Indonesia usung "tracebility" perikanan di "sena" Boston

id ikan, ekspor, impor, Seafood Expo North America, produk perikanan, traceability, Nilanto Perbowo

Indonesia usung "tracebility" perikanan di "sena" Boston

Ilustrasi - ikan laut (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Indonesia mengusung program pentingnya program ketelusuran produk (traceability) perikanan dalam ajang pameran bergengsi Seafood Expo North America (SENA) di Boston, Amerika Serikat (AS).

"Kami di industri perikanan rajungan (Portunus pelagicus) pun sangat mendukung itu, dan sudah melakukan di Lampung Timur dan Pemalang, Jateng. Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP-KKP)  Nilanto Perbowo setuju atas program tersebut," kata Arie Prabawa, Manajer Pemasaran PT Siger Jaya Abadi, salah satu peserta dari Indonesia yang menghubungi Antara dari Boston, Senin.

SENA adalah salah satu pameran kelautan dan pengolahan hasil laut terbesar di kawasan Amerika yang diikuti ribuan peserta dari puluhan negara.

KKP yang memimpin delegasi dari Indonesia dalam ajang itu membawa belasan pelaku industri perikanan.

Mereka adalah PT Siger Jaya Abadi dari grup Blue Star Nusantara (BSN), Multi Monodon group, PT Bahari Biru Nusantara, PT Intimas Surya, CP Prima, PT Wahyu Pradana Binamulia, PT Wironton Baru, PT Alam Jaya, PT Indu Manis, PT Permata Marindo Jaya, PT Inti Lautan Fajar Abadi, Mina Kencana Mulya, PT Sekar Bumi Tbk, PT Nusantara Alam Bahari, dan PT Dharma Samudera Fishing Industries.

Secara umum, "traceability" adalah suatu cara untuk mempermudah melakukan pelacakan terhadap suatu produk dengan melihat sejarah dari produk tersebut, dan bisa dilakukan dengan
menelusurinya di setiap tahapan budi daya mulai dari sejak awal sampai akhir proses produksi dan bahkan juga menelusurinya setelah produk tersebut diedarkan sampai ke konsumen terakhir.

Hal itu mesti dilakukan terkait keamanan pangan yang merupakan isu sangat penting dalam pemasaran produk perikanan di tingkat internasional.

Berdasarkan peraturan dimaksud keamanan pangan  merupakan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam rantai produksinya.      
Importir AS atas produk rajungan Indonesia, yakni  CEO Blue Star Foods AS John R Keller yang akhir Februari 2017 ikut hadir dalam membentuk koperasi rajungan pertama di Desa Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur,
Provinsi Lampung sangat mendukung program seperti "traceability" itu.

Terbentuknya koperasi nelayan rajungan pertama di Indonesia --  yang mempunyai misi pelestarian perikanan rajungan sekaligus kesejahteraan nelayan -- mendapat dukungan pihaknya dengan meluncurkan alat pengumpulan data dengan sistem teknologi informasi berbasis telepon seluler untuk dipasang pada kapal nelayan rajungan.

Sedangkan di Pemalang, Jateng, menurut Arie Prabawa, dukungan itu dilakukan, salah satunya, melalui
"Sosialisasi Penangkapan dan Pendataan Perikanan Rajungan Yang  Berkelanjutan" atas kerja sama para pihak, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Perikanan Kabupaten Pemalang, Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), PT Blue Star Anugrah (BSA),   dan Sustainable Fisheries Partnership (SFP).

"Harapannya Pemalang sebaga inovator industrialisasi rajungan akan tetap lestari. Karena itu, kami bekerja sama dengan nelayan dan 'miniplant'," katanya.

Sekjen APRI Bambang Arif Nugraha, yang juga hadir di ajang SENA Boston, mengemukakan bahwa  selama perjalanan industrialiasi perikanan rajungan, menunjukkan beberapa permasalahan, seperti permasalahan kualitas produk dan "overfishing".

Oleh karena itu, APRI yang didirikan industri pengolahaan rajungan kemudian mengupayakan kegiatan Fishery Improvement Project (FIP) untuk menjaga kelestarian pengelolaan rajungan.

"Saat ini APRI memiliki proyek pemilihan perikanan rajungan atau disebut FIP itu," katanya.

Ia merujuk pada data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM)-KKP yang mencatat nilai ekspor rajungan Indonesia pada 2014 melebihi 308 juta dolar AS atau sekitar Rp4 triliun.

Volume ekspor rajungan mengalami peningkatan signifikan, yaitu pada 2014 sekitar 10,8 juta ton, pada 2015 mencapai 15,8 juta ton, dan pada 2016 menjadi 19,4 juta ton.      
Nilai perdagangan ekspor rajungan --dan kepiting dengan "harmonized system (HS) code" (kode sistem harmonisasi atau nomenklatur tarif yang diakui secara internasional berdasarkan klasifikasi produk yang diperdagangkan) yang sama--  tertinggi,  terjadi pada 2014 yang mencapai 414, 372 juta dolar atau sekitar Rp5,4 triliun.

Delegasi Indonesia, pada ajang itu, pada Minggu (19/3) malam waktu AS (Senin WIB) mendapat undangan silaturahmi dan jamuan makan malam dari KBRI Washington dan KJRI New York di Boston.

Pameran SENA di Boston, AS, berlangsung pada 19-21 Maret 2017.