Nestapa Aceh terulang pada penghujung 2016

id gempa, aceh gempa, korban gempa

Nestapa Aceh terulang pada penghujung 2016

Sejumlah warga menyaksikkan proses evakuasi korban di salah satu bangunan yang runtuh akibat gempa 6.5 pada skala Richter di Desa Lueng Putu, perbatasan Pidie-Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/12/2016) (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

....Gempa memang tidak "membunuh" orang, tapi bangunan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa....
Jambi  (Antarasumsel.com) - Pada 7 Desember 2016 sekitar pukul 5.04 WIB, bumi Aceh berguncang saat banyak warga tidur lelap, dan sebagian sontak terbangun kemudian berteriak "Gempa.. gempa!" seraya berhamburan ke luar rumah dengan histeris.

Gempa berkekuatan 6,5 skala Richter menjelang waktu pelaksanaan shalat subuh itu, dalam hitungan detik ikut meratakan ratusan rumah dan rumah toko di sejumlah gampong (desa) Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh.

Tidak hanya itu, gempa di penghujung tahun 2016 berkedalaman 10 kilometer yang berpusat di 18 kilometer timur laut  Kabupaten Pidie Jaya tersebut dirasakan kuat masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota di Aceh, seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe dan Banda Aceh.

Gempa terparah di Aceh pada tahun 2016  menyebabkan sekitar 100 orang meninggal dunia, ratusan penduduk luka berat dan ringan, dan tidak kurang dari 500 rumah, ruko, masjid, dan fasilitas publik  rata dengan tanah.

Jumlah korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat gempa yang meluluhlantakkan Pidie Jaya itu tercatat terparah kedua setelah gempa yang disertai tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004.

Pada tsunami di penghujung 2004, tidak kurang dari 200 ribu jiwa penduduk Aceh meninggal dunia, dan sebagian hilang.

Tsunami Aceh akhir 2004 yang diawali dengan gempa berkekuatan 9,1 skalaRrichter itu termasuk bencana dahsyat di dunia sehingga menjadi perhatian masyarakat internasional untuk membantu hingga pemulihan kembali wilayah ujung paling barat Indonesia itu.  

Pascatsunami 26 Desember 2004, Aceh dan sebagian wilayah di Pulau Sumatera dimasukkan ke daerah berkategori rawan bencana gempa dan tsunami. Tsunami Aceh 2004, menyebabkan lebih 120 ribu unit rumah warga di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulue, dan Nagan Raya hancur.

Pascatsunami 2004, Aceh kerap dilanda sejumlah gempa besar seperti di dataran tinggi Gayo atau meliputi Kabupaten Aceh Tengah, dan Bener Meriah pada 2 Juli 2013 dengan jumlah korban lebih 30 orang meninggal dunia dan lebih 100 luka-luka.

Kemudian gempa pada 11 April 2012 dengan kekuatan 8,6 skala Richter dan dirasakan kuat oleh masyarakat antara lain di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat. Meski gempa tersebut tidak menimbulkan kerusakan dan tsunami, namun membuat kepanikan warga.

Gempa  menerjang Pidie Jaya juga menimbulkan korban jiwa dan kerusakan bangunan di Kabupaten Pidie dan Bireuen yang merupakan wilayah berbatasan dengan daerah pusat gempa.

"Saya benar-benar trauma. Gempanya cukup kuat dan sekali sentak, baru kemudian berayun beberapa detik. Saya nyaris tidak sempat keluar rumah, untung rumah saya bukan bangunan beton," kata Surya (45) warga Gampong Meunasah Biet, Pidie Jaya.

Menurut pakar gempa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, gempa bumi berskala 6,5 skala Richter yang mengguncang wilayah Pidie Jaya, Aceh  itu disebabkan akibat pergeseran sesar aktif.

"Gempa Pidie Jaya ini disebabkan oleh pergerakan sesar aktif di kawasan tersebut," ujar pakar gempa dari UGM Gayatri Indah Marliyani, di Departemen Teknik Geologi UGM dalam keterangan tertulisnya.

Gayatri mengatakan gempa itu berpusat di darat pada koordinat 5,19° LU dan 96,38 BT dengan kedalaman 10 kilometer. Gempa merupakan dampak dari aktivitas sesar aktif di wilayah tersebut yang bersifat mendatar dan dekstral (menganan).

Ia menjelaskan sesar aktif yang bergerak di Pidie Jaya ini merupakan cabang dari sesar Sumatera di bagian utara. Sesar ini berorientasi barat laut-tenggara.

Gempa ini terjadi karena pengaruh dari pergerakan sesar yang sudah ada tapi belum terpetakan sebelumnya, katanya menambahkan.

Sementara  itu  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, Rabu dini hari sebanyak 100 kali lebih gempa berkekuatan 5 skala richter (SR) menguncang provinsi paling paling ujung barat Sumatera.

Pidie Jaya yang berpenduduk sekitar 138 ribu jiwa merupakan pecahan dari Kabupaten Pidie, dengan luas wilayah 1.162,84  kilometer persegi, dan berada dibelahan utara bukit barisan yang terdiri dari kawasan penggunungan, dataran rendah dan perairan  laut.
   
                                                       Tingkatkan mitigasi
Pemerintah hendaknya terus meningkatkan mitigasi bencana sebagai upaya meminimalikan dampak dari bencana alam seperti gempa bumi yang mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, kata praktisi kebencanaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Teuku Alvisyahrin PhD.

"Pelatihan mitigasi kebencanaan itu bertujuan meningkatkan kesadaran bahwa kita berada di daerah rawan bencana," kata praktisi mitigasi bencana pada Tsunami and Disarter Mitigation Research Centre (TDMRC) Unsyiah, Teuku Alvisyahrin.

Memang ada pelatihan tentang kebencanaan, tapi harus ditingkatkan lagi sehingga masyarakat di daerah rawan selalu siap jika terjadi bencana.

"Kalau selama ini, misalnya di Aceh dilakukan pelatihan mitigasi sekali setahun, mungkin kedepan dua kali. Itu sebagai upaya kita mengurangi risiko bencana," kata dia.

Pelatihan-pelatihan mitigasi bencana yang selama ini telah dilakukan di sekolah-sekolah sejumlah daerah di Aceh, kata staf pengajar pada Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah Darusalam itu, juga harus ditingkatkan.

Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat di daerah rawan bencana, terutama gempa dan  tsunami, katanya harus berupaya terus untuk memantapkan mitigasi guna mengurangi jatuhnya korban jiwa manusia dan harta benda.

"Hal tersebut dapat terlaksana jika sudah ada kebijakan mitigasi, misalnya soal rancang bangun rumah dan gedung tahan gempa. Itu bahagian ikhtiar atau usaha untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dan harta benda ketika bencana terjadi," kata Teuku Alvisyahrin.

Selain itu, diperlukan pemetaan wilayah rawan bencana dengan membuat peta ancaman gempa atau tsunami, selain bencana banjir, dan tanah longsor khususnya di 23 kabupaten dan kota di Provinsi Aceh.

Dengan adanya peta ancaman gempa dan tsunami itu sehingga kedepan dapat melahirkan strategi untuk pengurangan risiko dari sebuah bencana yang terjadi, kata Alvisyahrin.

Pemerintah, katanya juga harus mengintervensi terkait dengan pengaturan tata ruang, terutama pengintegrasian tata ruang di daerah rawan bencana.

"Terkait dengan tata ruang, misalnya adanya relokasi yang harus dilaksanakan, tapi itu juga terkadang akan menimbulkan masalah. Pascatsunami Aceh, 26 Desember 2004, sudah dipersiapkan aturan yang tidak boleh ada permukiman di areal dua kilometer dari bibir pantai. Namun, kenyataan warga tidak mau pindah karena memang penghidupannya di pesisir pantai," kata dia mencontohkan.

Alvisyahrin mempertanyakan apakah di semua wilayah rawan gempa itu sudah membuat aturan (perda) pendirian bangunan tahan gempa.

Gempa memang tidak "membunuh" orang, tapi bangunan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. (A042)