Badan Standarisasi Nasional dorong UMKM raih sertifikasi SNI

id Badan Standarisasi Nasional, Semen Baturaja

Badan Standarisasi Nasional dorong UMKM raih sertifikasi SNI

Kepala Badan Standarisasi Nasional Bambang Prasetya (kanan) didampingi Direktur Umum dan SDM PT Semen Baturaja Amrullah dalam kegiatan penyampaian paparan sebelum kunjungan ke pabrik di Palembang, Senin (22/5).(Antarasumsel.com/17/Dolly Rosana)

Palembang (Antarasumsel.com) - Badan Standarisasi Nasional mendorong kalangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah mensertifikasikan produk yang dihasilkan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.

Kepala Badan Standarisasi Nasional Bambang Prasetya di Palembang, Senin, di sela-sela kunjungannya ke kantor PT Semen Baturaja, mengatakan, saat ini persentase produk UMKM yang telah memiliki sertifikasi SNI masih sangat kecil sekali sehingga perlu upaya serius dari berbagai pihak untuk mendorongnya.

"SNI terdengar sederhana, tapi jika dijalankan maka akan benar-benar berdampak positif. Efeknya luar biasa, bahkan suatu produk yang sebelumnya `kaki lima` bisa menembus pasar ekspor," kata dia.

Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Pontianak yakni pada pelaku UMKM, Amin, yang mendapatkan keuntungan berlipat setelah menjual alat konventer kit ber-SNI. Semula ia hanya menjual alat yang tidak berstandar karena awalnya hanya ingin memenuhi permintaan pemerintah untuk program subsidi alat konventer minyak tanah ke gas.

"Tapi lihatlah kini, Amin sudah mendapatkan proyek bernilai triliunan rupiah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mengapa ini bisa terjadi, karena produknya telah SNI. Ketika ia mengajukan ke BSN, kami langsung mengadopsi sistemnya dari Eropa," kata dia.

Kisah lainnya juga terjadi pada UMKM Kanaba yang menjual produk mesin sederhana. Setelah meraih label SNI, perusahaan yang dimiliki Ashari ini, meraih profit hingga Rp4,7 miliar pada tahun pertamanya. Begitu pula kisah sukses pemilik Batik Satrio, Nanang, yang meraup untung besar setelah produknya meraih label SNI.

Akan tetapi, menurut Bambang, tidak semua UMKM memiliki kesadaran serupa. Bahkan dari mereka masih kurang pengetahuannya tentang SNI.

Bukan hanya itu, UMKM juga terkendala biaya mengingat SNI menganut prinsip keterbukaan, transfaransi, konsensus/tidak memihak, efektif dan relevan, koheran, dan berdimensi pembangunan.

"Prinsip tidak membedakan membuat UMKM juga harus mengikuti ketentuan yang ada, semisal harus mengikuti uji laborotorium jika produk yang ingin disertifikasi berupa kuliner. Belum lagi banyak item yang harus dites, terkadang ini membuat UMKM menjadi segan," kata dia.

Oleh karena itu, peran dari pihak ketiga, terutama kalangan swasta sangat dibutuhkan untuk membantu kalangan UMKM ini, seperti yang dilakukan PT Semen Baturaja yang membantu sertifikasi UMKM binaannya di Palembang.

Ke depan, menurut Bambang, label SNI ini menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi karena Indonesia telah memasuki pasar bebas.

Produk-produk yang tidak ber-SNI dipastikan akan terpinggirkan, salah satunya yang sempat dialami produk mainan asal Bagor Komocaytoys. Semula produk ini ditolak oleh pasar modern dan hanya bisa dijual di kaki lima.

Namun setelah menyandang sertifikasi SNI maka produk ini sudah bisa ditemukan di Toko Buku Gramedia, Hypermart, dan lainnya, bahkan sudah bisa ekspansi ke Malaysia.

Langkah ini seharusnya juga dicontoh para pengambil kebijakan di Sumatera Selatan mengingat daerah ini akan menjadi tuan rumah Asian Games XVIII tahun 2018.

"Jika wisatawan yang datang menyaksikan bahwa produk-produk kuliner asal Sumsel ini telah ber-SNI begitu juga dengan restoran-restorannya tentunya mereka tidak akan segan membawa lagi rekan-rekannya ke Palembang pada masa datang," kata dia.

Jika merujuk pada dampak besar dari SNI ini, maka tidak heran kiranya Korea Selatan menjadi negara yang sangat antusias dalam mengejar label standar internasional.

Bukan hanya untuk menghadang masuknya produk dari luar negerinya, mereka juga menyakini bahwa sertifikasi ini berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 27 persen, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hak paten yang hanya berefek 1,5 persen.