12.000 HA lebih wilayah berstatus hutan adat

id hutan, milik adat, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penetapan hutan adat, satu surat keputusan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara

12.000 HA lebih wilayah berstatus hutan adat

Hutan Gunung Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, (NTARANEWS.COM/Ampelsa/Ang)

Jakarta (Antarasumsel.com) -Keluarnya 8 SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk penetapan hutan adat dan satu surat keputusan(SK) untuk addendum areal konsesi di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, maka wilayah seluas lebih dari 12.000 hektare (ha) kini berstatus Hutan Adat.

"Rencananya SK tersebut diserahkan Presiden jam 9.00 nanti," kata Sekjen Aliandi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat.

Abdon Nababan  mengatakan AMAN bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebelumnya sudah sejak lama menyerahkan peta wilayah adat seluas lebih dari tiga juta ha ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dengan adanya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait penetapan Hutan Adat  tersebut maka lebih dari 12.000 ha dari tiga juta ha wilayah yang diajukan resmi berstatus hutan adat.

Menurut dia, masih banyak tantangan dalam birokrasi KLHK, dan juga kelambatan pembuatan peraturan daerah (perda) dan SK di daerah yang membuat proses penetapan Hutan Adat ini berjalan lambat.

Meski demikian, dalam Rapat Kerja Teknis Hutan Adat Tahun 2016 KLHK di Jakarta, Abdon sempat mengatakan bahwa masyarakat adat telah menunggu selama 71 tahun Indonesia merdeka untuk diakui Hutan Adatnya. Adanya penetapan Hutan Adat ini akan membuat masyarakat adat benar-benar hadir dan ada di negara ini secara administratif.

Sebelumnya Rapat Kerja Teknis Hutan Adat Tahun 2016 yang digelar KLHK dan dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bupati Bulukumba, Staf Khusus Menteri, penasehat senior Menteri dan eselon II Kementerian LHK terkait, perwakilan provinsi dan kabupaten, perwakilan masyarakat hukum adat dan pendamping masyarakat hukum adat (MHA) menyosialisasikan pengakuan hutan adat oleh Pemerintah pascaditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ PUU-X/ 2012 tanggal 16 Mei 2013.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat masyarakat hukum adat dan bukan lagi hutan negara. Keputusan ini juga sekaligus sebagai landasan bagi pemerintah untuk membangun pola interaksi dengan masyarakat hukum adat dan bertukar informasi serta melakukan tindak lanjut yang harus dilaksanakan setelah adanya penetapan hutan adat disuatu wilayah, sehingga esensi dari putusan tersebut adalah bahwa masyarakat memiliki akses kelola kawasan hutan adat sesuai dengan kearifan lokal.

Sampai dengan saat ini tercatat ada delapan Hutan Adat yang telah selesai diverifikasi, yaitu Hutan Adat Desa Rantau Kermas seluas 130 ha di Kabupaten Merangin, Hutan Adat Bukit  Sembahyang dan Padun Gelangan seluas 39,04 ha di Kabupaten Kerinci, Hutan Adat Bukit Tinggai seluas 41,27 ha di Kabupaten Kerinci.

Kemudian, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam seluas 152 ha di Kabupaten Kerinci, Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan seluas 426 ha di Kabupaten Kerinci, Hutan Adat Ammatoa Kajang seluas 313,99 ha di Kabupaten Bulukumba, Hutan Adat Wana Posangke seluas 6.291 a di Kabupaten Morowali Utara, Hutan Adat Kasepuhan Karang seluas 485,386 ha di Kabupaten Lebak.  
Terdapat juga satu kawasan calon lokasi  hutan adat, yaitu Hutan Adat Tombak Haminjon seluas 5.172 ha di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang sedang dalam proses.

Dalam keterangan tertulisnya Menteri LHK mengatakan penetapan hutan adat dengan segala latar belakangnya menjadi penegasan sembilan9 entitas masyarakat adat dan bagaimana masyarakat hukum adat kedepannya. Ini merupakan langkah berani yang dilakukan negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pedoman yang ada baik berupa undang-undang untuk sistem administrasi dan hak-hak masyarakat adat masih dapat digunakan, sementara itu akan tetap dilakukan pendampingan atas hak komunal masyarakat hukum adat, lanjutnya.

Koherensi tiap regulasi dari berbagai instrumen mengenai masyarakat hukum adat, yang salah satu instrumennya adalah program nasional untuk pengurangan emisi karbon di Indonesia. Instrumen Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga merupakan jalur  yang cukup strategis yang dapat digunakan oleh daerah dalam pelaksanaan pengelolaan hutan adat.

Menurut dia, peresmian pengakuan hutan adat sangat penting dan hal ini merupakan program yang paling menjadi perhatian oleh Presiden Republik Indonesia.

Pengakuan masyarakat adat dan hak kelola kawasan hutan hukum adat, memang memungkinkan terjadinya kontradiksi nilai, namun hasil dari perjalanan panjang diskusi Perhutanan Sosial yang telah dilakukan lebih dari belasan tahun ini meyakini dengan tata ruang hutan yang baik, pengelolaan kawasan hutan lebih terproteksi, karena kawasan ini merupakan kawasan tumpu, kawasan dukung yang menopang hidup masyarakat di kawasan hutan adat Indonesia, ujar dia