Terdakwa korupsi bibit ikan divonis 14 bulan

id terdakwa, korupsi, vonis 14 bulan, korupsi bibit ikan, pengadilan tipikor

Terdakwa korupsi bibit ikan divonis 14 bulan

Ilustrasi - Korupsi (Antarasumsel.com/Grafis/Awi)

Palembang (Antarasumsel.com) - Dua terdakwa korupsi bibit ikan di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, divonis 14 bulan penjara setelah terbukti melanggar pasal 3 Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terdakwa Dedi Yamin (52) dan Mamat Rahmat (65) mendengarkan pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Palembang, Kamis atas perbuatan menyalahgunakan anggaran tahun 2012 sebesar Rp 1,7 miliar.

Selain putusan pidana penjara, Ketua Majelis Hakim Saiman juga mewajibkan kedua terdakwa untuk membayar denda senilai Rp50 juta, dan apabila keduanya tidak bisa membayar maka dapat diganti dengan kurungan penjara selama dua bulan. Atas vonis ini, kedua terdakwa menerimanya.

"Dari keterangan saksi dan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan, kedua terdakwa bersalah melanggar pasal 3 UU Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, hakim sependapat dengan tuntutan jaksa," kata Saiman.

Sebelumnya, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuk Linggau yakni Hariansyah dan rekan-rekan menuntut kedua terdakwa dipenjara 18 bulan.

Meski vonis hakim lebih rendah, Hariansyah dan teman-teman menyatakan menerima vonis tersebut sehingga vonis sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap.

Terungkap dalam persidangan, kejadian bermula pada tahun 2012, kedua terdakwa merupakan rekanan dari PT Pertamina untuk menggelar program pengadaan bibit ikan lele.

Namun, karena tidak berjalan, program itu diganti dengan pengadaan bibit ikan nila.

Rupanya, oleh seorang oknum dari PT Pertamina bernama Imam Santoso (sudah divonis), program tersebut diduga fiktif belaka karena hanya ada dalam laporan, sementara pelaksanaannya tidak ada.

Peran dari kedua terdakwa, dimana Dedi sebagai Direktur Utama PT EFAM dan Mamat berstatuskan Direktur Keuangan PT Sang Hyang Sri, menorehkan tanda tangan yang membuat cairnya anggaran senilai Rp1,7 miliar.

Selama persidangan, keduanya tidak terbukti menikmati uang tersebut sehingga tidak dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara.