Pengacara Nur Alam permasalahkan penyitaan barang

id kpk, pengacara nur alam, gubernur sulawesi tenggara, nur alam, suap pejabat, penyitaan

Pengacara Nur Alam permasalahkan penyitaan barang

Ketua KPK Agus Rahardjo (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pengacara Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Maqdir Ismail mempermasalahkan penyitaan-penyitaan barang yang dilakukan pihak Komisi Pemberansatan Korupsi (KPK) terhadap terdakwa Nur Alam.

"Cukup banyak barang-barang yang tidak ada urusannya dengan dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor. Sementara itu, dalam KUHAP juga tegas betul kan mana barang yang boleh disita mana yang tidak boleh, seharusnya ini tidak perlu," kata Maqdir di PN Jakarta Selatan, Jumat.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat kembali menggelar sidang lanjutan praperadilan, di mana dalam sidang kali ini pihak termohon dalam hal ini KPK mendatangkan dua saksi ahli untuk dimintai keterangannya dalam persidangan.

Menurut Maqdir, banyak barang yang tidak relevan disita oleh KPK, salah satunya adalah rumah.

"Ada beberapa lah salah satu di antaranya adalah rumah, baik yang ada di sini maupun di Kendari, ya rumah itu apa urusannya? Itu kan sudah mencederai hak asasi orang, saya kira teman-teman di KPK pasti juga tidak mau barangnya disita begitu saja," tuturnya.

"Saya kira ini yang tidak boleh dilakukan karena bagaimana pun juga putusan Mahkamah Konstitusi itu tegas betul terhadap penyitaan-penyitaan menjadi kewenangan praperadilan untuk sah atau tidaknya, makanya tadi kami tanyakan mengenai penyitaan-penyitaan ini berhubungan dengan KUHAP karena UU KPK itu tidak diatur secara tegas bagaimana penyitaan ini," ujarnya.

Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengajukan praperadilan pada Selasa (20/9) atas penetapan dirinya oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan persetujuan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayahnya periode 2008-2014.

Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat perintah penyidikan KPK pada 15 Agustus 2016 karena diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi.

Berikutnya, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.

Nur Alam dalam perkara ini disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.

Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.