Indonesia siap jembatani Rusia-AS selesaikan ISIS

id kapolri, jenderal tito

Indonesia siap jembatani Rusia-AS selesaikan ISIS

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyatakan, Indonesia siap menjembatani pemulihan hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat terutama untuk menyelesaikan persoalan ISIS yang telah menjadi ancaman keamanan di berbagai negara.

Menurut Tito, kelompok militan ISIS yang berbasis di Suriah jauh lebih sulit ditangani daripada kelompok militan Al Qaeda di Afghanistan, karena dua kekuatan besar dunia yakni Rusia dan AS memiliki agenda politik yang saling bertentangan atas wilayah tersebut.

"Kita berharap Rusia dan AS menafikan perbedaan politik lokal (di Suriah). Kalau bicara politik lokal tidak ada habisnya karena dua negara ini saling berseberangan sementara ISIS diuntungkan. Harusnya politik lokal dinomorduakan, ISIS-nya diselesaikan," kata Tito usai menerima medali penghargaan dari pemerintah Rusia yang diserahkan Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia Mikhail Y Galuzin di Jakarta, Kamis.

Eksistensi ISIS telah menjadi ancaman global bukan hanya karena serangan di beberapa negara tetapi juga pengaruhnya terhadap "foreign terrorist fighters" (FTF).

Sekitar 700 WNI diperkirakan bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah, demikian pula dengan kurang lebih 7.000 warga Rusia.

Mengingat Indonesia memiliki hubungan baik dengan Rusia maupun AS, Kapolri menyatakan keinginannya untuk memediasi dialog antara kedua negara. Terlebih saat ini hubungan Presiden Donald Trump dan Presiden Vladimir Putin relatif baik.

Dubes Galuzin menuturkan bahwa kerja sama antarnegara menjadi penting dalam upaya melawan terorisme internasional, terutama setelah serangan bom yang menewaskan 14 orang di stasiun kereta bawah tanah Saint Petersburg, Senin lalu.

Rusia mengaku terbuka untuk berdialog dan mendukung normalisasi hubungan dengan AS yang sempat terputus saat pemerintahan mantan Presiden Barack Obama sebagai akibat konflik Semenanjung Crimea yang berujung pada bergabungnya kembali wilayah tersebut ke Rusia melalui proses referendum yang demokratis.

"Sayangnya sampai saat ini pihak AS masih menolak bekerjasama dengan kami mengacu pada konflik tersebut, tetapi kami berharap itu bukan keputusan terakhir dari Washington DC," tutur Galuzin.

Ia juga berharap kunjungan Menteri Luar Negeri AS Rex W Tillerson untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pekan depan di Moscow, akan membawa angin segar bagi pemulihan hubungan kedua negara.

"Kami berharap negosiasi yang akan dilakukan kedua menteri berdasarkan akal sehat dan pendekatan yang bertanggungjawab, sehingga hubungan Rusia dan AS dapat kembali normal termasuk dalam kerja sama anti-terorisme," ujar dia.