Terdakwa korupsi samsat Banyuasin divonis empat tahun

id persidangan, vonis, hakim, korupsi, pajak kendaraan bermotor, Ahmad Firdaus, Hadi Iswanto, uang pengganti

Terdakwa korupsi samsat Banyuasin divonis empat tahun

Ilustrasi (Foto Antarasumsel.com/Nova Wahyudi/)

Palembang (Antarasumsel.com) - Dua terdakwa korupsi Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap atau Samsat pembayaran pajak kendaraan bermotor di Banyuasin, Sumatera Selatan, divonis majelis hakim hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua tahun kurungan.

Ketua Majelis Hakim, Eli Warti yang membacakan putusan di ruang sidang Pengadilan Negeri Palembang, Selasa, juga membebani kedua terdakwa yakni Ahmad Firdaus (kasir Samsat) dan Hadi Iswanto (pegawai Dispenda bidang data komputer) dengan kewajiban membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp600 juta.

"Terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindaka Korupsi," kata ketua majelis hakim.

Kasus korupsi di Samsat Banyuasin ini terjadi pada 2012-2013 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp3 miliar berdasarkan audit BPK.

Atas putusan ini, terdakwa Ahmad Firdaus menyatakan menerima, sementara terdakwa Hadi Ismanto memilih pikir-pikir. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum Ali Akhmar menyatakan pikir-pikir karena pada tuntutan menjerat kedua terdakwa dengan Pasal 3 UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindaka Korupsi.

Kasus ini terungkap setelah BPK menemukan terjadi penyelewengan dana penerimaan pajak.

Modus yang dilakukan kedua terdakwa bersama dua rekannya yakni pegawai Dispenda dan pengawai Bank Sumsel Babel bersekongkol mengubah nominal pembayaran pajak sekurang-kurangnya 50 persen dari tagihan ke wajib pajak.

Kemudian setoran wajib pajak yang diambil tersebut dibagikan dengan 60 persen untuk kepala UPTD dan 40 persen untuk mereka berdua, berdasarkan keterangan terdakwa di persidangan.

Terkait putusan hakim ini, penasihat hukum kedua terdakwa Fahmi mengaku kecewa karena hingga kini kasus hanya menjerat bagian pelaksana lapangan sehingga aktor intelektualnya yakni Kepala UPTD tidak tersentuh.

"Di persidangan, kedua terdakwa menyebutkan bahwa perbuatan ini terjadi setelah sebelumnya dikumpulkan terlebih dahulu oleh kepala UPTD di ruangan kerjanya," kata dia.