Mendag ancam minta sertifikat standar minyak nabati

id Enggartiasto Lukita, minyak, sertifikat standar, minyak nabati, vegetable oil, Verifikasi Legalitas Kayu, eropa, Uni Eropa

Mendag ancam minta  sertifikat standar minyak nabati

Ilustrasi Minyak goreng (Ist)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengancam suatu saat akan meminta pengakuan sertifikat standar untuk minyak nabati (vegetable oil) terhadap aturan perdagangan internasional.

"Untuk syarat perdagangan kayu internasional sudah disepakati dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Indonesia punya itu semua, bahkan untuk sawit. Nanti akan kami minta sertifikat semacam itu, karena persyaratannya Indonesia juga punya," kata Mendag di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin.

Pernyataan tersebut muncul akibat adanya langkah dari Parlemen Uni Eropa terhadap resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dianggap masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM.

Menanggapi hal tersebut, Enggar menjelaskan sudah mengirimkan surat kepada Uni Eropa, namun belum ada balasan atas respons surat tersebut.

"Kami memerlukan kajian dan sudah pasti pemerintah Indonesia yang akan menghadapinya. Berbagai kajian ilmiah sebagai kelengkapan materi sedang kami olah termasuk didalamnya kredit dampak karbon dari sawit yang nanti akan ditagih," ujarnya.

Selain mengirimkan surat, Mendag sudah menyampaikannya secara lisan ketika hadir di Manila, Filipina. Ia menyampaikan  bahwa pemerintah Indonesia merasa keberatan atas tuduhan tersebut.

Menurutnya, hal ini adalah mengganggu perjanjian perdagangan antara Uni Eropa dan Indonesia. "Kalau hal itu memang terjadi, berarti adalah tantangan perang dagang, dan bukan Indonesai yang memulai," tegasnya.

Pemerintah Indonesia menilai Resolusi Parlemen Eropa tentang "Palm Oil and Deforestation of Rainforests" yang disahkan melalui pemungutan suara pada sesi pleno di Strasbourg  4 April 2017 mencerminkan tindakan diskriminatif minyak kelapa sawit.

"Tindakan diskriminatif ini berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai 'champion of open, rules based free, and fair trade'," berdasarkan pernyataan pers dari Kementerian Luar Negeri, menanggapi Resolusi Parlemen Eropa tentang minyak sawit.  
Menurut pemerintah RI, Resolusi Parlemen Eropa menggunakan data dan informasi yang tidak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak kelapa sawit dan manajemen kehutanan di negara-negara produsen minyak sawit, termasuk Indonesia. Resolusi itu juga melalaikan pendekatan "multistakeholders".

Pemerintah Indonesia menekankan bahwa penanaman minyak sawit bukanlah penyebab utama kebotakan hutan atau deforestasi.

Berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, dari total 239 juta hektare lahan yang mengalami deforestasi secara global dalam kurun waktu 20 tahun, 58 juta hektare terdeforestasi akibat sektor peternakan (livestock grazing), 13 juta hektare akibat penanaman kedelai, delapan juta hektare dari jagung, dan enam juta hektare dari minyak sawit.

Dengan kata lain, total minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih sebesar 2,5 persen terhadap deforestasi global.