Peneliti: Perempuan hanya miliki dua kodrat

id perempuan, wanita, emansipasi, Milana Aphrodite Sahusilawane, peneliti, Universitas Pattimura

Peneliti: Perempuan hanya miliki dua kodrat

Ilustrasi Sejumlah perempuan mengendarai sepeda motor dengan berkonvoi keliling Kota. (Antarasumsel.com)

Ambon (Antarasumsel.com) - Milana Aphrodite Sahusilawane, peneliti dari Universitas Pattimura Ambon mengatakan secara gender perempuan hanya memiliki dua kodrat, yakni melahirkan dan menyusui, tapi sering disalahartikan akibat pemahaman patriarkal yang mengakar kuat dalam masyarakat.

"Dalam konstruksi sosial yang dibangun berabad-abad akibat dominasi laki-laki, perempuan dianggap sudah kodratnya mengurus rumah dan dapur, tidak wajib mendapatkan pendidikan tinggi, penghapusan kungkungan ini yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini, katanya di Ambon, Jumat.

Milana yang akrab disapa dengan Non adalah seorang dosen di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti) dan juga kepala Pusat Studi Penelitian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di perguruan tinggi tersebut.

Selain itu, penerima Kartini Award untuk kategori Perempuan dan Ilmu Pengetahuan pada 2012 ini juga menjabat sebagai Kepala Laboratorium Kependudukan dan Sosiologi di Unpatti.

Ia mengatakan tidak ada yang salah bila perempuan sebagai seorang ibu dan istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak dan lainnya, termasuk mengurus anak dan suaminya, tapi hal tersebut bukanlah kondratnya perempuan, melainkan jalan hidup.

Dalam kodratnya, perempuan dianugerahi kemampuan yang tidak bisa dilakukan oleh kaum lelaki, yakni melahirkan dan menyusui.

Karena itu, dari konteks gender, emansipasi bukanlah gagasan untuk memposisikan perempuan jauh lebih tinggi dari laki-laki, tapi hanya mendudukkan posisi perempuan sama dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu.

"Sejak jaman Martha Christina Tiahahu, perempuan sudah bisa bersaing dalam prospek yang sehat dan baik, misalnya dalam pangan, nyaris tidak ada sebutir benih pun yang jatuh ke tanah tanpa sentuhan tangan perempuan," katanya.

Di beberapa kawasan, kata dia, perempuan bahkan mengerjakan lebih banyak pekerjaan yang berhubungan ekonomi keluarganya, jauh lebih dari yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

Perempuan bisa bekerja dari sebelum terbitnya matahari hingga sampai suami dan anaknya tidur, barulah mereka bisa beristirahat, dan itu dilakukan setiap hari.

Ia mencontohkan kaum wanita di pulau-pulau terluar Maluku, seperti Kabupaten Maluku Barat Daya dan Maluku Tenggara Barat.

Dalam beberapa penelitiannya mengungkapkan bahwa perempuan di sana bisa bekerja nonstop selama 14 hingga 18 jam sehari, mulai dari mengurus keluarga hingga membantu menyiapkan kebutuhan pangan sehari-hari dan menambah pemasukan keuangan rumah tangga.

Di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya misalnya, tugas perempuan yang berstatus seorang ibu tidak hanya mengurus keluarganya, mereka juga membantu perekonomian dengan bertani dan berkebun, mulai dari mengolah lahan hingga panen dan kemudian menjual ke pasar.

Sedangkan kaum laki-lakinya tugasnya hanya menyadap koli untuk disuling oleh kaum perempuan menjadi tuak atau dalam bahasa setempat sopi, lalu dijual ke pasar.

Sama halnya dengan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, misalnya di desa Adaut, Kecamatan Selaru, kaum perempuannya dalam tugasnya mengurus pangan, harus menyeberang pulau untuk berkebun.

"Di desa Adaut, perempuan menyeberang dari satu pulau ke pulau lain hanya untuk berkebun walaupun ada badai, kadang-kadan mereka menginap di kebun dengan anak-anaknya hingga badai reda barulah mereka kembali," katanya.