KPK bantah tidak memiliki dua bukti Irman

id kpk, praperdilan tersangka, pengadilan, Irman Gusman, Pengadilan Negeri, bukti tersangka, irman, alat bukti yang cukup untuk menjadikan mantan Ketua D

KPK bantah tidak memiliki dua bukti Irman

Gedung KPK ((ANTARA FOTO))

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi membantah pihaknya tidak memiliki dua alat bukti yang cukup untuk menjadikan mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman sebagai tersangka.

"Kami sudah punya dua alat bukti yang cukup. Nanti kami buktikan, kita lihat di jawaban kami besok (Rabu, 26/10)," kata Setiadi seusai sidang praperadilan yang diajukan Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (25/10) melalui hakim tunggal I Wayan Karya mulai menggelar sidang praperadilan yang diajukan pemohon Irman dengan jadwal pembacaan praperadilan dari pihak pemohon.

Pihaknya pun tidak terlalu mempermasalahkan seluruh gugatan praperadilan yang diajukan Irman.

"Itu merupakan hak yang bersangkutan untuk mengajukan keberatan atas proses yang dilakukan KPK. Dalam proses pemeriksaan ini kan juga ada fakta-fakta, akan kami sampaikan besok," tuturnya.

Sidang praperadilan Irman Gusman akan dilanjutkan Rabu (26/10) dengan jadwal jawaban dari pihak termohon, KPK.

Irman telah diberhentikan dari jabatan Ketua DPD RI setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pidana oleh KPK.

Kasus ini diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dini hari terhadap empat orang yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.

Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp100 juta kepada Irman yang diduga sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaveriandy dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.

Irman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Xaveriandy dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton dimana Xaveriandy merupakan terdakwanya.

Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga bertindak seolah sebagai penasehat hukum Xaveriandy seperti membuat eksekpsi dan mengatur saksi saksi yang menguntungkan terdakwa.