RSPO berlakukan standarisasi tidak pekerjakan Anak

id perusahaan, kelapa sawit, RSPO, Roundtable on Sustainable Palm Oil, standarisasi perusahaan, mempekerjakan anak,

RSPO berlakukan standarisasi tidak pekerjakan Anak

Ilustrasi - Beberapa pekerja menaikkan tandan buah segar sawit ke dalam bak truk pengangkut. (FOTO ANTARA)

Palembang (Antarasumsel.com) - Organisasi nirlaba para pemangku kepentingan rantai bisnis kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO memberlakukan standarisasi tidak mempekerjakan anak dalam perkebunan jika ingin meraih status tersertifikasi.

Direktur RSPO Tiur Rumondang di Palembang, Rabu, mengatakan, aturan tersebut termasuk dalam 8 standarisasi sertifikasi RSPO yang diantaranya komitmen pada transfaransi, perkebunan berkelanjutan, dan peningkatan produksi.

"Untuk pekerja anak itu sudah harga mati, tidak boleh. Apapun alasan, bahkan membawa anak-anak ke kebun juga tidak boleh, jika kedapatan tentunya tidak akan mendapatkan sertifikasi RSPO," kata Tiur.

Meski Tiur menyadari bahwa terdapat budaya di masyarakat membawa anak-anak ke kebun tapi hal tersebut tidak menyurutkan RSPO untuk tetap memberlakukan aturan ini.

Menurut organisasinya, kebun bukan tempat yang aman untuk anak-anak sehingga mewajibkan anggota dan pemohon sertifikasi untuk tidak membawa anak beraktivitas di kebun.

"Bahkan aturan untuk memperoleh sertifikat RSPO saja mengharuskan pekerja di kebun menggunakan helm demi keselamatan kerja. Lantas bagaimana jika kita bicara untuk anak-anak ?," kata dia.

Ia mengatakan, RSPO tidak main-main dengan aturan ini, bahkan pernah memberi sanksi hingga mencabut sertifikat suatu perusahaan lantaran ketahuan memperkerjakan anak.

Penerapan saksi tegas ini, lantaran RSPO sendiri sebagai organisasi nirlaba yang beranggotakan rantai bisnis sawit dari hulu dan hilir.

Dari sisi hilir yakni pembeli, saat ini sangat memperdulikan proses dari suatu produk berbahan kelapa sawit.

Negara-negara di Eropa yang umumnya menjadi pembeli sangat menginginkan perusahaan memiliki sertifikat RSPO sebagai garansi bahwa proses dilakukan sudah berwawasan lingkungan.

Untuk itu pula RSPO menargetkan sebanyak 50 persen lahan di Indonesia telah tersertifikasi pada 2020.

Target ini harus diwujudkan karena persyaratan memiliki sertifikat RSPO diperkirakan pada masa mendatang bakal menjadi keharusan terutama oleh negara-negara pengimpor produk CPO, dan lainnya.

"Untuk negara Eropa dan Amerika bahkan untuk saat ini sudah mewajibkan. Ke depan, sertifikat RSPO ini bakal menjadi kebutuhan untuk menjaga keberlangsungan rantai bisnis sawit," kata Tiur.

Ia mengatakan, sejauh ini Indonesia sebagai negara penyangga 50 persen dari kebutuhan minyak sawit dunia hingga kini telah menyertifikasi sekitar 18 persen atau 1,8 juta hektare dari total 11 juta luas lahan secara keseluruhan. (Sumsel sebanyak 163 ribu hektera dan seluruh dunia baru mencapai 3,3 juta hektare).

Menurut Tiur, capaian ini patut disyukuri mengingat sertifikat RSPO ini sifatnya sukarela atau tidak seperti sertifikat ISPO yang sifatnya mandatory.

"Artinya sudah ada perubahan perilaku dari pelaku bisnisnya, tinggal lagi bagaimana mendorongnya mengingat sejumlah isu yang masih menghadang, seperti isu lingkungan, isu deforestasi, isu gas rumah kaca dan isu biodeversity," kata dia.