Melestarikan adat "tulude" warisan etnis Sangihe Talaud

id Upacara Adat, Tulude, Sulawesi Utara, ucapan syukur, awal tahun baru, menutup lembaran tahun lama, hajatan tahunan masyarakat, Nusa Utara, Kepulauan S

Melestarikan adat "tulude" warisan etnis Sangihe Talaud

Upacara Adat Tulude (Ist)

.... "Tulude" merupakan hajatan tahunan masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro) di ujung utara Provinsi Sulawesi Utara, yang telah dilaksanakan sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat....
Pergelaran adat "Tulude" setiap awal tahun baru dilaksanakan masyarakat Sulawesi Utara karena upacara adat keagamaan itu menjadi ucapan syukur di awal tahun yang baru dan menutup lembaran tahun yang lama.

Upacara adat "Tulude" merupakan hajatan tahunan masyarakat Nusa Utara (Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro) di ujung utara Provinsi Sulawesi Utara, yang telah dilaksanakan sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat etnis tersebut, baik di tanah sendiri maupun di perantauan.

Upacara yang sarat makna religius tersebut, rupanya tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh generasi manapun. Tradisi itu telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi, dan budaya masyarakat Nusa Utara.        
Oleh karena itu, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey dan Wali Kota Bitung Maxmiliaan Jonas Lomban mengatakan "Tulude" sebagai warisan adat keagamaan yang perlu dilestarikan.

Apalagi, tradisi tersebut sudah diterima masyarakat Sulawesi Utara dan dewasa ini sudah menjadi milik masyarakat  Sulawesi Utara dan Indonesia pada umumnya.

Wali Kota Bitung Lomban yang sudah dianugerahi gelar  "Bataha Darame Nusa" (pemimpin yang mempersatukan) mengatakan perlu ada pelatihan bagi generasi muda guna menjadi penerus dalam melestarikan budaya dari Nusa Utara tersebut.    
Ritual penyelenggaraan "Tulude", katanya, berupa kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan Yang Maha Kuasa) atas berkat-Nya kepada umat manusia selama setahun yang lalu dan meminta berkat untuk kehidupan pada tahun yang berjalan.

Pergelaran adat "Tulude" pada beberapa abad yang lalu dilaksanakan setiap 31 Desember, namun seiring perkembangan waktu, pelaksanaan  bergeser tetapi makna utama dari gelar adat religi tidak bergeser.

"Perlu komitmen bersama untuk terus mewariskan tradisi seperti ini kepada generasi muda dan harus disertai rumusan-rumusan yang jelas dan autentik tentang asal usul upacara tersebut," kata Lomban di depan ribuan warga Bitung yang menghadiri puncak pergelaran adat "Tulude".

Tradisi dan budaya masih terasa kental menyelimuti kehidupan masyarakat Suku Sangihe sebagai pewaris tradisi "Tulude" saat modernisasi dan globalisasi terus menggempur kebudayaan nasional.

Lomban memberikan apresiasi kepada etnis Sangir karena terus mempertahankan nilai-nilai luhur dari nenek moyang dan masih terjaga sesuai kata "Tulude atau Menulude" berasal dari kata "Suhude" dalam bahasa Sangihe yang berarti "Tolak".    
"Dalam arti luas 'Tulude' berarti menolak untuk tidak terus bergantung pada masa lalu dan bersiap menyongsong tahun depan," ungkap Lomban.

"Tulude" diadakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah yang telah diberikan Tuhan selama setahun yang lalu.

"Tulude" tidak hanya digelar di Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun juga di kabupaten lain di Sulut, di mana anak-anak Suku Sangihe berada, seperti di Bitung, Manado, Kotamobagu Gorontalo, dan daerah lainnya.

    
                  Kue Tamo

Pergelaran adat "Tulude", tidak terlepas dari lambang Kue Tamo yang seyogyanya diiringi Tarian Gunde dan merupakan puncak acara "Tulude" berupa pemotongan kue Tamo.

Budayawan Sangihe, Alffian Walukow, memaparkan bahwa bagian terpenting dalam pembuatan Kue Tamo adalah ritual "Memoto Tamo" dan yang ditugaskan untuk memotong Tamo harus menyampaikan "Sasalamate" yang dinamakan "Sasalamate Tamo".

Kue Tamo berbentuk kerucut terbuat dari beras, umbi-umbian, gula, serta minyak kelapa. Pada ujung kue ditancapkan telur yang melambangkan kehidupan baru.            
Dia mengatakan isi dari "Sasalamate Tamo" adalah kisah tentang Tamo itu sendiri dan pesan atau nasihat tentang kebaikan kepada banyak orang.

Ketika agama Kristen  masuk wilayah Sangihe dan Talaud pada abad 19, upacara adat "Tulude" telah diisi dengan muatan-muatan ritual agama samawi berupa penginjilan.    
"Tulude", menurut Lomban, warisan budaya yang penuh makna dan sarat nilai-nilai keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Upacara adat 'Tulude' merupakan warisan leluhur yang sangat menarik, khas, dan unik yang tidak akan ditemukan di tempat lain di luar Sulut," kata Lomban.

Adanya upacara "Tulude" memperkuat kesadaran semua orang bahwa Indonesia begitu kaya akan budaya. Di sudut negeri ini, kearifan lokal masih terus tumbuh dan lestari.