Perlu ubah formula penetapan bantuan parpol

id parpol, bantuan dana parpol, partai politik, undang-undang partai politik

Perlu ubah formula penetapan bantuan parpol

Jejeran bendera partai politik di depan kantor KPU . (Antara/Adha Nadjemuddin)

Semarang (ANTARA Sumsel) - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memandang perlu mengubah formula penetapan bantuan keuangan untuk partai politik karena konversi suara dengan kursi tidak selalu berbanding lurus.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Kamis, menyarankan agar pemerintah memasukkan rumus penetapan itu dalam undang-undang.

Titi mengatakan hal itu terkait dengan rencana pemerintah menaikkan subsidi untuk parpol dengan merevisi kembali Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Peraturan pemerintah ini pernah diubah dengan terbitnya PP No. 83/2012.

Sebelumnya, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo melalui surat elektroniknya kepada Antara (4/10) menilai bahwa menaikkan bantuan keuangan partai melalui revisi PP tidak akan berdampak signifikan tanpa disertai pembenahan persoalan keuangan partai lainnya.

Sebaiknya, kata dia, merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, bukan PP No. 5/2009.

Dalam PP No. 5/2009 juncto PP No. 83/2012, disebutkan bahwa nilai bantuan per suara ditentukan dengan rumus: besaran bantuan per suara peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran bantuan APBN/APBD periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode sebelumnya.

    
    Formula Bermasalah
Menurut Titi, formula tersebut terkesan sangat "matematis", padahal sebetulnya bermasalah.

Ia menegaskan bahwa mengaitkan harga per suara periode saat ini dengan harga per kursi periode sebelumnya tidak logis karena konversi suara dengan kursi tidak selalu berbanding lurus.

Titi mengumpamakan harga satu kursi adalah 100 suara, partai politik A yang memiliki 145 suara, bisa sama-sama mendapatkan satu kursi dengan parpol B yang hanya memiliki 51 suara.

Oleh karena itu, ketika undang-undang menetapkan besaran bantuan ditetapkan berdasarkan perolehan suara, menurut dia, tidak perlu lagi dikaitkan dengan harga kursi, apalagi harga kursi periode sebelumnya.

Titi berpendapat bahwa penetapan harga per suara lebih baik berkaitan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim.

Di beberapa negara, kata dia, penetapan harga suara menggunakan upah minimal sebagai tolok ukur. Pasalnya, upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah.

"Maka, harga suara juga bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah. Misalnya, ditetapkan harga suara adalah X persen dari upah minimal di daerah yang bersangkutan," katanya.

Kalau suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi daripada daerah lain, lanjut dia, kecenderungannya anggaran daerah tersebut juga lebih besar daripada anggaran daerah lain.

"Dengan demikian, harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan besaran upah minimal yang biasanya juga mencerminkan juga besaran anggaran daerah masing-masing," kata Titi.