Calon kepala daerah terpidana harus ditolak

id pilkada, calon kepala daerah, pemilihan kepala daerah. terpidana

Calon kepala daerah terpidana harus ditolak

Ilustrasi- Pilkada (Istimewa)

Semarang (ANTARA Sumsel) - Rakyat harus menolak calon kepala daerah bermasalah, termasuk mereka yang sedang menjalani pidana tidak di dalam penjara, dengan cara tidak memilihnya, kata pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono.

Sekalipun disebut alpa ringan, mereka sudah cacat dan tidak tepat lagi menjadi pemimpin sehingga rakyat harus menolaknya dengan cara tidak memilihnya, kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Selasa.

Teguh mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan terkait dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan memenuhi persyaratan, antara lain, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis), terpidana karena alasan politik, terpidana yang tidak menjalani pidana dalam penjara wajib secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan sedang menjalani pidana tidak di dalam penjara (vide Pasal 4 Ayat 1 Huruf f PKPU No. 9/2016).

Teguh yang juga Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip Semarang itu menilai peraturan tersebut merupakan efek dari politisasi yang berlebihan serta banyak calon yang tidak benar-benar bersih (totally clean) yang dimiliki oleh partai politik.

         "Akibatnya, hukum atau aturan dibuat untuk menyesuaikan dengan kondisi riil atau praktik politik nyata yang dimiliki oleh pengusung calon," kata alumnus Flinders University Australia itu.

Akhirnya, lanjut Teguh, pasangan calon peserta pilkada yang diusung mereka yang punya akses terhadap parpol sehingga tidak pertimbangan idealisme dan kualitas calon yang bersih. Padahal, hukum atau aturan seharusnya menjaga idealisme masyarakat dengan mengedepankan kualitas calon.

"Jadi, makna di balik ini semua menunjukkan bahwa parpol tidak memiliki calon-calon yang bersih dan berkualitas," kata pakar pemerintahan dari Undip Semarang itu.

Akibatnya, kata dia, calon yang seadanya saja dibingkai dengan aturan biar bisa dicalonkan. Hal ini merupakan efek dari besarnya politisasi aturan oleh parpol dan upaya-upaya menguntungkan kepentingan politik parpol semata.

Ia menegaskan bahwa cara yang paling efektif untuk melawan ini semua adalah dengan memperkuat dukungan politik kepada pemilih/rakyat agar menolak total para kandidat yang tidak bersih tersebut.

Menurut dia, gerakan rakyat untuk tidak memilih calon yang tidak bersih akan menjadikan parpol berada dalam posisi kesulitan jika tetap mengusung calon yang bermasalah dan tidak bersih itu.

"Ini cara ampuh rakyat memberi pelajaran politik untuk parpol yang tetap nekat mengusung kandidat bermasalah," kata Teguh.