatif dan berharap proses
penyidikan yang sedang berjalan saat ini tidak memberikan dampak yang
signifikan dan dapat mengganggu kegiatan bisnis perseroan, meski saham
perusahaan itu sudah turun 31 persen sejak pengumuman tersebut.
"KPK harus wise melihat kasus ini, apalagi perusahaan sudah go publik
maka kami akan segera menentukan supaya pemegang saham perusahaan ini
juga mempunyai kepastian," ungkap Syarif.
Lantas bagaimana hitung-hitungan KPK untuk "menghukum" PT DGI sesuai
dengan perbuatannya dan bukan malah menghancurkan korporasi itu dan
korporasi lainnya?
Dosen Ekonomi Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradityo dalam kata
pengantar buku "Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels
sampai Reformasi" menghitung bahwa total kerugian negara akibat korupsi
pada 2001-2015 adalah Rp128,98 triliun (harga berlaku) atau sekitar
Rp205 triliun (15,76 miliar dolar AS) berdasarkan harga tahun 2015.
Tuntutan hukuman finansial (penggabungan denda, uang pengganti dan
perampasan barang bukti yang bersifat moneter) yang ditetapkan jaksa
hanya Rp29,74 triliun (harga berlaku) atau 23,06 persen dari kerugian
negara atau sekitar Rp65,46 triliun (harga konstan 2015).
Ketika putusan pengadilan dilakukan (inkracht) hukuman finansial itu
turun drastis menjari Rp14,29 triliun (harga berlaku) atau 11,08 persen
dari kerugian negara atau Rp22,43 triliun berdasarkan harga pada 2015.
Jadi siapa yang menanggung kerugian negara akibat korupsi tapi tidak
tertutup hukuman finansial yang dijatuhkan? Perbedaan nilai antara
kerugian negara dan total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada
terpidana korupsi adalah Rp114,69 triliun atau Rp182,65 triliun untuk
nilai 2015.
Siapa yang membayar kerugian sebesar ini? Bayangkan betapa besarnya
nilai biaya oportunititas yang hilang akibat korupsi. Nilai kerugian
negara akibat korupsi sebesar Rp230,9 triliun tersebut setara dengan
pembiayaan pembangunan tol sepanjang 871 kilometer selama 2015-2019
seperti dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 dari Bappenas.
Pertanyaannya tinggal apakah para penegak hukum sanggup membuktikan
korupsi yang dilakukan pengurus dan korporasi tersebut? Semua demi
perbaikan tata kelola dunia usaha Indonesia.
Korupsi korporasi, (bukan) barang baru
....kalau hanya orangnya yang dihukum, usahanya tetap akan ada....