Gapki Sumsel: Pungutan ekspor sawit masih relevan

id sawit, gapki, harry hartanto

Gapki Sumsel: Pungutan ekspor sawit masih relevan

Ilustrasi - Beberapa pekerja menaikkan tandan buah segar sawit ke dalam bak truk pengangkut. (FOTO ANTARA)

Palembang (Antarasumsel.com) - Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Harry Hartanto menilai pungutan ekspor sawit yang ditetapkan pemerintah masih relevan karena bertujuan untuk meningkatkan kemajuan industri sawit secara keseluruhan.

"Sejauh untuk kemajuan industri sawit dan dikembalikan lagi ke petani dalam bentuk perbaikan infrastruktur jalan dan replanting, mengapa tidak kami dukung. Jelas harus kami didukung," katanya ketika dihubungi dari Palembang, Jumat.

Harry dimintai tanggapan terkait adanya permintaan Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia yang meminta penghapusan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO). Pungutan ekspor ini dipandang merugikan pelaku usaha perkebunan.

Menurut dia, berbagai pihak perlu mencerna mengapa peraturan mengenai tarif layanan BLU Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit dikeluarkan pemerintah.

Semua ini berawal dari tingginya pasokan sawit di pasar internasional yang menyebabkan terjadinya penurunan harga, bahkan berada pada angka terendah dalam enam tahun. Akibatnya diperlukan upaya untuk mengenjot konsumsi dalam negeri yakni melalui produk biodiesel.

"Untuk pemanfaatan biodiesel oleh industri biofuel tentunya dibutuhkan subsidi. Dananya ya dari mana jika tidak dari pungutan ekspor tersebut. Saat itu semua setuju karena menilai langkah ini sangat baik untuk perbaikan perkebunan dan industri sawit ke depan," ujar dia.

Apalagi, penyerapan dana sawit melalui BLU BPDP Sawit itu bukan sebatas biodiesel, tapi digunakan untuk peremajaan lahan sawit, perbaikan infrastruktur jalan perkebunan, legalisasi lahan, pelatihan-pelatihan, dan edukasi dan advokasi mengenai produk sawit ramah lingkungan di negara-negara pembeli (buyer).

"Tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Ini perlu keterlibatan dan kontrol semua pihak agar tujuan utamanya mengangkat dan melindungi industri sawit dapat tercapai," kata dia.

Industri sawit hingga kini masih belum lepas dari isu lingkungan, seiring dengan penolakan parlemen Eropa pada produk sawit karena menilai melakukan negara pengekspor seperti Indonesia melakukan deforestasi hutan.

Selain itu, yang menjadi sorotan yakni adanya dugaan penyelewengan alokasi dana sawit yang disalurkan untuk subsidi biodiesel (biofuel) kepada industri biofuel. Di sisi lain, DPR RI juga didesak untuk segera merampungkan RUU Kelapa Sawit yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Data terakhir menunjukkan penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan kelapa sawit melalui pungutan ekspor CPO pada 2015 mencapai Rp2,7 triliun, dan pada 2016 sebesar Rp11,7 triliun.

Dari realisasi penerimaan itu, mayoritas di 2016 dimanfaatkan untuk menutupi subsidi atau pengolahan biodiesel dalam program pencampuran 20 persen bahan bakar nabati ke dalam solar (B20) sebesar Rp10,6 triliun.

Namun, penggunaan dana perkebunan sawit seperti penanaman kembali (replanting), subsidi bibit dan pupuk, promosi, pembangunan sarana perkebunan dianggap belum memadai.

Dana untuk replanting bahkan belum cair karena baru akan dikucurkan dengan ketentuan petani dikenakan bunga komersial perbankan hingga 16 persen per tahun. Kondisi ini dipandang memberatkan petani kelapa sawit.

Ketua Dewan Kehormatan Gapki Sumsel Sumarjono membenarkan belum terealisasinya dana peremajaan lahan sawit tersebut.

Untuk itu, pemerintah diharapkan segera mencairkan dana sawit yang dikelolah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit karena hampir 4.000 hektare lahan petani rakyat belum diremajakan. "Jika tidak, maka produksi akan terus tergerus dari 3 juta ton saat ini," katanya.

Bagi petani untuk menyerapkan dana tersebut kerap terganjal persoalan legalitas lahan, sehingga realisasi Rp25 juta per hektare untuk peremajaan hingga kini belum terealisasi.

"Harusnya pemerintah memiliki suatu mekanisme tersendiri untuk persoalan legalitas ini, karena petani kerap berpikir tidak perlu balik nama kepemilikan yang penting memegang sertifikat tanah," kata pengusaha asal Sumsel ini.