LSM minta pemerintah akui area konservasi masyarakat

id hutan, Kawasan Konservasi, lsm, WGII, pengelola konservasi

LSM minta pemerintah akui area konservasi masyarakat

Ilustrasi

Jakarta (Antarasumsel.com) - Koalisi sejumlah LSM yang menamakan dirinya WGII meminta pemerintah mengakui Area Kawasan Konservasi Masyarakat (AKKM) berdasarkan kearifan lokal masyarakat adat di berbagai daerah, sebagai bagian dari tata kelola konservasi Indonesia.

Siaran pers koalisi LSM WGII Sabtu, menyebutkan, masyarakat adat atau masyarakat lokal merupakan salah satu aktor pengelola konservasi di Indonesia dengan sistem kearifan lokal yang secara nyata telah terbukti di lapangan.

Namun, belum sepenuhnya diakui pemerintah sebagai bagian Tata Kelola Konservasi. Oleh karena itu, WGII berupaya mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk mengakui AKKM.

AKKM merupakan areal yang dikelola dengan fungsi konservasi oleh masyarakat adat atau masyarakat lokal dalam suatu kesatuan ekosistem, yang tidak terpisahkan dari ruang hidup masyarakat adat atau wilayah adat mulai dari pemukiman, pemenuhan kebutuhan hidup dan ruang konservasi.

WGII menyatakan negara harus menyediakan mekanisme pengakuan (termasuk administrasi) untuk menjamin dan melindungi AKKM.

Dijabarkan, konservasi melalui mekanisme AKKM itu menggunakan pendekatan konservasi secara holistik, dimana nilai-nilai budaya dan alam sangat terkait erat, dan masyarakat setempat adalah kunci untuk mempertahankan sistem kearifan tradisional dalam konservasi.

Sehingga, ketika masyarakat memutuskan untuk menjalankan konservasi pada wilayah tertentu, sebaiknya diakomodir pemerintah melalui mekanisme AKKM sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem dalam kerangka wilayah Indonesia.

Terkait  Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU KKHE) yang sedang dibahas di DPR, WGII menilai ada beberapa aspek yang harus mendapat perhatian serius.

Pertama, RUU KKHE harus difokuskan pada upaya menemukenali sistem pengelolaan konservasi di luar mekanisme negara saat ini seperti AKKM, sehingga pemerintah akan terbantu menjalankan konservasi, terutama di daerah terpencil dan jauh dari jangkauan aparat pemerintah.

Dengan demikian, konservasi yang dilaksanakan dengan keterlibatan penuh masyarakat khususnya masyarakat lokal adat akan membuat Konservasi Indonesia semakin kaya dan efektif.

Kedua, RUU KKHE hendaknya mengatur lebih rinci dan menyelaraskan pengaturan konservasi yang telah ada, yaitu beragam UU terkait yang telah ada.

Ketiga, RUU KKHE hendaknya memfokuskan pada upaya perbaikan ekosistem yang telah terlanjur rusak oleh pemanfaatan berlebihan terdahulu sehingga tidak perlu ada tambahan pengaturan yang berkaitan dengan pemanfaatan atau eksplorasi.

Keempat, RUU KKHE hendaknya mengatur sistem pengadministrasian Kawasan Konservasi dengan baik, bijak dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal.

Kelima, penegakan hukum dalam pengelolaan konservasi dalam RUU KKHE hendaknya dilakukan oleh aparat pemerintah sesuai kewenangannya dalam sistem peradilan di Indonesia.

WGII antara lain terdiri atas Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Non Timber Forest Product Exchange Program (NTFP-EP), WWF Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Perkumpulan Huma Indonesia, Pusaka, Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara (AMAN), Sawit Watch, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).